Bu Putri saja penasaran, apa lagi aku? Aku malah sudah sampai mana-mana ini pikiran. Sudah berpikir yang tidak-tidak. Kutelan ludah ini sejenak. Nggak tahu kenapa aku merasa, kalau Gibran memang tak semangat, atau memang tak mau ketemu dengan kami. Tapi masa' iya seperti itu?Ah, entahlah. Pikiranku sampai mana-mana jadinya. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Ya, anggap saja begitu. Biar tak ada pikiran yang jelek-jelek tentang keluarga ini. Faktanya mereka memang orang-orang yang sangat baik dan tulus. "Azkia, nggak ingin sekolah di Malaysia?" tanya Bu Putri. Kali ini sorot matanya fokus ke arah Azkia. Mendengar pertanyaan seperti itu, bibirku ini seketika menganga. Kenapa Bu Putri tanya seperti itu? Aku rasakan itu pertanyaan yang sangat serius. Ya aku menilainya seperti itu. Aku memandang tajam ke arah anakku. Yang ditanya terlihat nyengir bingung. Aku dan Mas Maftuh saling menoleh. Bola mata kami saling beradu pandang. Saling penuh tanda tanya. Tapi tak berani terlontar
Bab 38Perasaan Ingin Tahu"Sarapan, Bu! Udah Lita siapkan!" pinta Lita. Aku mengulas senyum. Anak ini memang sangat rajin. Selain rajin, dia juga sangat sopan. "Iya. Emm, Gibran sudah bangun belum?" tanyaku memastikan. Lita menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Sudah, Bu," jawabnya singkat. Kuhela napas ini sejenak."Lagi ngapain dia?" tanyaku lagi. Ingin tahu detail saja. Dari pada diam saja juga. Lita sedikit melipat kening. Mungkin dia sedang mengingat-ingat, Gibran lagi ngapain sekarang. "Olah raga sama Papa," jawab Lita. Mulut ini sedikit aku majukan. "Owh, Ok," balasku."Nampaknya dia betah tinggal di sini, Bi," ucap Lita. Aku manggut-manggut. Karena aku pun merasakan demikian. "Iya, nampaknya memang begitu," balasku. Lita melempar senyum tipis. Syukurlah kalau Gibran betah di sini. Kalau dia mau tinggal di sini bersama Papa, aku setuju-setuju saja. Biar Papa ada temannya juga. Ada Lita sih, tapi kalau ada Gibran, jelas Papa lebih senang. "Kalau gitu saya tunggu di meja
Selesai sarapan, aku duduk santai di teras depan rumah. Gibran dan Papa sudah pulang. Mereka masih membersihkan diri. Aku sedang bermain hape. Membuka YouTube dan aplikasi lainnya, yang tak membuat kepala penat. Ya, aku berniat pulang, memang sengaja ingin fresh. Tak aku memikirkan pekerjaan. Lita sudah berangkat kerja. Kalau Papa, dia bilang mau libur dulu. Karena ingin puas bersamaku dan Gibran. Ya, wajar memang, Karen memang sudah lama tak bertemu, dan sekali bertemu hanya dalam waktu yang singkat. Ya, nampaknya Papa memang tak mau menyia-nyiakan waktu kami di sini. Ingin dia nikmati kebersamaan ini sepuasnya. Karena nanti kalau sudah pulang ke Malaysia entah kapan akan ketemu lagi. "Kamu sudah sarapan?" tanya Papa tiba-tiba, suaranya terasa ada dibelakangku. Seketika aku menoleh ke asal suara. Kemudian aku mengulas senyum. Pun Papa membalas senyumanku ini. "Sudah tadi bareng Lita. Papa sama Gibran sudah sarapan belum?" jawab dan tanyaku balik. "Sudah, tadi Gibran minta lonto
Bab 40Kejadian Mendadak"Hallo, assalamualaikum!" Aku mengucapkan salam, setelah menerima panggilan masuk dari Bu Putri. Ya, Bu Putri menelponku sekarang. Mungkin mau ada perlu. "Waalaikum salam, Tih, kamu repot nggak?" jawab dan tanya balik Bu Putri. Aku seketika mengerutkan kening. Mencari tempat duduk ternyaman. Benar kan dugaanku, jelas ada perlu. Dengan senang hati aku akan membantunya. "Nggak sih, Bu. Ada apa?" jawab dan tanyaku balik. Gantian."Emm, aku dan Gibran mau ke rumah Emak," jelasnya. Cukup membuat hati ini senang mendengarnya. Akhir, Bu Putri segera meluangkan waktunya untuk datang ke rumah Emak. Pasti Emak sangat senang sekali. Karena memang dia tunggu-tunggu. "Alhamdulillah ... ke sana aja, Bu, Emak pasti seneng banget. Emak sudah menunggu-nunggu Ibu," jawabku dengan penuh semangat. "Iya, tapi aku mau ngerepotin kamu sedikit," balasnya. Cukup membuatku penasaran. Sekelas Bu Putri, mau merepotkan aku apa?"Ngerepotin apa?" tanyaku. Biar rasa penasaran ini sege
Aku berusaha ingin sampai lebih dulu dibandingkan Bu Putri. Emak juga sudah aku kabari lewat sambungan telpon. Dari nada suaranya dia sudah terdengar sangat tak sabar, untuk bertemu dengan Bu Putri, yang memang sudah Emak anggap seperti anak kandungnya sendiri. Aku, Azkia dan Farel ada di mobil sekarang. Aku yang mengemudi. Mobil yang dibelikan Mas Maftuh untuk antar jemput anak-anak. Sungguh aku sangat beruntung dan bersyukur memiliki suami seperti Mas Maftuh.Suami yang memang aku idamkan sejak gadis. Tapi yang namanya garis kehidupan, aku harus menikah dulu dengan Mas Bima. Mengalami pahit getirnya rumah tangga. Bahkan sempat trauma. "Ma, Bu Putri kira-kira kapan balik ke Malaysia?" tanya Azkia tiba-tiba. Cukup membuyarkan lamunan. Cukup membuatku penasaran, kenapa Azkia tanya seperti itu. "Katanya kan cuma semingguan di sini, kenapa?" jawab dan tanyaku balik. Aku lihat Azkia sedang memainkan sepuluh jemarinya. Nampaknya mau ada yang ingin dia sampaikan. Ya, setahu aku, jika Az
Bab 42Suatu RencanaRencana hanya sekedar rencana. Walau sangat yakin akan keberhasilan, tapi faktanya rencana yang telah aku susun sangatlah berantakan. Seperti pertemuanku dengan Sukma. Hilang begitu saja rencana yang telah aku susun. Sialan! Ingin marah juga akan marah dengan siapa? Memilih diam dengan hati yang gerundel hebat. Ya, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Tak ada lagi cara lain. Kalau dulu aku punya banyak uang, tapi sekarang, untuk makan saja aku harus berhutang. Gimana rencanaku bisa berhasil. Terkadang, ada uang saja rencana bisa berantakan, apa lagi tidak ada uang? Entahlah! Hidupku terasa semakin nelangsa saja. Semakin miris. Entah sampai kapan aku akan seperti ini. Yang jelas mau tak mau, terima tak terima harus tetap di jalankan. Harus tetap di nikmati, walau sama sekali tak aku rasakan nikmat. Yang ada hanya rasa sesak dan sakit. Kalau di masa lalu hanya sebuah kesalahan, harusnya tak seperti ini. Tapi yang aku alami, benar-benar tak imbang dengan ap
Akhirnya aku selesai makan juga. Perut yang tadi merasa melilit akhirnya aku rasakan tenang juga. Gara-gara Sukma aku jadi telat makan. Untung maghku tak kambuh. Kalau sampai maghku kambuh, entahlah. Sudah duit sangat nipis, magh kambuh, nggak tahu lagi mau berobat pakai uang siapa. Mau minta tolong siapa dan mau minjam duit lagi dengan siapa? Benar-benar terasa sendiri. Aku rindu, rindu dengan kejayaanku di masa lalu. Di mana kala itu aku masih bekerja di perusahaan Marendra. Tak pernah aku sampai kehabisan duit seperti sekarang ini.Kalau dulu saat masih kerja di perusahaan Marendra, masih dekat dengan Sukma, punya uang tinggal satu juta, aku sudah merasa tak punya uang. Sekarang? Uang satu juta di mataku sangat lah banyak. Itu pun aku harus berhemat, karena aku dapat dari hasil pinjaman. Bulan depan juga sudah janji untuk melunasi. Padahal belum tahu sama sekali, uang dari mana untuk membayar hutang kepada Mami Marka. Padahal sebulan itu, sangatlah cepat. Kugaruk-garuk kepalaku
Bab 44Tak TerimaAku tahu anakku masih kecil. Masih baru menginjak remaja. Tapi, nggak ada salahnya kan jika aku sudah mulai menilai pasangan untuk dia nanti?Manusia memang tak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan kedepannya. Tapi setidaknya berusaha untuk yang terbaik. Tapi jika sudah berusaha yang terbaik, tapi takdir masih berkata lain, itu memang sudah di luar kuasa manusia. Di luar kuasa kita. Bismillah ... berharap yang terbaik untuk semuanya. Terutama untuk anak dan diri sendiri. *******************************"Ikut Mama, yok!" ajakku ke Gibran. Yang diajak terlihat melipat kening. Seolah sedang mikir. "Emm, emang mau ke mana, Ma?" tanya Gibran balik. Mungkin dia penasaran. Wajar sih jika dia tanya. Karena pasti ingin tahu mau pergi ke mana. "Ke rumah neneknya Azkia," jawabku. Gibran terlihat memainkan bibirnya. Nampaknya dia sedang mencerna. "Azkia dan neneknya, tinggal satu rumah nggak?" tanya balik Gibran. Kuhela napas ini sejenak dengan sedikit mencerna. Apa itu art
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda