Share

Ban 26

Author: Naimatun Niqmah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Apa yang harus dijelaskan? Apa yang harus di jelaskan, kita kan juga baru ketemu? Jadi aku bingung, minta penjelasan seperti apa?" ucap Alina saat menanggapi perkataan dari Gibran. Aku berusaha tetap tenang. Aku berusaha untuk tetap mendengarkan, apa yang akan mereka katakan.

Aku melirik ke arah Gibran. Dia mengusap wajahnya. Ekspresinya terlihat sangat kusut. Aku nggak tahu siapa yang benar. Di saat sudah bertemu seperti ini, aku tentu saja semakin bingung.

"Sebenarnya apa yang kalian tutupi dari aku?" tanyaku kepada mereka. Aku menatap Gibran dan Alina bergantian.

Ekspresi mereka sama-sama tidak nyaman. Aku sangat bisa menilai itu dari mereka. Alina terlihat salah tingkah dan kebingungan. Kalau Gibran, dia walaupun nampak tidak nyaman, tapi nampaknya dia masih bisa menguasai dirinya.

"Azkia, kamu tuh ngomong apa, aku nggak paham. Nggak ada, kok, yang aku tutupi dari kamu. Kan kita ke sini niatnya mau happy-happy, kenapa malah jadi canggung kayak gini, sih? Nggak enak banget tah
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 27

    Alina sampai terkejut karena aku berbicara dengan nada lantang. Mungkin ini untuk pertama kalinya dia mendengar, aku ngomong dengan nada tinggi seperti ini. Karena biasanya, aku memang tidak pernah berbicara dengan nada tinggi. Nggak tahu kenapa, ini refleks begitu saja. Rasanya aku cemburu dan iri. Alina dan Gibran adalah temanku. Orang yang aku anggap penting dalam hidupku. Tapi kenapa mereka menyembunyikan suatu hal, yang seolah aku tidak boleh tahu. "Maafkan aku Azkia, aku memang memotong ucapan Gibran dari tadi. Karena memang kami tidak ada apa-apa. Gibran aja itu yang ngaco. Ada-ada saja dia itu." Aku melihat, semakin Alina berusaha untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi, semakin dia berusaha santai, di situlah aku semakin yakin kalau ada hal yang memang mereka tutupi dariku. Dada ini terasa naik turun.. Begitu juga dengan napas ini yang memburu. Segera aku raih minuman yang sudah aku pesan. Meneguknya hingga tak tersisa. "Katanya kalian menganggap aku teman. Katanya kali

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 28

    "Azkia, kamu masih marah sama aku? Udah ratusan kali lah aku nelpon kamu, baru kamu angkat ini." Alina sekarang menelponku. Memang sudah ratusan kali dia menelpon, tapi memang tidak aku angkat. Sengaja. Gibran juga seperti itu. Panggilan masuk dan pesan singkat, juga tidak aku tanggapi darinya, walaupun aku dan dia satu rumah. Kalau pas ketemu di meja makan, aku berusaha biasa saja, agar Mama tidak curiga. "Ada apa?" tanya aku singkat dengan nada ketus. Nggak tau kenapa, aku memang lagi malas dihubungi oleh Alina. Bukan hanya Alina saja, tapi juga dengan Gibran. Walau satu rumah, hanya di depan orang tuaku saja aku seolah tidak ada apa-apa. "Iya aku pengen teleponan sama kamu, seperti biasanya. Kan emang setiap hari kita sering teleponan. Jangan hanya gara-gara kemarin, kita jadi seperti ini." Seperti itulah tanggapan dari Alina, cukup membuat dada ini sesak, bahkan semakin sesak. Hanya gara-gara katanya. Entahlah, kata-kata itu seolah terdengar tak sopan di telinga ini. Kutarik p

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 29

    Tit!Komunikasi kami terputus begitu saja. Alina yang memutuskan komunikasi ini. Tanpa menunggu persetujuan dariku. Segera aku tarik gawaiku ini, dari telinga kananku. Tak ada niat untuk menghubungi dia lagi. Terserahlah, jika dia mau ke sini terserah dia. Sudah tidak ada rasa antusias, atas kedatangannya ke sini. Benar-benar sudah terasa jauh berbeda. Mungkin jika Alina dan Gibran menceritakan apa adanya, apa yang sudah mereka lakukan di belakangku selama ini, walaupun aku tahu mereka belum pernah berjumpa, mungkin rasa sakit di hatiku, tidak separah ini. Selama ini aku mengenal Gibran, yang aku tahu dia tidak mengenal Alina. Begitu juga sebaliknya. Aku mengenal Alina, setahuku dia tidak mengenal Gibran. Bahkan aku menceritakan, bagaimanapun perasaanku ini pada Gibran kepada Alina. Tapi faktanya, mereka ada sesuatu di belakangku. Rasanya benar-benar sangat sakit. "Assalamualaikum." Tok tok tok.Tiba-tiba telinga ini mendengar suara salam dan ketukan pintu kamar. Suara yang Tentu

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 30

    "Jadi seperti itu, Ma, ceritanya." Akhirnya aku sudah menceritakan semuanya kepada Mama. Mama terlihat tenang. Ya, wajah mama terlihat tenang. Tapi nggak tahu isi hatinya bagaimana. Mama memang paling bisa menenangkan hatiku.Mama tak langsung menanggapi. Entah apa yang sedang mama mikirkan sekarang. Tapi ekspresi wajahnya, memang terlihat sangat tenang. Membuat hatiku ini tentu saja ikut tenang. Mama kemudian menatapku. Meraih tangan ini mengelus punggung tangan ini pelan. Membuat hati ini semakin merasa tenang, semakin merasa bersyukur, karena aku telah terlahir dari seorang perempuan yang sangat baik. "Mama juga sebenarnya bingung mendengar cerita kamu. Tapi mama yakin, antara Gibran dan Alina, itu tidak sama seperti kamu dan Gibran. Entah apa yang menjadi tanda tanya, tapi kamu nggak boleh seperti ini. Kamu tetap harus baik sama mereka. Walaupun nanti, akan terdengar kabar yang memang tidak diinginkan, ingat ya Gibran itu bukan milik kamu, Sayang. Kalian hanya teman atau sahabat

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 31

    "Mama juga beruntung memiliki kamu, Sayang. Mama juga sangat beruntung, kamu dititipkan untuk lahir ke dunia ini melalui rahim Mama. Bukan kamu aja yang beruntung, tapi mama juga sangat beruntung memiliki kamu." Lagi, seketika aku memeluk mama lagi. Tumpah lagi air mata ini. Ya, tak bisa aku bendung air mata ini. Mama pun memeluk erat pelukan ini. Hingga tubuhku terasa terguncang. Karena aku juga merasakan, bukan aku saja yang menangis, tapi Mama juga menangis. Ya Allah ... tak bisa aku bayangkan bagaimana hidupku tanpa Mama. Tolong ya Allah ... tolong lindungi Mama. Tolong terus berikan Mama kesehatan beserta umur yang panjang. Berikan rezeki yang terus-menerus mengalir lancar, hingga batasnya untuk hidup di dunia ini sudah mencapai titiknya. Tak bisa aku bayangkan bagaimana hidupku tanpa Mama. Jika aku bayangkan jika mama sudah mencapai titiknya untuk menemaniku, apa yang akan aku lakukan? Aku bisa apa? Kalau aku boleh meminta ya Allah, ambil dulu nyawaku, sebelum engkau mengambi

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 32

    "Azkia kamu masih marah denganku?" tanyaku pada Azkia. Aku sudah ada di kamarnya sekarang. Azkia menatapku dengan senyuman. Kali ini aku melihat dia nampaknya memang sudah tidak marah denganku. Senyumnya terlihat tulus. Itu yang aku rasakan."Memang nggak seharusnya aku marah sama kamu, kan? Setelah aku pikir-pikir, buat apa juga marah sama kamu." Sungguh tak menyangka jika jawabannya akan seperti itu. Aku cukup terkejut mendengar jawabannya itu. "Kamu baik-baik saja?" tanya aku lagi, hanya untuk memastikan. Dia mengulas senyum lagi. Kemudian dia menganggukkan kepalanya. "Aku baik-baik saja. Seperti yang kamu lihat, apakah terlihat aku sakit?" Kutelan ludah ini sejenak. Walau terlihat sangat tulus senyumnya itu, tapi nggak tahu kenapa, hati ini terasa lebih segan sama Azkia. Biasanya aku suka bercanda ria dengan dia, tapi kali ini terasa ada batasan. Nggak tahu ini hanya perasaanku saja, atau memang Azkia sedang membatasi. "Syukurlah kalau kamu mau baik-baik saja. Nggak enak rasan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 33

    "Alhamdulillahirobbilalamin. Nikmat sekali, ya, makan bertiga seperti ini. Karena suasananya memang lagi sedang enak juga, ya." Azkia berkata seperti itu, setelah kami selesai makan. Aku nggak tahu kenapa Azkia seperti ini. Aku merasa janggal saja. Kenapa aku merasa janggal? Padahal kondisi saat ini menurutku sedang tidak baik-baik saja. Aku dari tadi diam, begitu juga dengan Gibran. Aku hanya bisa lirik-lirik saja kepada Gibran. Menatap langsung rasanya tak berani, karena aku takut jika Azkia melihat itu. "Ya udah sini, piring-piringnya biar aku cuci." Aku hanya bisa menanggapi seperti itu, kemudian aku segera beranjak dan mengambil piring-piring yang kotor. Gibran terlihat kayak salah tingkah. Dia meneguk segelas air putih. Dia pun banyak diamnya. Azkia juga ikut beranjak untuk membereskan meja makan. "Emm, kalau gitu aku ke depan dulu." Gibran perkata seperti itu. Nada suaranya terdengar seolah sedang salah tingkah dan kebingungan. "Kamu nunggu di ruang TV aja. Kita nanti ngo

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status