Akhirnya aku selesai makan juga. Perut yang tadi merasa melilit akhirnya aku rasakan tenang juga. Gara-gara Sukma aku jadi telat makan. Untung maghku tak kambuh. Kalau sampai maghku kambuh, entahlah. Sudah duit sangat nipis, magh kambuh, nggak tahu lagi mau berobat pakai uang siapa. Mau minta tolong siapa dan mau minjam duit lagi dengan siapa? Benar-benar terasa sendiri. Aku rindu, rindu dengan kejayaanku di masa lalu. Di mana kala itu aku masih bekerja di perusahaan Marendra. Tak pernah aku sampai kehabisan duit seperti sekarang ini.Kalau dulu saat masih kerja di perusahaan Marendra, masih dekat dengan Sukma, punya uang tinggal satu juta, aku sudah merasa tak punya uang. Sekarang? Uang satu juta di mataku sangat lah banyak. Itu pun aku harus berhemat, karena aku dapat dari hasil pinjaman. Bulan depan juga sudah janji untuk melunasi. Padahal belum tahu sama sekali, uang dari mana untuk membayar hutang kepada Mami Marka. Padahal sebulan itu, sangatlah cepat. Kugaruk-garuk kepalaku
Bab 44Tak TerimaAku tahu anakku masih kecil. Masih baru menginjak remaja. Tapi, nggak ada salahnya kan jika aku sudah mulai menilai pasangan untuk dia nanti?Manusia memang tak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan kedepannya. Tapi setidaknya berusaha untuk yang terbaik. Tapi jika sudah berusaha yang terbaik, tapi takdir masih berkata lain, itu memang sudah di luar kuasa manusia. Di luar kuasa kita. Bismillah ... berharap yang terbaik untuk semuanya. Terutama untuk anak dan diri sendiri. *******************************"Ikut Mama, yok!" ajakku ke Gibran. Yang diajak terlihat melipat kening. Seolah sedang mikir. "Emm, emang mau ke mana, Ma?" tanya Gibran balik. Mungkin dia penasaran. Wajar sih jika dia tanya. Karena pasti ingin tahu mau pergi ke mana. "Ke rumah neneknya Azkia," jawabku. Gibran terlihat memainkan bibirnya. Nampaknya dia sedang mencerna. "Azkia dan neneknya, tinggal satu rumah nggak?" tanya balik Gibran. Kuhela napas ini sejenak dengan sedikit mencerna. Apa itu art
Aku, Papa dan Gibran sudah meluncur ke rumah Emak. Papa yang mengemudikan mobil ini. Aku perhatikan Gibran, dia terlihat sedang memantau layar pipihnya. Sorot matanya terlihat fokus. Entah apa yang dia mainkan. Mungkin membuka akun sosial media yang dia punya. "Gibran, gimana di sini betah nggak?" tanya Papa Aksa. Kuperhatikan, Gibran terlihat nyengir mendapati pertanyaan seperti itu. Karena mendapatkan pertanyaan dari kakeknya, Gibran terlihat mematikan layar gawainya. Kemudian menatap ke arah kakeknya yang sedang mengemudi. "Emm, betah, Kek," jawab Gibran. Nada suaranya memang tak bisa dibohongi. Kalau dia memang nyaman tinggal di sini. "Serius?" Papa masih terus meyakinkan. "Iya. Enak kok di sini," jawab Gibran. Ya, selama dalam perjalanan, kami memang ngobrol santai. Sungguh hati ini sangat bahagia sekali. "Kalau betah di sini, tinggal di sini saja bersama Kakek," pinta Papa. Kutelan ludah ini sejenak. Kulirik Gibran dia terlihat menggigit bibir bawahnya. "Emm, kasihan Mama
Bab 46Mutlak Takdir"Mak, Bu Putri sudah di dalam perjalanan menuju ke sini," aku baru saja memberitahu Emak. Ya, aku dan anak-anak baru saja sampai. Emak mendengar itu, matanya terlihat membelalak."Serius?" tanya Emak memastikan. Kuanggukan kepala ini belah."Serius, Mak. Makanya Ratih ke sini," jawabku."Alhamdulillah, bagaimana keadaannya, sehat kan?" balas dan tanya balik Emak. Kuanggukan kepala ini cepat."Sangat sehat. Apalagi Gibran, besarnya Ganteng banget," jawabku."Syukurlah, Emak senang sekali dengarnya," jawab Emak. Kuanggukan kepala ini cepat. Karena aku sendiri juga sangat senang mereka datang. Bahkan aku tetap berharap, mereka lama di sini, atau bahkan tak kembali lagi."Iya, Mak. Ratih pun sangat senang," balasku."Assalamualaikum." Tiba-tiba terdengar suara salam. Segera aku menoleh ke arah pintu."Waalaikum salam, nah itu mereka," balasku seraya menjawab salam Bu Putri. Emak terlihat dengan cepat beranjak. Dengan langkah tergesa-gesa ia segera melangkah mendekati
"Kamu nggak mau cerita-cerita masalahmu denganku? Atau memang nggak ada masalah? Nampaknya sih memang nggak ada masalah, ya?" tanya dan terka Bu Putri. Ditanya seperti itu kutelan ludah ini sejenak. Kemudian mengulas senyum.Kok bisa dia menerka hidupku tak ada masalah? Ah, Bu Putri ini ada-ada saja.Ya, kami sudah rebahan di ranjang. Hanya berdua. Jadi memang bisa leluasa untuk bercerita. Sungguh aku sangat menunggu sekali waktu-waktu ini. Kami sama-sama saling memandang langit-langit kamar. Benar-benar merasa punya kakak perempuan kandung."Apakah aku tampak sehat-sehat saja?" tanyaku balik. Bola mata kami saling beradu pandang. Bu Putri terlihat mencebikan bibirnya."Entahlah," balasnya pelan. Seketika kening ini mengerut. Dia kemudian menatap langit-langit kamar lagi. Aku masih menoleh ke arahnya."Hah?" Ya, aku bingung mencerna ucapan Bu Putri itu. Kenapa dia tak bisa menilaiku? Biasanya dia paling peka terhadap ekspresi wajahku ini."Aku tak bisa menilaimu lebih sekarang. Karena
Bab 48Permintaan MaafAkhirnya aku bisa ketemu lagi dengan keluarga Emak. Sangat lama memang kami tak bertemu. Selama ini hanya lewat video call saja. Itu pun hanya cerita-cerita masalah sepele saja. Tak pernah cerita masalah yang berat. Karena tak mau menambahkan masalah yang telah ada. Aku dan Ratih sekarang ada di kamar. Rebahan diatas ranjang. Hanya berdua. Nostalgia sejenak. Mengenang dan membayangkan cerita masa lalu. Cukup asyik juga kalau di kenang. Terkadang kenangan masa lalu yang sangat buruk kala itu, jika sekarang di ceritakan ulang, justru malah tertawa terbahak-bahak. "Yakin nggak mau cerita?" tanyaku memastikan. Karena Ratih memang belum menanggapi pertanyaanku tadi, entah apa yang ia pikirkan. Ratih terlihat menghela napas panjang. Seolah sedang mencerna. Atau sedang mau mengalihkan pembicaraan. "Emm, sebelum aku jawab pertanyaan ibu tadi, aku boleh minta maaf dulu, Bu? Karena biar hati ini bisa plong gitu," sahutnya. Seketika kening ini melipat. Mencerna sejenak
Kutarik napas ini sejenak. Sengaja aku sedikit membuang muka. Biar dia tambah kebingungan. Walau sebenarnya hati ini nggak tega. Ya, tega nggak tega pokoknya. "Kamu tadi ngomong apa? Coba diingat-ingat dan coba di cerna dan pahami!" pintaku. Aku kerjai dia dulu ajalah. Ekspresinya terlihat gugup. Kasihan banget. Tapi kapan lagi, kan? Mumpung ketemu. Kalau aku udah balik ke Malaysia, entah kapan lagi aku bisa pulang ke sini. Pun sebaliknya. Faktanya selama ini, nggak bisa kami saling menjenguk. Entah karena apa. Yang jelas garis dari Allah sudah begini. Manusia hanya wayang bukan? Yang siap di mainkan oleh dalangnya. "Emm, maaf selama Ibu di Malaysia, saya tak pernah ke sana. Sekali pun," ucap Ratih mengulang kata itu. Pengen aku ketawa rasanya. Dia nurut sekali dengan perintahku. Berarti dia benar-benar merasa tak enak hati denganku. Tapi aku masih bisa kok menahan rasa ingin ketawa ini. Sabar dulu bentar ya Ratih! Aku mau kerjai kamu dulu. "Paham nggak? Apa itu artinya kalau nggak
Bab 50Jawaban Pertanyaan"Panjang banget, sih, Bu, pertanyaannya? Aku sampai harus mengingat-ingat tapi akhirnya tak ingat juga, terus harus jawab apa aku ini? Pertanyaannya aja nggak ingat," ledekku. Sengaja biar keadaan tak menegangkan seperti ini. Karena memang niatnya ingin ngobrol santai. Tapi semakin ke sini kok ngobrol berat. Bu Putri menyeringai. Nampaknya gemes aku ngomong seperti itu. Matanya terlihat ia putar begitu saja. Aku tahu dia sudah tak sabar menunggu pertanyaan itu dijawab. "Aku itu udah kenal kamu lumayan lama. Kamu itu cerdas. Nggak mungkin nggak bisa mengingat, pertanyaanku juga nggak panjang," balas Bu Putri. Kutelan ludah ini sejenak. Kemudian manggut-manggut begitu saja. Lebih tepatnya sedikit meledek lagi. "Duh ... senang sekali aku dipuji seperti itu," balasku. Bu Putri mencebikan mulutnya. Aku sedikit mengulas senyum. "Kamu nggak usah nyelimur, Ratih! Aku kenal kamu. Jangan mengalihkan pembicaraan! Ayok cepet dijawab!" balas Bu Putri. Nampaknya dia me
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda