Hana sampai di depan rumah, ia sejenak mengabaikan seseorang yang ikut mengantarkan sepeda mini yang sudah dibeli Langit untuk Syaina.
Masih dengan perasaan khawatir, ia bergegas memasuki rumah dan menidurkan buah hatinya di atas ranjang. Lanjut mengambilkan air hangat untuk membersihkan lubang hidung Syaina.
"Ma, Syaina kalau keluar darah terus dari hidung. Nantinya bakalan meninggal, ya?"
Hana terhenyak, sekuat tenaga menahan cairan yang memaksa keluar dari pelupuk mata.
"Mama selalu berdoa sama Allah supaya Syaina sembuh dan panjang umurnya."
"Kira-kira Allah bakalan ngabulin nggak, Ma?"
"In Syaa Allah dikabulin Sayang. Karena doa orang tua untuk anaknya tidak ada halangan apapun, akan selalu sampai pada Allah."
Hana menahan sesak di dada. Semakin lama menjalani, semakin lemah pula pertahannya. Semenjak awal sang buah hati didiagnosa bronchitis, entah sudah berapa kali jarum suntik keluar masuk tubuhnya. Entah berapa kali rontgen dan USG yang dilakukan.
Hingga diagnosa kedua muncul. Tubuh gadis kecilnya semakin sering terkena alat kesehatan. Ia sebagai wanita yang sudah melahirkan Syaina rasanya tak kuat. Berkali-kali menangis seorang diri, raga semakin tak berdaya.
Tapi Syaina butuh Ibu yang kuat. Meski tak ada tempatnya berkeluh selain dokter Rezky, ia harus bertahan dan selalu tersenyum di depan bocah itu.
"Ma, kalau Papa juga ikut berdoa, pasti bakalan lebih cepat dikabulkan Allah. Mungkin besok Syaina udah sehat?"
Hana menelan ludah mendengar ucapan bocah itu. Tapi rasa kecewa dan kekesalannya semakin menjadi untuk Langit.
"Iya Sayang. Pasti akan Allah kabulkan lebih cepat."
Apalagi yang bisa dikatakan Hana selain sesuatu yang semakin menyemangati sang anak.
"Ma, tadi Syaina lupa minta nomor hape Papa. Padahal Syaina pengen ngomong ke Papa kalau Syaina itu lagi sakit. Mau nyuruh Papa juga supaya doain Syaina biar cepat sembuh."
"Sabar ya, Sayang. Nanti kalau Papa datang lagi ke sini, kamu kasih tahu Papa ya."
Syaina mengangguk dan memejamkan mata. Mungkin karena kelelahan, hingga bocah itu kembali mimisan. Harusnya tadi Hana tidak lagi kemanapun, tapi karena Syaina merajuk tidak mau minum obat, akhirnya baru duduk sekejap selepas dari rumah sakit, dia terpaksa kembali keluar rumah untuk membeli sepeda mini. Dan hal itulah yang membuka jalan pertemuannya dengan Langit.
Hana memejam mata sejenak lalu dia teringat pada seseorang yang bertugas mengantar sepeda di depan rumah. Langkah sang wanita segera terulur keluar.
Terlihat di sana, Langit tengah membimbing lelaki yang mengantar sepeda ke rumahnya untuk menurunkan benda itu dan meletakkan di teras rumah. Perasaan Hana kembali terguncang.
Hari ini juga Mas Langit menyusul kemari?
Kenapa ada rasa tak ikhlas, tapi semua demi Syaina ...
Dua netra Langit kini memandangi Hana yang masih berdiri di ambang pintu. Dia tersenyum seraya mendekat.
"Mas nyuruh sepedanya diletakkan di situ, nggak papa 'kan?"
Hana hanya mengangguk dengan wajah tak acuh.
"Terima kasih ya, Pak," ucap wanita itu pada lelaki pengantar sepeda dengan ramah. Lalu dia segera berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah.
"Hana, tunggu."
Panggilan Langit menghentikan langkah Hana. Wanita itu berbalik.
"Ada apa lagi, Mas?"
"Aku butuh penjelasan akan beberapa hal."
"Aku tak punya banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal."
"Ini tentang kondisi Syaina."
Hana yang tadinya ingin abai, terpaksa urung, mengingat hal ini ada kaitannya dengan putri mereka. Akhirnya dia memilih duduk di kursi teras. Langit pun ikut.
Sejenak waktu seperti dibungkam kebisuan hingga,
"Syaina kemana?"
"Sudah tidur."
"Katakan sejak kapan dia didiagnosa Leukimia?"
"Satu bulan yang lalu."
"Tolong ceritakan padaku dari awal?"
"Pertama kali, Syaina didignosa bronchitis, tapi setelah melalui serangkaian pengobatan dan tidak menunjukkan kesembuhan. Dokter memutuskan melakukan pemeriksaan lanjutan. Dan hasilnya mereka bilang Syaina terkena leukimia."
"Itu hanya pemeriksaan satu dokter, apa kamu tidak mencoba memeriksa ke dokter yang lain?"
"Sudah. Alhamdulillah dokter yang kedua mengatakan masih ada kemungkinan bukan Leukimia."
Hana kembali terdiam.
"Aku akan membawanya berobat pada dokter yang lebih profesional di Jakarta."
Hana masih bergeming.
"Apa dia sering menanyakanku selama ini?"
"Kamu ayahnya tentu dia selalu bertanya."
"Maaf atas apa yang terjadi, tapi kenapa kamu pergi sejauh ini?"
"Aku pergi karena ada alasan."
"Karena aku?"
"Entahlah. Begini Mas, kamu kemari cukup untuk menemui Syaina. Masalah kita, bukankah semuanya sudah berakhir. Jadi kuharap kamu tidak lagi menyinggung apapun tentang masa lalu."
Langit tersentak, entah apa yang dia harapkan dari pertemuan ini. Ada amarah, tapi kenapa? Bukankah dia yang memilih berpisah? Ada kecewa, tapi untuk alasan apa? Bukankah dia yang menginginkan Hana menjauh?
Langit menarik napas berat.
"Ini kartu namaku. Jika Syaina rindu padaku, silahkan telpon kapan saja."
Hana meraih kertas itu, karena sebelumnya Syaina memang sudah menanyakan nomor telpon Langit.
"Aku-"
"Maaf ya Mas, aku mau istirahat," potong Hana tak mau memperpanjang percakapan. Ia bangkit untuk kemudian masuk ke rumahnya.
Sementaramasih di tempat yang sama, Langit mengusap wajah. Dia duduk sampai setengah jam lamanya, meski hanya seorang diri.
Padahal sudah setahun tak bersama Hana dan Syaina. Bukankah hidupnya berjalan normal? Lalu kenapa sekarang seperti tak ingin pergi?
*
Langit sampai di rumahnya di kawasan perumahan elite Jakarta Barat. Ia tersentak saat mendapati Syarlina ada di rumahnya.
"Kenapa di sini?" tanyanya dingin.
"Aku menunggumu, Mas. Kamu lupa tadi pagi aku sudah mengingatkanmu soal fitting baju malam ini?"
Langit memejam mata.
"Maaf, aku lupa."
Lina melipat dua tangan di perut.
"Ketemuan sama siapa sih sampai malam begini baru sampai Jakarta?"
"Rezky, teman Coas dulu."
"Terus kemana lagi?"
"Lin, apa aku harus menceritakan semua yang kulakukan setia saat padamu?"
"Mas, aku calon istrimu. Sudah seharusnya aku tahu semua tentang kamu. Apa itu salah?"
"Salah, aku jadi merasa seperti seorang tahanan. Kau tidak percaya padaku?"
"Aku bukan tidak percaya, Mas. Hanya saja aku takut kamu belok haluan."
"Apa maksudmu?"
"Entahlah, tapi aku terus dihantui ketakutan bahwa suatu saat kamu bakal kembali pada mantan istrimu."
"Jika memang benar, bagaimana?"
"Mas! Kamu ngomong apa? Pernikahan kita sudah di depan mata. WO semua sudah beres, bahkan undangan sudah tersebar. Kamu jangan bikin keluarga kita malu donk!"
Langit terdiam membisu, dia tak punya kata apapun lagi untuk menjawab perkataan perempuan di hadapannya.
"Mas, tolong jangan mengecewakanku. Aku seperti ini karena kamu."
Langit mengangguk.
"Aku tetap akan menikahimu."
Lina tersenyum puas.
"Makasih ya, Mas. Kamu mau teh hangat?" tanyanya pada Langit.
"Tidak usah."
"Nggak papa biar aku bikinin. Tungguin ya Mas. Hanya sebentar."
Lina bangkit ke dapur. Ia membuatkan segelas teh hangat lalu menghidangkan ke hadapan Langit. Selalu begitu, meski sang lelaki tidak pernah meminta. Dan anehnya, apapun yang dilakukan Lina, Langit hanya bisa melihat. Mulutnya seperti terkunci, apakah karena sudah terlanjur melangkah sejauh ini?
Sang lelaki teringat akan ucapan Rezky tadi di Cafe,
"Aku yakin perasaanmu untuk Lina hanya ambisi."
Langit tercenung sejenak.
Ambisi? Yang setelah didapatkan ternyata terasa tak begitu berarti?
*
"Minum dulu Mas, tehnya."
Langit mengangguk, tapi ia justru bangkit ke kamar.
"Biarkan di situ, nanti aku minum."
"Mas mau kemana?"
"Mau bersihkan diri. Kamu kalau mau pulang, yaudah nggak papa. Besok pagi jam sepuluh Mas jemput."
Lina menghela napas dan terpaksa membiarkan lelaki itu menghilang dari pandangan. Dia menghempas punggung ke sandaran sofa. Tiba-tiba matanya tertuju pada ponsel Langit yang berdering.
Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Iseng, Lina mencoba mengangkat.
"Hallo."
Seorang perempuan di seberang sana menyapa.
"Hallo. Ini siapa?"
"Saya Hana. Bisa bicara dengan Mas Langit?"
Hana? Bukankah itu nama mantan istri Mas Langit?
Seketika tubuh Lina terasa panas.
"Mas Langit sedang mandi. Ada apa ya, sampaikan saja padaku nanti akan kusampaikan pada Mas Langit."
"Kamu siapa?"
"Saya calon istri Mas Langit. Syarlina."
"Oh, tidak usah."
"Papa ...."
"Sayang jangan begitu, Nak. Biar Mama yang bicara dulu. Itu Papa sedang mandi?"
Lina menelan ludah mendengar perdebatan kecil di seberang sana.
"Maaf ya Mbak, tidak ada pesan apapun. Besok saja saya telpon lagi."
"Oh iya."
Lina menutup telpon.
Papa? Seorang gadis kecil di seberang sana memanggil calon suamiku dengan sebutan Papa? Apa dia Syaina, anaknya Mas Langit?
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca.
Saya minta bantuannya untuk subsrcribe cerbung ini ya. Terima kasih banyak.
Utamakan baca Al-Quran
Langit telah selesai membersihkan diri, bukannya keluar untuk menemui Lina, ia justru merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar seraya kembali mengenang pertemuan tadi dengan Hana dan juga Syaina.Pertama kali yang terlihat di sana adalah wajah cantik anaknya. Ia merasa nyaman saat tangan-tangan mungil itu memeluk erat.Satu tahun terlalui, rumah ini terasa begitu sepi. Sebab sebelumnya ia sering mendengar celoteh Syaina meski jarang menggendong apalagi sampai mencium. Sebegitu jauhkah ia dari darah dagingnya sendiri?Sejenak kemudian, ingatan Langit terlempar pada sebuah kata, Leukimia.Ya Allah ...Langit mengusap wajahnya kasar. Bagaimana mungkin anakku menderita leukimia?Ia menghela napas berat. Tak paham kenapa hatinya terasa begitu sakit dan kecewa mendapati kenyataan pahit tersebut. Langit kembali mencoba menyimpan wajah Syaina hingga sesosok yang lain mampir begitu saja. Hana.Penampilan wanita itu kini banyak berubah, jilbab yang sudah lebih lebar dengan
Hana sejenak terdiam, dua netra memandang tak percaya."Perkenalkan nama saya Syarlina."Wanita itu mengulurkan tangannya yang tampak begitu mulus dan indah."Saya Hana.""Em, saya pernah dengar Mas Langit menyebut namamu. Dulu, saat pertama kali kami bertemu. Tepatnya setelah kalian bercerai. Sebenarnya saya sudah ingin bertemu denganmu semenjak dahulu. Tapi ...."Dia menarik napas."Ah, syukurlah bisa juga bertemu denganmu saat ini, di detik-detik pernikahanku dengan Mas Langit akan diadakan."Hana menarik napas berat. Menatap Lina saat wanita itu menyerahkan sebuah undangan berwarna keemasan.Hana mencoba melirik cover depan dan bisa membaca dua buah nama yang bersanding dengan tulisan diukir begitu indah.Syarlina Hermawan dan Langit Gagah Perkasa.Jadi mereka akan segera menikah?Hana membatin. Meski semenjak pertama kali mengangkat kaki dari Kota Jakarta ia sudah sangat mempersiapkan diri akan kenyataan ini. Tapi, entah kenapa saat sudah benar-benar dihadapkan pada kenyataan, ha
Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit. Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.*Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu."Siapa?""Saya Mas, Hana.""Masuk, Han."Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky."Apa Mas sudah lama menungguku?"Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky."Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?""Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan.""Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?""Saya su
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi, satu hal yang tak ingin kusia-siakan yaitu kesempatan untuk mencintaimu.*"Apa maksud ucapanmu, Mas?"Lina menatap dengan wajah memerah. Ia seakan sudah bisa membaca arah ucapan Langit. "Lin, aku salah karena berpikir kau lah cinta sejatiku. Tapi nyatanya, hidupku tak berarti semenjak Hana dan anakku pergi. Aku tak pernah menemukan bahagia yang aku cari ketika bersamamu. Aku minta maaf, Lin.""Kamu sudah tidak waras, Mas? Kamu pikir aku mainan, seenaknya saja kau dekati dan kau tinggalkan begitu saja? Kau lupa siapa yang datang padaku lebih dulu?""Iya, aku memang datang padamu. Tapi kau yang mengundang.""Kau mau menuduhku, Mas?""Aku tidak menuduh, memang kenyataannya seperti itu. Kau 'kan yang menyuruh Andre mengundangku ke rumahmu hari itu? Hari dimana aku menceraikan istriku?"Lina terdiam."Setelahnya berapa kali aku ragu untuk mengurus perceraianku ke pengadilan, tapi kamu! Kamu yang terus membujukku hingga aku semakin terlena dan
Langit mendapati kebisuan, Rezky tak langsung menjawab pertanyaannya."Rez, Kami masih di sana?""Hm, iya. Kamu mau aku menjawab dengan jujur?""Tentu.""Baik aku akan katakan yang sebenarnya. Sebenarnya aku sudah lama mengenal istrimu, kami satu SMA. Aku menyukainya sudah semenjak dahulu, tapi kamu tahu 'kan aku bukan tipe yang mudah menyatakan cinta. Hingga kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku masih belum juga berani bicara tentang perasaanku. Satu bulan yang lalu, aku sangat terkejut, saat dia datang membawa seorang anak untuk berobat. Lang, Syaina anakmu adalah pasienku."Langit benar-benar terhenyak, ini adalah sebuah berita yang berhasil membuat degup jantungnya riuh berdetak."Lang, apa kamu keberatan jika suatu saat aku melamar mantan istrimu menjadi istriku?"Pertanyaan itu membuat jantung Langit tersentak kuat. Dia tak dapat berkata, terlalu berat rasanya mengikhlaskan sesuatu yang masih begitu ingin dimiliki. Sang lelaki menarik napas dalam. Ia tak mungkin menahan siapapu
Hana mencoba tersenyum untuk menetralisir kegugupan, lalu membuka suara."Ini serius?""Jawab saja dulu."Rezky kembali menjawab dengan jawaban yang sama tiap kali Hana melempar pertanyaan."Jika memang pertanyaan yang di sana itu benar adanya, dari hati Mas Rezky yang terdalam, saya akan menjawab dengan serius."Rezky tampak menatap Hana."Saya belum bisa menerima lamaran siapapun untuk saat ini, Mas."Suasana seketika tegang. Rezky menarik napas."Jika tidak untuk saat ini?""Maksud, Mas?""Saya tidak memaksa agar kamu memberi jawabannya hari ini. Tapi besok, satu minggu ke depan, satu bulan atau bahkan satu tahun? Apa kamu sudah akan punya jawaban atas pertanyaan ini?"Hana tercenung sejenak, ia tak percaya jika Rezky terlihat begitu serius dengan lamarannya. Bahkan ia bersedia menunggu untuk setahun."Kenapa harus saya? Saya ini seorang janda, sementara Mas menikah saja belum. Mas Rezky punya karir yang bagus, wajah yang rupawan, sebaiknya Mas melamar seseorang dari kalangan Mas s
Hana tersenyum menatap pemberian dari lelaki di hadapannya, sebuah pemandangan yang membuat Langit di kejauhan sana seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan.Terlebih saat tangan mantan istrinya itu terulur untuk mengambil cincin yang diberikan Rezky. Ah, bukan itu saja yang membuat hati Langit semakin teriris, Syaina, buah hatinya bersorak bahagia melihat pemandangan itu. Bocah tersebut bahkan kini sudah berada dalam gendongan sahabat lamanya tersebut.Semua sudah berakhir, apakah ini pertanda agar aku mengubur rapat keingian untuk rujuk?"Papa ...."Suara panggilan Syaina membuyarkan pikiran Langit. Ia terhenyak, dan kembali dari alam khayalan.Bocah itu berlari ke arah sang ayah. "Sayang, kamu mau kemana?"Tanpa menggubris panggilan sang ibu, Syaina terus berlari keluar pagar lalu jatuh di dalam dada bidang papanya. Langit memeluk putrinya erat."Papa kemana aja? Syaina kangen."Jemari mungil Syaina yang menempel di punggung Langit membuat lelaki itu kembali merasa bergetar."Maa
Hana menyimpan cincin itu, dengan maksud bertanya pada Langit ketika nanti lelaki itu mengantar Syaina kembali. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dan mendapati ponselnya berdering.Hana menelisik nomor asing yang muncul di layar ponsel, meski ragu wanita itu mengangkat jua panggilan tersebut."Hallo.""Aku tak ingin berbasa basi. Kupikir kamu wanita baik-baik yang bisa dipercaya, ternyata semuanya palsu. Kamu yang memintaku untuk tidak berdusta, tapi apa? Kamu juga yang terlebih dahulu mendustaiku.""Kamu siapa? Apa maksud omonganmu?""Aku Lina, calon istri Mas Langit.""Lina? Maaf ya, saya nggak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan tadi?"Hana bertanya sedikit kesal karena Lina menyerangnya begitu saja."Dengar ya Han, Mas Langit membatalkan pernikahan kami. Alasannya, kamu. Tiba-tiba ia merasa berdosa karena udah menceraikan kamu dan berpikir untuk memperbaikinya. Katakan apa salahku, Han? Apa aku pernah menyakitimu? Apa aku datang sebelum kau bercerai? Tidak 'kan Han? Aku tidak t
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be