"Kamu ingin aku mengatakan selamat Mas, karena kamu akan memiliki anak lagi dari istri simpananmu itu?" jawabku menatap matanya, tapi dia justru menunduk."Tidak Syaina. Aku ... aku hanya meminta kerelaanmu menerimanya. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu sebagai yang pertama di hati ini. Tapi aku juga mencintainya, dan aku tidak ingin melepas siapapun diantara kalian. Aku akan bertanggung jawab dan berlaku seadil-adilnya padamu dan Friska. Kumohon Syaina, terimalah dia. Friska sudah berjanji padaku untuk bersikap baik padamu. Dia akan tunduk padamu, apapun yang kamu mau dia akan ikuti. Jadi kumohon terimalah dia."Untuk sepersekian detik aku kehilangan kata, berharap ini semua hanya mimpi tapi tidak mungkin. Karena semua ini benar adalah kenyataan."Menerimanya? Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa aku tidak bisa diduakan. Aku takut pada akhirnya hanya akan membencimu dan istrimu itu. Sebab itu semua sudah jelas, jika kamu tetap ingin bersamanya, biarkan aku yang pergi."Kulepaskan
Flash back"Aapa kabar, Sayang?"Aku terhenyak saat keluar dari kamar mandi dan mendapati Friska sudah ada di ruangan. Satu bulan penuh kami tak bertemu, sesekali dia mencoba menelpon tapi aku selalu menutupinya dari Syaina. Jujur setelah melihat perjuangan istri pertama merawatku, hati ini tak tega menyakitinya terlalu dalam. Mungkin berat, tapi sudah kuputuskan untuk menyudahi segalanya. Toh Kayla sebagai pengikat hubungan kami juga sudah tidak ada. Sudah saatnya aku berhijrah, memperbaiki diri dan memperbaiki rumah tanggaku bersama Syaina. "Baik," jawabku santai sembari kembali duduk di atas kursi. Sementara itu Friska mengunci pintu dan berjalan mendekatiku."Aku merindukanmu," ucapnya seraya memeluk tubuh ini dari belakang. Tapi aku berusaha melepas kedua tangannya.Melihat reaksi penolakan dariku, Friska lantas terlihat kesal."Ada apa Mas, kamu tidak merindukanku?""Fris, aku minta maaf. Tapi aku ingin kita menyudahi semuanya."Dua netra Friska membelalak."Menyudahi, maksudm
"Syaina?"Mama terhenyak saat menemukanku ada di depan rumah, beliau segera menyilahkan kami masuk."Kenapa tidak mengabari jika mau pulang?""Maaf Ma, ini diluar kehendak. Makanya aku nggak sempat untuk mengabari."Mama melihat keluar, seperti mencari sesuatu."Rian mana?" tanyanya kemudian."Aku pulang tanpa Mas Rian, Ma.""Oh, Rian udah mulai masuk kerja?""Iya, Ma.""Kalau Rian udah mulai kerja, kenapa pulang? Sudah dapat ijin dari dia?"Aku terdiam sejenak."Nanti aku akan cerita Ma, tapi sekarang aku mau istirahat dulu. Kepala ini terasa berat sekali."Mama terdiam beberapa waktu melihat wajahku yang pastinya kelihatan sangat kusut, lalu dia memanggil asisten rumah tangga untuk membawa semua barang-barang kami ke kamar.Sampai di kamar, aku merebahkan diri di atas ranjang. Kubaringkan Talita di samping untuk menyusuinya. Lelah pikiran dan jiwa, tapi begitu sampai di rumah ini semua seolah terangkat sedikit demi sedikit.Selesai menyusui, aku mendengar pintu kamar diketuk. "Ini
Aku kembali menginjakkan kaki di rumah sakit menjelang siang hari. Semenjak meninggalkan Bandung, kepala serasa mau pecah. Masih terbayang diingatan bagaimana menjadi yang terhakimi di depan kedua orang tua juga istri yang sudah menemani selama sepuluh tahun.Sungguh ini beban terberat yang harus aku pikul. Andai aku bisa meninggalkan Friska tanpa rasa bersalah dalam hati. Mungkin semua tak seperti ini. Kuhela napas berat seraya menatap pintu yang terbuka perlahan. Wajah Friska kembali muncul di sebaliknya. Dia tersenyum dan berjalan mendekat."Aku menghubungimu semenjak tadi. Tapi satu pun panggilanku kau angkat. Apa yang terjadi?""Aku mengantar Syaina ke Bandung."Friska tampak terhenyak."Dia mengadu tentang hubungan kita pada kedua orang tuamu?"Aku menggeleng."Dia meminta agar aku yang berterus terang pada Mama dan Papa.""Kamu melakukannya?""Iya.""Lalu bagaimana pendapat mereka tentangku?"Friska terlihat antusias, bagaimana jika kukatakan bahwa Mama dan papa sangat menenta
"Saya minta tolong, bantu saya Pak." Pak Fandy terhenyak, sepertinya dia sudah bisa membaca maksud perkataanku itu. Lelaki tersebut tersenyum kecil seraya menghela napas panjang. "Bagaimana bisa, Dok? Apa kurangnya Nyonya Syaina?" Pertanyaannya tak dapat kujawab, justru aku mengganti dengan jawaban yang lain. "Saya sedang menanti ijin poligami." Ternyata Pak Fandy kembali tersenyum mendengar jawabanku. "Seorang wanita cantik, sehat, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga berada. Saya yakin Syaina tidak akan mau dipoligami." Aku menarik napas panjang, tebakan Pak Fandy memang benar. "Saya hanya tak habis pikir, kenapa harus Friska, dok?" "Cinta tidak bisa memilih, Pak." "Cinta atau nafsu? Setahu saya Dokter Rian adalah lulusan terbaik fakultas Kedokteran UI. Kinerja dari pertama dinas sampai sudah lima belas tahun mengabdi selalu cemerlang. Bagaimana jika kejadian ini justru membuat karier dokter dengan seketika lenyap?" Aku menelan ludah, jangan sa
"Cerai? Seharusnya bukan aku yang kamu ceraikan, Mas. Tapi Syaina.""Jika itu yang kulakukan maka tamatlah riwayat kita, Fris. IDI akan memproses kasus ini, bukan saja dipecat tapi kita juga akan dikenakan sanksi pidana karena kasus perselingkuhan. Tidak ada cara lain Fris, kamu harus mengalah.""Mengalah, nggak! Aku nggak masalah karierku hancur, asalkan anak yang aku kandung ini terlahir dengan status jelas siapa ayahnya. Jika Mas tetap bersikeras meninggalkanku, maka aku nggak akan tinggal diam. Bukan IDI yang akan menghancurkan karier kita tapi aku. Aku yang akan membongkar semuanya."Kuhela napas panjang, kepala kembali terasa sakit seperti hampir pecah. Menceraikan Friska begitu saja memang bukan perkara mudah. Bahkan alasan karier tak membuatnya goyah.Mungkin harus ada kesepakatan, untuk mengelabuinya."Baiklah, begini Friska. Aku berjanji akan meninggalkan Syaina setelah masalah ini selesai. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mundur terlebih dahulu.""Persyaratan macam apa i
"Katakan di rumah sakit mana?"Friska menyebutkan alamat sebuah rumah sakit, untuk kesekian kali aku harus pasrah pada takdir yang sudah kupilih ini. Ingin mengakhiri terasa sangat sulit. Sampai di rumah sakit yang disebutkan Friska, kaki kembali tertuju ke meja resepsionist untuk menanyakan posisi istri keduaku itu. Masih memakai masker dan topi, seorang suster membawaku ke ruangan dokter kandungan. "Silahkan masuk, Dok," persilah suster tersebut. Lalu dua netraku seketika membelalak menatap dokter cantik yang tengah duduk di depan Friska.Mira, sahabat Syaina. Aduh, kenapa Friska memilih rumah sakit ini. "Nggak papa Mas Rian, dibuka aja masker dan topi. Saya udah tahu semuanya kok dari Mbak Friska. Masuk Mas, duduk di sini. Biar saya jelaskan kondisi Mbak seperti apa."Deg.Mau seperti apapun ditutupi sebuah pengkhianatan, pasti akan tercium juga. Kubuka masker dan topi yang menutupi kepala. Sedikit canggung karena bagaimana pun Mira dan Syaina bagai pinang dibelakang dua."Usia
"Waalaikum salam. Rian?"Dua netra papa mertua membelalak tapi detik berikutnya ia memaksakan diri untuk tersenyum. Membuatku merasa deg-degan hingga akhirnya tak bisa berkata apapun."Duduklah," persilah papa mertua kemudian sembari menunjuk kursi yang ada di teras. Sangat berbeda dengan penyambutannya selama ini. Lelaki yang tetap gagah di usia enam puluhan tahun itu langsung merangkul, lalu mengajakku masuk. Tidak hanya itu, dia selalu meminta mama mertua membuatkan makanan yang aku mau. Ah, bukankah itu dulu sebelum aku menyakiti hati putrinya.Kuikuti beliau yang duduk terlebih dahulu."Bagaimana kabar Jakarta?"Beliau berbasa basi karena kami duduk dalam kebisuan hingga lima menit."Baik."Sama dengannya yang tampak kaku, akupun lebih gugup."Bagaimana kabar istri keduamu?"Deg.Mendengar pertanyaan keduanya ini membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Wajah Papa mertua kini tertuju padaku."Kau seperti orang kena serangan jantung saat Papa menanyakan hal itu?"Aku terhenyak
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be