'PENGAJUAN PERCERAIAN yang TIDAK DIBANTAH.'“APA INI, ALIA?!” Fahmi berteriak keras. Sorot matanya berkaca-kaca memandangi wajah Alia tampak serius.“Surat pengajuan perceraian,“ jawab Alia. Beberapa hari yang lalu Alia menyiapkan persyaratan pengajuan perceraian.“Sejak kapan kamu menyiapkan semua ini?” tanya Fahmi panik.“Itu tidak penting.” Alia menunjuk surat itu dengan jarinya. “Dua pilihan untukmu. Menandatangani dokumen itu atau akan melaporkan ke polisi agar kalian berdua menikmati kehidupan di dalam penjara?”Dengan santai Alia memberikan dua pilihan. Fahmi menggeleng kepala pelan. Dua pilihan itu tak akan dia pilih. “Apa maksudmu?!” “Sudahlah jangan banyak tanya. Secepat selesaikan dan tanda tangan surat itu.”Lelaki itu merobek dokumen kertas dengan penuh amarah. Lalu melamparkan kertas yang sudah dirobek itu hingga berterbangan jatuh ke lantai. “Kamu mengancamku, hah?!” bentak Fahmi.Mata Alia ke bawah, melihat kertas sudah tak berbentuk semula. Dia sangat kesal, mengg
“Alia ingin cerai, Pa.”BRAK!!! Bunyi suara pukulan meja. Naufal memukul meja dengan keras. Begitulah Naufal jarang sekali marah, sekali marah sangat menyeramkan dan membuat orang ketakutan.Di ruang keluarga, suasana menjadi mencekam. Alia yang tadi santai mengatakan ingin bercerai sekarang tampak ketakutan, begitu pula Fahmi—semakin kalut, jemarinya bergetar hebat.Mama Tiffany fokus pada Alia, sedangkan Mama Davira terfokus pada Fahmi dengan sorot mata dingin. Sorot mata yang belum diperlihatkan pada siapapun. Sebagai seorang Ibu, mempunyai firasat kuat, apa yang telah terjadi pada anaknya.“Fahmi! Alia! Apa yang terjadi selama ini pada keluarga kalian, hah?! Pernikahan kalian belum sampai enam bulan!” bentak Naufal. “Jelaskan apa yang terjadi pada Papa! Semuanya!”Fahmi hanya diam. Tidak mungkin menjelaskan dirinya telah berselingkuh. Itu sama saja mendorong diri sendiri ke jurang. Dia tak berani mengatakan yang sebenarnya.Alia menarik napas panjang. Ingin menjelaskan, tapi teng
“Benar itu, Alia?” tanya Naufal.Alia membisu. “Sumpah, Pa! Saya tidak berselingkuh. Alia saja yang berlebihan,” timpal Fahmi. “Aku dengan wanita itu hanya dekat. Tidak seperti yang Alia katakan.”Cukup.Alia muak.Muak mendengar kebohongan yang Fahmi ucapkan.“Dia berbohong, Pa!” Dengan keberanian mengatakan. “Mama Tiff sudah tahu putranya berselingkuh. Kamu mengapa mengelak? Tidak mengatakan sejujurnya?! Apa perlu aku tunjukkan bukti pada Papa?! Alia punya bukti banyak, kok, Pa.”Telak. Fahmi kalah. Diam seribu bahasa. Setengah kaget saat Alia mengatakan mempunyai banyak bukti. Fahmi kira, Alia tidak mempunyai bukti apapun tentang perselingkuhan dengan Misella.Alia tersenyum kemenangan melihat wajah Fahmi pucat pasi.Naufal menangkap apa yang dikatakan Alia. “Jadi, kamu benar berselingkuh, ya?” Fahmi mengangguk pelan dan mengatakui bahwa dirinya telah berselingkuh.Naufal dan Davira sudah dibuat kecewa dengan perbuatannya. Davira tak tahan lagi, dia berdiri, menghampiri Fahmi lal
'Bisa bertemu? Ada hal yang perlu dibicarakan,' isi pesan tersebut.'Siapa?' ketik Alia.'Misella. Tolong rahasiakan dari Mas Fahmi.'Alia tidak mengerti mengapa Misella mengirimkan pesan padanya dan mengajak untuk bertemu. Bukankah tidak penting?'Untuk apa? Setahu saya tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita berdua.''Ada, Mbak. Aku mohon, kita bicarakan baik-baik.'Alia sempat berpikir untuk membalas pesan darinya.'Baiklah. Setelah aku pulang bekerja, kita bertemu di cafe Pelangi.'Misella pun setuju. Cafe Pelangi adalah cafe terfavorit Alia, sebab suasana sangat nyaman untuk berbicara tanpa tergantung dan tanpa menggangu pengunjung lain.***Fahmi curiga Alia mempunyai lelaki lain, memberikannya uang. Pasalnya rekening tabungan Alia memiliki jumlah nominal besar. Sedangkan Fahmi? Tabungan habis untuk memenuhi kebutuhan Misella, membelikan barang mahal, dan apartemen.Bisa saja Alia balas dendam dengan menyelingkuhi balik? Fahmi patut curiga, selama ini sifat Alia kalem, l
“Kamu takut, ya? Kalau saya penjarakan?” Alia bertanya dengan nada meremehkan. Rupanya Misella mempunyai ketakutan juga. Misella mati kutu. Wajahnya pucat hingga menahan napas beberapa detik. Memang benar Misella takut dipenjarakan. Oleh sebab itu, dia mendatangi Alia. Memohon agar tidak dilaporkan ke polisi. “Aku mohon. Jangan laporkan ke polisi. Kasihan Mas Fahmi,” ujar Misella memohon.“Memangnya saya peduli?” Lagi-lagi Misella dibuat mati kutu. Diam beberapa menit.“Jujur saja. Sebenarnya kamu takut dipenjara,” lanjut Alia.“Tidak. Aku hanya merasa kasihan pada Mas Fahmi.” Misella berdalih menggunakan nama Fahmi sebagai tameng dan alasan. Alia terkekeh pelan, ditambah melihat wajah Misella yang memelas. Alia puas sekarang. “Bohongnya ketahuan, lho. Saya bisa membaca pikiran kamu, kalau kamu takut saya laporkan dan dipenjara. Tenang saja, penjara tidak sampai satu tahun.”Ucapan Alia membuat Misella semakin dilanda ketakutan. Misella harus akui, dia sangat takut untuk dipenj
“M-mas Fahmi?” Misella berdiri dengan gugup menyebut nama Fahmi. Betapa kagetnya tiba-tiba ada Fahmi di cafe. “Kok, kamu ada di sini?” tanyanya lagi.Alia sama sekali tidak terkejut. Santai. Karena memang Alia lah yang memberi tahu di mana dia berada. Alia juga memberi tahu, Misella mengajak untuk bertemu.Napas Fahmi memburu. Lelaki itu telah berlari dari tempat parkir cafe ini dan mencari-cari nomor meja Alia. Fahmi takut, Misella akan berbuat yang tidak-tidak dan takut Alia akan mengambil langkah tanpa menunggu persetujuan darinya.Fahmi memandang Alia dan Misella bergantian.“Apa yang kalian lakukan di sini, huh?!” tanya Fahmi setelah berhasil mengatur napas. Ada kemarahan dari Fahmi. “Bertemu secara diam-diam?!”Bukannya menjawab pertanyaan Misella melainkan bertanya balik.“Biasa. Membahas soal wanita,” jawab Alia cepat, tenang dan santai.Misella langsung menatap tajam ke Alia. Firasat mengatakan bahwa Alia mulut ember—memberi tahu pada Fahmi. Sikap Misella beberapa menit yang la
“Di mana kamu akan bertemu dengan pengacara?”Di dalam mobil Fahmi fokus melihat ke jalanan, mencari restoran yang di maksud oleh pengacara. Katanya tidak jauh dari cafe Pelangi.“Tidak jauh dari sini.”“Bahaya banget! Kamu lagi nyetir,” celutuk Misella. “Coba sini! Biar aku yang mencari. Nama Restoran apa?” Fahmi memberikan ponsel pada Misella untuk membaca pesan dari pengacara.“Oh, ini. Lurus dikit, Mas. Nanti belok ke kiri. Sebentar lagi sampai,” kata Misella. Dia tahu di mana restoran yang dimaksud oleh Fahmi. “Kok kamu tidak pernah menghapus pesan kita?” tanyanya setelah melihat chat rooms tidak pernah sekalipun dihapus.“Untuk apa dihapus? Alia tidak akan membuka ponselku yang baru,” enteng Fahmi. “Alia tidak tahu sandi ponsel. Tenang saja.”“Jangan meremehkan Alia, Mas,” ucap Misella. “Banyak bukti di ponsel ini, lho. Harus lebih berhati-hati. Jangan sampai ponsel ini jatuh ke tangan Alia!”Bibir Fahmi mengatup. Selama ini terlalu meremehkan Alia. “Aku menyembunyikan ponsel
Fahmi melepaskan handuk yang melingkar di pinggangnya. Kini tanpa sehelai benang. Roti sobek di perutnya terpampang jelas. Tubuhnya kekar, tegap, dan perawakan tinggi membuat Fahmi menjadi lelaki sempurna di mata wanita. Lelaki itu menaruh di tempat yang sudah disediakan untuk menaruh handuk. Dua langkah maju, menghadap ke dinding keramik kamar mandi. Ada pantulan dirinya di dinding keramik.Tangan kanan memutar keran shower. Kepala terangkat ke atas memperhatikan lubang kecil shower yang mulai mengalirkan air—dia memejamkan mata, dan membirkan wajahnya basah terkena air. Fahmi rasa dirinya sedang berada dalam kondisi stres dan terlalu banyak masalah yang dipikirkan. Ditambah jarang sekali berlibur karena sibuk bekerja setiap hari. Fahmi memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Rumit. Semakin membingungkan. Semakin banyak masalah datang silih berganti. Padahal bagi Fahmi, masalah yang menimpa dirinya bukanlah masalah besar. Alia saja yang terlalu membesar-besarkan.Fahmi juga