"Bu Putri, Papa sudah pulang," ucap Lita memberitahu aku. Seketika mata ini membelalak mendengarnya. "Serius?" balasku meyakinkan. Lita terlihat manggut-manggut. "Iya, Bu.""Udah kamu kasih tahu kalau saya udah di rumah?" tanyaku memastikan. Lita terlihat menggelengkan kepalanya. "Belum. Apa mau Lita kasih tahu?" tanya balik Lita. Seketika aku menggelengkan kepala ini dengan cepat. "Jangan! Biar aku aja yang jumpai Papa," balasku. Lita terlihat manggut-manggut. "Yaudah, ayok, Bu!" ajak Lita. Gantian aku yang menganggukkan kepala. Segera aku beranjak dan melangkah untuk menemui Papa. Ya Allah ... sebentar lagi, aku akan bertemu dengan papa. "Papa di mana?" tanyaku lirih. Sengaja lirih, karena aku takut Papa dengar. Aku tak mau Papa tahu duluan kalau aku udah ada di rumah ini. "Tadi Papa masih duduk di ruang TV. Sekarang kok nggak ada, ya. Mungkin masuk ke kamarnya," jawab Lita. Juga ikut ngomong lirih. Mengikuti nada suaraku. Anak ini memang lucu. "Yaudah, kalau gitu saya liha
Bab 24Kedatangan"Mas, Bu Putri sudah di rumah Pak Aksa," ucapku memberitahu Mas Maftuh. Yang diberi tahu seolah terkejut. "Alhamdulillah, akhirnya jadi pulang juga," balas Mas Maftuh dengan nada suara terdengar sangat lega. Aku pun juga sangat lega. Apalagi tadi nomor Bu Putri sempat tak aktif. Cukup membuatku cemas dan kepikiran. Sekarang hati dan pikiran sudah sangat plong. Tahu Bu Putri sudah sampai dengan selamat di rumah papanya. Jelas mereka sekarang saling melepas rindu. Membayangkannya saja aku sudah terharu. Apalagi jika melihatnya secara langsung. "Iya, Bu Putri minta kita ke sana. Mau nganter ke sana, atau aku ke sana sendiri dulu?" balas dan tanyaku balik. Karena aku tak mau membebani Mas Maftuh. Dia baru saja pulang kerja, jelas dia sangat capek. Kalau aku maksa minta antar, aku yakin dia mau, tapi aku tak mau memaksanya. Kasihan. Wajannya pun masih sangat terlihat lelah. "Jelas Mas antar lah, Mas kan juga ingin ketemu Bu Putri," jawabnya. Matanya terlihat berbinar.
Semua sudah siap?" tanya Mas Maftuh. Dia terlihat memang sudah siap. Siap meluncur ke rumah Pak Aksa. "Sudah kayaknya," jawabku. "Bentar aku pastikan anak-anak dulu." Mas Maftuh mengangguk. Kemudian aku segera melangkah ke kamar anak-anak. Kamar Azkia dulu yang hampiri. Aku lihat Mas Maftuh melangkah menuju ke ruang tamu. Mungkin beliau memang menunggu di sana. Karena mobil memang sudah di luar. Pulang kerja tadi belum ia masukan ke garasi.Tok! Tok! Tok! "Azkia, sudah siap?" tanyaku sedikit berteriak setelah mengetuk pintu kamarnya. "Sudah, Ma. Bentar," jawabnya dari dalam dengan nada sedikit berteriak. Mungkin dia sedang merapikan diri. Biasalah anak gadis."Ok, Mama tunggu di rumah tamu. Cepat, ya! Papa sudah siap soalnya," balasku. "Iya, Ma! Bentar lagi," sahut Azkia, yang memang belum membukakan pintu. "Iya. Jangan lama-lama!" balasku. "Aman, Ma!"Segera aku menuju ke kamar Farel. Tak aku tanggapi lagi ucapan Azkia. Ya seperti inilah kalau ada anak. Memang harus sabar jik
Bab 26Tak Salah"Yang kemarin saja belum kamu bayar, kok sekarang mau hutang lagi!" sungut Mami Marka. Matanya membelalak tanda tak suka. Aku nyengir saja dengan sikapnya itu. Mau apa aku? Mau melawan pun jelas tak berani. Karena dia selalu di kawal body guard yang sangat mengerikan kekar badannya. Kuhela panjang napas ini. Ya, semenjak keluar dari penjara, memang aku belum mempunyai pekerjaan tetap. Mantan narapidana, ternyata sangat susah untuk mencari pekerjaan. Padahal dulu kerjaanku sudah sangat lumayan. Bisa dibilang mapan. Bahkan teman-teman seusiaku banyak yang iri dengan pekerjaanku kala itu. Tapi sekarang? Jika waktu bisa diputar, aku tak akan segegabah kala itu, yang menyebabkan semuanya hancur. Sangat hancur. Tak aku sangka hidupku sehancur ini sekarang. Kala itu berniat untuk membuat hidup semakin enak, ternyata malah semakin belangsak. "Pasti aku ganti. Tolong, pinjami aku uang lagi," balasku. Mami Marka mencebikan mulutnya. Seolah dia tak percaya dengan ucapanku. "
Uang satu juta sudah ada di tangan. Aku berniat ingin mendekati anakku. Azkia. Karena memang sudah ada rencana yang aku pikirkan, agar aku bisa segera terbebas dari seluruh hutang-hutangku. Ya, aku ingin membuatnya nyaman denganku. Lagian dia anak kandungku. Aman-aman saja tentunya untuk bisa bertemu. Jelas dia mau bertemu denganku. Tapi sekarang, penghalangnya adalah Ratih. Sialan dia memang. Tapi aku tak pantang menyerah. Aku yakin pasti rencana yang telah aku susun, akan berjalan dengan lancar. Tapi, memang harus lebih bersabar. Jangan gegabah dan jangan marah-marah. Pelan tapi pasti. Walau aku tahu, selama aku dipenjara tak bisa menafkahinya, tapi aku yakin perasaan bapak dan anak, tetap ia rasakan. Ya, aku sangat yakin itu. Azkia harus nyaman denganku. Hingga dia bisa dekat dan mau dengan sendirinya untuk tinggal bersamaku, tanpa paksaan dariku. Ya, aku harus bisa memainkan perasaannya. Kalau Azkia sudah nyaman dan mau tinggal bersamaku, jelas Ratih tak terima. Jelas Ratih a
Bab 28Kenapa dengan Gibran?"Mana Gibran? Mana cucu Papa?" tanya Papa yang terlihat sudah tak sabar ingin ketemu dengan cucunya. Memandang ke arah pintu. Mungkin berharap Papa melihat Gibran di sana. "Ada, Pa. Sedang dipanggil oleh Lita," jawabku. Papa kemudian memandangku lagi. "Suamimu ikut nggak?" tanya Papa lagi. Aku menggeleng. "Dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya," jawabku lirih. Papa menghela napas sejenak. "Yaudah, nggak apa-apa, yang penting dia baik dan sayang sama kamu dan Gibran," balas Papa. Aku tanggapi dengan anggukkan. "Assalamualaikum," terdengar suara salam. Seketika aku menoleh ke suara salam itu. Terlihat Lita berdiri di pintu kamar Papa. "Waalaikum salam, mana Gibran, Ta?" jawab dan tanyaku balik. "Itu Bu ... anu ... Gibran ....""Hah? Ada apa?" tanyaku karena ucapan Lita gantung di udara. "Iya, Ta, ada apa?" tanya Papa juga. Lita terlihat menarik napasnya kuat-kuat mengembuskan perlahan. Terlihat dia sedang mengatur napasnya. Karena penasaran, akhirn
"Ganteng sekali cuci Kakek," ucap Papa Aksa saat melihat cucunya. Memperhatikan Gibran dengan tatapan mata takjub. Yang dipuji senyum-senyum seraya mendekat. Juga nampak tak sabar ingin memeluk kakeknya itu. Ya, Papa Aksa pun juga ikut melangkah mendekat. Membukakan kedua tangannya. Membentang siap untuk memeluk cucunya itu. Sama-sama saling tak sabar untuk memeluk erat. Melepas rindu yang selama ini mereka tahan. Kuulas senyum terharu bahagia melihat itu. Hingga akhirnya kakek dan cucu itu saling dekat dan saling memeluk, meluapkan rasa rindu yang selama ini saling mereka tahan. Ya Allah .... terimakasih atas nikmat sehat selama ini. Papa Aksa mengusap punggung Gibran penuh dengan rasa sayang. Terlihat dari bahasa tubuh mereka. Pun sebaliknya. Lita yang melihat itu, aku perhatikan matanya berbinar. Ya aku tahu dia sering mengatakan, kalau baginya keluarga Marendra sudah seperti keluarga kandungnya sendiri."Kakek sehat?" tanya Gibran basa-basi. Yang ditanya mengulas senyum. Memut
Bab 30Siapa dan ada apa?Entah apa yang terjadi, aku tak begitu berani bertanya detail. Tapi aku yakin tetap ada yang lihat dan rasakan. Aku biarkan dulu saja. Walau sebenarnya sangat menggangu hati dan pikiranku. Tapi aku memang tak mau begitu memikirkan dulu, karena aku tak mau mengganggu moment bahagia ini. Bahagia detik-detik aku ingin ketemu dengan calon besan dan calon menantu. ************************"Alhamdulillah ... akhirnya sampai juga," ucap Mas Maftuh setelah mematikan mesin mobilnya."Alhamdulillah ...." balasku lega. Kuamati rumah Pak Aksa. Tak banyak berubah. Tetap sama seperti dulu. Tak ada yang di renovasi sampai membuat orang pangkling. Sengaja mungkin. Biar kenangan di masa lalu, tetap terkenang dengan indah. "Ayok kita turun!" ajak Mas Maftuh. Dia terlihat membuka pintu mobil ini. Pun aku juga mengikuti. Begitu juga dengan anak-anak. Setelah semua turun, dengan sedikit merapikan baju, aku segera melangkah mendekat ke arah pintu rumah Pak Aksa yang memang su
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda