"Assalamualaikum."Tok! Tok! Tok!Ucap Mas Maftuh mengucap salam, kemudian mengetuk pintu. Ya walau pintu rumah ini terbuka, tetap ia ketuk. Mungkin biar tuan rumah segera mendengar, kalau ada tamu yang datang. Rumah ini terlihat sepi di ruang tamu. Mungkin mereka lagi ngumpul di ruang lain. Semakin dekat, maka degub jantungku semakin tak menentu. Semakin menjadi, karena bagiku Bu Putri, sudah lebih dari rasa saudara. Beliau sangat membantuku. Banyak aku memiliki hutang budi pada beliau."Kok, nggak ada respon, ya?" tanya Mas Maftuh, kepalanya terlihat melongok ke dalam. Seolah memastikan di rumah itu ada orang atau tidak. "Ada mobilnya Pak Aksa. Berarti Pak Aksa sudah pulang. Jelas rumah ini ada orangnya," ucapku. Mas Maftuh terlihat manggut-manggut. "Iya, sih," balasnya lirih. "Coba salam lagi, Pa!" pinta Azkia. "Iya, coba lagi aja!" sahutku juga. Mas Maftuh manggut-manggut saja. Kemudian terlihat mengatur napasnya terlebih dahulu. "Assalamualaikum."Tok! Tok! Tok!Mas Maftuh
Bab 32Awal Pertemuan"Alhamdulillah ... akhirnya aku bisa jumpa lagi dengan anak dan cucuku," ucap Papa Aksa lirih, tapi masih terdengar jelas di telingaku. Sungguh sudah lama aku menantikan ini. Bertemu dengan Papa. Bersatu seperti ini. Ya, bagiku Papa Aksa segalanya. Sebenarnya Papa Aksa sempat kurang pas, saat aku mengutarakan keinginan untuk menikah dengan orang luar negeri. Tapi, Papa Aksa akhirnya juga tak tega menghalangi niat kami. Mungkin karena melihat cinta yang sangat besar diantara kami. Sungguh Papa merupakan ayah, suami dan kakek terbaik. Sungguh beruntung aku menjadi anaknya. Walau aku hanya anak angkat, tapi aku tak merasakan kalau diri ini anak angkat. Yang aku rasakan diri ini anak kandung. Bahkan mungkin anak kandung pun belum tentu sebahagia ini. "Maaf, Pa, Maaf, Bu, ada Bu Ratih dan keluarga di depan," ucap Lita. Seketika kami semua menoleh ke arah Lita. "Serius?" tanyaku memastikan. "Iya.""Mereka surut menunggu sebentar ya!" pesanku. "Siap, Bu!Seketika
"Assalamualaikum," sapaku saat sudah di ruang tamu. Seketika yang ada di dalam situ menoleh ke arahku, nyaris serentak dengan mata yang saling melebar. "Waalaikum salam, ya Allah ...." jawab Ratih dengan nada histeris. Ia seketika beranjak dari duduknya dan bergegas mendekatiku. Tanpa mikir panjang, ia langsung memelukku. Kubalas pelukan itu erat. Meluapkan segala rasa rindu yang terpendam. Alhamdulillah ... akhirnya aku bertemu lagi dengan orang yang dulu pernah menolongku. Sungguh dia orang yang sangat baik. Sungguh dia perempuan yang sangat berhati mulia. Menolongku dalam keadaanku terpuruk dan banyak masalah kala itu. Tanpa aku sadari, air mata ini bergulir begitu saja. Kurasakan tubuh Ratih bergoncang. Itu artinya dia menangis hingga terisak. Ya, aku pun juga demikian.Biarkan air mata ini terjatuh. Karena kami sama-sama sedang meluapkan rasa rindu. Rasa kangen yang telah sekian lama terpendam. "Ya Allah ... kangen banget sama Ibu," ucap Ratih. Kurasakan semakin erat ia meme
Bab 34PengintaianPengalaman di masa lalu ada yang dijadikan pembelajaran, ada yang tidak. Ada yang jera ada juga yang tidak. Semua tergantung orangnya masing-masing. Aku sendiri bingung akan diriku. Jika melihat mantan istri hidup bahagia, ada rasa tak terima. Karena hidupku sekarang benar-benar menyakitkan. Mau makan saja sampai pinjam ke rentenir dulu. Mau ketemu anak, juga tak diijinkan sama Ratih. Ah, hidup ini benar-benar tak adil. Entahlah! Banyak sekali rencana yang sudah aku susun. Tapi semua terkendala karena uang. Ya, karena aku tak punya uang, bahkan orang menilaiku sekarang mungkin sudah kere. Makanya tak ada yang percaya lagi denganku. Uang memang sangat penting. Ada uang banyak yang mendekat, tak ada uang banyak yang minggat. Nasib! Nasib! Apes sekali nasibku. ***********************************Kuedarkan pandang sejenak. Aku masih berada di tempat aku ketemu dengan Mami Marka tadi. Belum pindah karena masih menenangkan hati dan pikiran. Kemudian aku memilih bera
Sialan! Mau ke mana dia, dari tadi jalan terus nggak ada berhentinya. Sudah hampir setengah jam mengikutinya. Dia masih asyik saja berjalan. Apa dia nggak capek? Apa yang sebenarnya mau dia lakukan? Sungguh sangat banyak sekali tanda tanya yang berada di benakku. Perut ini sudah terasa melilit. Mau aku datangi, tapi aku belum yakin. Aku masih ragu. Masih banyak yang aku pikirkan. Masih harus pikir berkali-kali. Selain belum yakin, aku juga nggak mau jika aku mendekati dia, akan menjadi Boomerang buatku. Maksudnya senjata makan tuan. Aku berharap dia membantu masalahku, tapi justru sebaliknya. Aku takut kalau dia malah menjadi beban hidupku. Karena sedikit banyak aku juga paham bagaimana Sukma. Dia itu licik dan licin bagaikan belut. Hidupku sudah miris. Jadi kalau ketemu orang di masa lalu, jangan membuat semakin miris, tapi harusnya bisa sedikit banyak ikut membantu menyelesaikan masalahku. Biar aku segera terbebas dari masalah hidupku ini. Perut semakin melilit. Semakin perih, k
Bab 36Skenario Tak TerdugaAlhamdulillah, akhirnya aku bisa bertemu dengan Bu Putri. Setelah sekian lama tak berjumpa. Sungguh aku sangat senang sekali. Bisa bertemu dengan orang yang sangat baik ini dalam keadaan sehat walafiat. Tak ada yang berbeda dari Bu Putri. Cuma parasnya saja yang tambah terlihat matang dan mapan. Kalau dulu terlihat muda, sekarang terlihat sangat keibuan. Kalau masalah paras cantiknya, Bu Putri sangat cantik dan masih tetap cantik. Cukup membuatku iri saja melihatnya. Kebaikan hatinya terlihat terpancar bersama dengan parasnya yang cantik. Kami saling memeluk dan saling bercanda. Sungguh aku sudah lama sekali menanti keadaan ini. Kalau masalah perilaku, Bu Putri tetap sama. Tetap baik dan sangat ramah. Dia perempuan yang terlihat sangat berkelas dan cerdas. Itu yang aku nilai dari Bu Putri. Jika aku boleh berharap, aku ingin Azkia tumbuh seperti Bu Putri. Berkelas dan cerdas. Sungguh mengenalnya adalah suatu anugerah terindah buatku. Rejeki memang tak d
Bu Putri saja penasaran, apa lagi aku? Aku malah sudah sampai mana-mana ini pikiran. Sudah berpikir yang tidak-tidak. Kutelan ludah ini sejenak. Nggak tahu kenapa aku merasa, kalau Gibran memang tak semangat, atau memang tak mau ketemu dengan kami. Tapi masa' iya seperti itu?Ah, entahlah. Pikiranku sampai mana-mana jadinya. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Ya, anggap saja begitu. Biar tak ada pikiran yang jelek-jelek tentang keluarga ini. Faktanya mereka memang orang-orang yang sangat baik dan tulus. "Azkia, nggak ingin sekolah di Malaysia?" tanya Bu Putri. Kali ini sorot matanya fokus ke arah Azkia. Mendengar pertanyaan seperti itu, bibirku ini seketika menganga. Kenapa Bu Putri tanya seperti itu? Aku rasakan itu pertanyaan yang sangat serius. Ya aku menilainya seperti itu. Aku memandang tajam ke arah anakku. Yang ditanya terlihat nyengir bingung. Aku dan Mas Maftuh saling menoleh. Bola mata kami saling beradu pandang. Saling penuh tanda tanya. Tapi tak berani terlontar
Bab 38Perasaan Ingin Tahu"Sarapan, Bu! Udah Lita siapkan!" pinta Lita. Aku mengulas senyum. Anak ini memang sangat rajin. Selain rajin, dia juga sangat sopan. "Iya. Emm, Gibran sudah bangun belum?" tanyaku memastikan. Lita menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Sudah, Bu," jawabnya singkat. Kuhela napas ini sejenak."Lagi ngapain dia?" tanyaku lagi. Ingin tahu detail saja. Dari pada diam saja juga. Lita sedikit melipat kening. Mungkin dia sedang mengingat-ingat, Gibran lagi ngapain sekarang. "Olah raga sama Papa," jawab Lita. Mulut ini sedikit aku majukan. "Owh, Ok," balasku."Nampaknya dia betah tinggal di sini, Bi," ucap Lita. Aku manggut-manggut. Karena aku pun merasakan demikian. "Iya, nampaknya memang begitu," balasku. Lita melempar senyum tipis. Syukurlah kalau Gibran betah di sini. Kalau dia mau tinggal di sini bersama Papa, aku setuju-setuju saja. Biar Papa ada temannya juga. Ada Lita sih, tapi kalau ada Gibran, jelas Papa lebih senang. "Kalau gitu saya tunggu di meja
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda