Home / Romansa / Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu / 7. Membatalkan Pernikahan

Share

7. Membatalkan Pernikahan

Author: Wahyuni SST
last update Last Updated: 2023-03-06 18:18:25

Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit. 

Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.

*

Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.

Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu.

"Siapa?"

"Saya Mas, Hana."

"Masuk, Han."

Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky.

"Apa Mas sudah lama menungguku?"

Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky.

"Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?"

"Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan."

"Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?"

"Saya sudah terlalu lama tidak masuk, jadi merasa tidak enak, Mas. Syaina di sanapun hanya beristirahat tanpa melakukan kegiatan apa-apa termasuk bermain."

Rezky menatap wajah yang tampak lelah di hadapannya. Wajah ayu dengan bulu mata lentik tanpa penjepit, alisnya sedikit bersambung dengan bola mata kecoklatan, bibir tipis berwarna merah muda, pipi kemerahan karena sengatan matahari, disempurnakan dengan peletakan hidung mungil tapi mancung. Ciri khas orang Asia

Cantik dan bersahaja.

Batin Rezky selalu bergumam tak kala berkesempatan memandang dalam jarak yang dekat.

Jika beberapa waktu lalu sempat menahan pandangan karena berpikir Hana telah bersuamikan orang lain, setelah tahu bahwa mereka sudah bercerai. Seakan ada sebuah lampu hijau yang memintanya untuk terus berjalan.

"Yasudah tidak apa-apa. Mau saya bacakan hasil pemeriksaannya sekarang? Atau kita shalat dulu baru bicara gimana?"

"Boleh, Mas. Habis dhuhuran aja."

"Yaudah yuk ke mushalla."

Mereka berbarengan menuju mushalla.

*

Hana sudah menunggu Rezky di depan ruangannya, ia tadi sempat melihat lelaki itu duduk berzikir usai shalat. Sebuah kebiasaan yang sangat jarang dilakukan oleh lelaki seumuran dirinya. Apalagi Rezky adalah dokter yang punya cukup banyak kesibukan. Tapi dalam hal ibadah lelaki itu selalu melebihkan diri.

Sekitar lima belas menit menanti, akhirnya Rezky terlihat jua dipandangan Hana. Dengan wajah berseri-seri, ia mendekati sang wanita.

"Maaf ya nunggu lama."

"Nggak papa, Mas."

"Ayo masuk lagi."

Hana mengangguk dan masuk kembali ke ruangan Rezky. Mereka duduk berhadapan.

"Apa harapanmu pada hasil pemeriksaan ini?"

"Tak lain, Mas. Hanya kesembuhan Syaina."

Rezky tersenyum, membuat degup di dada Hana semakin menyentak.

"Alhamdulillah, Allah mengabulkan doamu dan Syaina."

Dua netra Hana membelalak.

"Syaina bersih dari kanker. Ia hanya mengalami peningkatan jumlah sel darah putih yang kemungkinan besar adalah karena infeksi pada paru-parunya."

Masih panjang Rezky berkata, tapi Hana sudah tak lagi mendengarnya. Saking bahagia ia seketika sujud ke lantai.

Resky berhenti berkata lalu ia menatap wanita itu yang kinberlinang air mata.

"Makasih, Mas. Mas sudah banyak membantu."

Hana masih terisak.

"Sudah jangan menangis."

"Ini tangis bahagia, Mas. Saya nggak bisa bayangkan jika setelah biopsi hasilnya positif. Hancur Mas perasaan ini."

"Iya, saya mengerti."

"Tapi kemarin Syaina sempat mimisan."

"Bisa jadi karena iritasi pada saluran hidungnya."

Hana kembali menarik napas.

"Tapi tetap harus kontrol lagi ya, sampai paru-parunya bersih dan leukositnya kembali normal."

"Baik, Mas. Terima kasih banyak."

Rezky hanya tersenyum.

"Hana."

Ia memanggil lembut wanita di hadapannya. Membuat wajah Hana teralihkan.

"Iya, Mas."

"Besok Syaina ulang tahun."

Dua netra Hana membelalak. Ia mengingat-ingat tanggal.

"Astaghfirullah, saya bahkan sampai lupa."

"Harap maklum, kamu menghadapi ini semua seorang diri, pasti sangat berat."

Angan Rezky sejenak terlempar pada pertemuannya kemarin dengan Langit. Sungguh jika mengingat perbuatan Langit pada Hana, ingin rasanya memutuskan persahabatan. Tapi sang lelaki hanya bisa mengelus dada.

Sementara Hana menunduk, Rezky kembali berucap.

"Saya punya kejutan untuk Syaina."

"Kejutan?"

"Apa kamu bisa membawanya ke suatu tempat?"

Rezky menyebutkan kemana ia meminta Hana membawa Syaina esok hari. Tak dapat dipungkiri, kejutan yang direncanakan sang lelaki berhasil membuat Hana begitu terharu.

Dia yang tak punya hubungan apapun, tapi bertindak seperti seorang yang begitu sayang. Sementara lelaki yang harusnya bertanggung jawab, tega meminta mereka menjauh.

Pertemuan hari itu berhasil membuat Hana merasakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia jalani selama ini. Entah itu karena terlalu bahagia dengan hasil pemeriksaan, atau karena perhatian yang ditunjukkan Rezky. Hana menyimpan tanya, kenapa hatinya seperti ini?

*

Hana pulang membawa kabar gembira, ia menjemput sang anak untuk kemudian berniat menceritakan hal tersebut pada buah hatinya.

"Syaina nggak bangun-bangun dari ranjang sampai ketiduran gitu," ucap salah satu teman yang menjaga Syaina. Hana menatap buah hatinya, bersyukur jika kemarin-kemarin rasa takut hampir membuatnya tak berniat melanjutkan hidup, tapi hari ini semua gundah terangkat sudah.

"Nggak papa Fir, sepertinya Syaina masih takut karena beberapa waktu lalu sempat dibiopsi dan emang dokternya Belum ngijinin beraktivitas dulu."

"Terus kenapa kamu bawa dia kemari?"

"Nggak ada cara lain Firda. Aku sudah cukup lama ijin karena mengurus Syaina. Sudah waktunya kembali bekerja."

Firda menghela napas.

"Yang kuat ya, Han. Aku yakin Syaina pasti akan sembuh."

"Alhamdulillah, kamu tahu, hasil pemeriksaan biopsi Syaina negatif, Fir. Anakku tidak menderita Leukimia."

"Benarkah?"

Hana mengangguk. Sang sahabat seketika memeluknya.

"Aku ikut senang mendengar berita ini."

"Alhamdulillah. Makasih ya."

"Mama ...."

Dalam suasana haru itu, suara Syaina mengejutkan Hana.

"Kamu udah bangun, Nak?"

Hana melerai pelukannya.

"Mama kemana aja? Syaina takut bangun, padahal udah kebelet pipis."

"Astaghfirullah, yaudah ayuk Mama kawani ke kamar mandi."

Hana menggendong buah hatinya untuk ke kamar mandi. Suasana saat itu memang sudah sepi, hanya ada beberapa murid yang masih berada di PAUD.

Usai menemani sang anak, Hana mendudukkan Syaina di atas ranjang.

"Mama tadi ke rumah sakit, Sayang."

"Ketemu sama dokter Rezky?"

Hana mengangguk.

"Pasti ngomongin Syaina?"

"Iya, kok tahu?"

"Tahulah, soalnya Dokter Rezky 'kan suka ngomongin Syaina."

Hana tersenyum, ia akan berterus terang.

"Nak, mulai saat ini kamu tidak perlu lagi merasakan sakitnya ketika semua alat-alat pemeriksaan dimasukkan ke tubuh. Dokter Rezky bilang sama Mama kalau hasil pemeriksaan yang terakhir menunjukkan kalau Syaina tidak mengalami Leukimia, Sayang. Dokter bilang Syaina hanya menderita infesi saluran napas, Nak."

Syaina terdiam.

"Kamu nggak senang, Nak?"

"Senang."

"Tapi kok nggak ngucapin Alhamdulillah."

"Alhamdulillah," jawab Syaina tak semangat.

Entah apa yang dirasakan bocah itu, kebahagiaan di hati Hana membuatnya abai akan hal itu. Ia memeluk buah hatinya.

Firda yang menyaksikan ikut menyeka air mata haru yang berderai. Pemandangan itu berhasil membuat siapapun yang menyaksikan ikut merasa bahagia sekaligus terharu.

*

Sementara itu di sudut kota lain ...

Langit menatap baju pengantin yang ada di hadapannya. Pernah ia mengenakan pakaian itu, tepatnya lima tahun yang lalu. Saat itu ia sangat merasa enggan. Namun, demi kedua orang tua yang sangat dicintai, lelaki itu memaksakan diri untuk memakainya jua.

Dan saat ini, terhitung tujuh hari lagi lagi, ia pula akan kembali mengenakan pakaian tersebut. Ini sesuai dengan keinginannya semenjak dahulu, menikahi Lina.

Tapi kenapa iapun enggan mengenakan pakaian pengantin tersebut?

"Fitting bajunya oke. Tinggal nunggu hari H aja. Bagaimana perasaan kalian berdua?" sapa desainer yang dipinta khusus oleh Lina untuk merancang pakaian pengantinnya bersama Langit.

"Deg-degan lah," jawab Lina seraya melirik Langit yang semenjak tadi hanya membungkam mulutnya.

"Dokter Langit sedang kurang sehat, ya?"

Langit terhenyak, pandangan yang tadi entah tertuju kemana kini fokus pada wanita di hadapan.

"Saya baik."

"Oh maaf, saya pikir sakit sebab dari tadi hanya diam."

"Sedang banyak kerjaan aja sih, Na," potong Lina.

"Iya ya, apalagi mendekati masa cuti. Semoga kalian berdua selalu diberi kesehatan sampai hari H."

"Aammiin ...."

Lina menjawab sedang Langit masih terdiam. Mereka kini keluar dari butik tersebut.

"Mas, makan siang yuk. Aku lapar ...."

"Aku nggak bisa, harus balik ke rumah sakit sekarang."

"Sebentar aja ya, Mas. Lagian kamu juga belum makan."

Tak lagi menjawab pertanyaan Lina, Langit justru memberhentikan mobil. Berat untuk berkata, karena janji yang telah terlebih dahulu terucap. Tapi dia tidak bisa melanjutkan jika hanya akan memberi kepalsuan seperti dahulu.

"Lin, aku minta maaf padamu."

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Lin."

Wajah Lina seketika teralihkan pada Langit.

"Apa maksud kamu, Mas?"

"Aku terlambat menyadarinya, Lin. Aku mencintai mantan istriku dan aku ingin kembali padanya."

***

Bersambung

Nah, baru sadar ternyata. Apakah Hana masih ada rasa? Atau kisah Langit-Hana hanya akan menjadi sebuah kenangan yang tetap mengabadi dalam sebuah album bernama masa lalu?

Yuk baca lanjutannya.

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Irizka RA Yusuf
waaah bagus nih, lanjut aaah
goodnovel comment avatar
Shanaz Khambali
saya pernah di situasi begitu sakit tapi hidup terus berjalan
goodnovel comment avatar
Maseen Srimulyeni
rasanya ikut sakit, dgn apa yg dialami Hana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   8. Penyesalan Terdalam

    Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi, satu hal yang tak ingin kusia-siakan yaitu kesempatan untuk mencintaimu.*"Apa maksud ucapanmu, Mas?"Lina menatap dengan wajah memerah. Ia seakan sudah bisa membaca arah ucapan Langit. "Lin, aku salah karena berpikir kau lah cinta sejatiku. Tapi nyatanya, hidupku tak berarti semenjak Hana dan anakku pergi. Aku tak pernah menemukan bahagia yang aku cari ketika bersamamu. Aku minta maaf, Lin.""Kamu sudah tidak waras, Mas? Kamu pikir aku mainan, seenaknya saja kau dekati dan kau tinggalkan begitu saja? Kau lupa siapa yang datang padaku lebih dulu?""Iya, aku memang datang padamu. Tapi kau yang mengundang.""Kau mau menuduhku, Mas?""Aku tidak menuduh, memang kenyataannya seperti itu. Kau 'kan yang menyuruh Andre mengundangku ke rumahmu hari itu? Hari dimana aku menceraikan istriku?"Lina terdiam."Setelahnya berapa kali aku ragu untuk mengurus perceraianku ke pengadilan, tapi kamu! Kamu yang terus membujukku hingga aku semakin terlena dan

    Last Updated : 2023-03-06
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   9. Bukan Waktu Yang Tepat

    Langit mendapati kebisuan, Rezky tak langsung menjawab pertanyaannya."Rez, Kami masih di sana?""Hm, iya. Kamu mau aku menjawab dengan jujur?""Tentu.""Baik aku akan katakan yang sebenarnya. Sebenarnya aku sudah lama mengenal istrimu, kami satu SMA. Aku menyukainya sudah semenjak dahulu, tapi kamu tahu 'kan aku bukan tipe yang mudah menyatakan cinta. Hingga kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku masih belum juga berani bicara tentang perasaanku. Satu bulan yang lalu, aku sangat terkejut, saat dia datang membawa seorang anak untuk berobat. Lang, Syaina anakmu adalah pasienku."Langit benar-benar terhenyak, ini adalah sebuah berita yang berhasil membuat degup jantungnya riuh berdetak."Lang, apa kamu keberatan jika suatu saat aku melamar mantan istrimu menjadi istriku?"Pertanyaan itu membuat jantung Langit tersentak kuat. Dia tak dapat berkata, terlalu berat rasanya mengikhlaskan sesuatu yang masih begitu ingin dimiliki. Sang lelaki menarik napas dalam. Ia tak mungkin menahan siapapu

    Last Updated : 2023-03-06
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   10. Merebut Kembali Hati Mantan Istrii

    Hana mencoba tersenyum untuk menetralisir kegugupan, lalu membuka suara."Ini serius?""Jawab saja dulu."Rezky kembali menjawab dengan jawaban yang sama tiap kali Hana melempar pertanyaan."Jika memang pertanyaan yang di sana itu benar adanya, dari hati Mas Rezky yang terdalam, saya akan menjawab dengan serius."Rezky tampak menatap Hana."Saya belum bisa menerima lamaran siapapun untuk saat ini, Mas."Suasana seketika tegang. Rezky menarik napas."Jika tidak untuk saat ini?""Maksud, Mas?""Saya tidak memaksa agar kamu memberi jawabannya hari ini. Tapi besok, satu minggu ke depan, satu bulan atau bahkan satu tahun? Apa kamu sudah akan punya jawaban atas pertanyaan ini?"Hana tercenung sejenak, ia tak percaya jika Rezky terlihat begitu serius dengan lamarannya. Bahkan ia bersedia menunggu untuk setahun."Kenapa harus saya? Saya ini seorang janda, sementara Mas menikah saja belum. Mas Rezky punya karir yang bagus, wajah yang rupawan, sebaiknya Mas melamar seseorang dari kalangan Mas s

    Last Updated : 2023-03-07
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   11. Dua Cincin Untuk Satu Wanita

    Hana tersenyum menatap pemberian dari lelaki di hadapannya, sebuah pemandangan yang membuat Langit di kejauhan sana seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan.Terlebih saat tangan mantan istrinya itu terulur untuk mengambil cincin yang diberikan Rezky. Ah, bukan itu saja yang membuat hati Langit semakin teriris, Syaina, buah hatinya bersorak bahagia melihat pemandangan itu. Bocah tersebut bahkan kini sudah berada dalam gendongan sahabat lamanya tersebut.Semua sudah berakhir, apakah ini pertanda agar aku mengubur rapat keingian untuk rujuk?"Papa ...."Suara panggilan Syaina membuyarkan pikiran Langit. Ia terhenyak, dan kembali dari alam khayalan.Bocah itu berlari ke arah sang ayah. "Sayang, kamu mau kemana?"Tanpa menggubris panggilan sang ibu, Syaina terus berlari keluar pagar lalu jatuh di dalam dada bidang papanya. Langit memeluk putrinya erat."Papa kemana aja? Syaina kangen."Jemari mungil Syaina yang menempel di punggung Langit membuat lelaki itu kembali merasa bergetar."Maa

    Last Updated : 2023-03-08
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   12. Kemarahan Hana

    Hana menyimpan cincin itu, dengan maksud bertanya pada Langit ketika nanti lelaki itu mengantar Syaina kembali. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dan mendapati ponselnya berdering.Hana menelisik nomor asing yang muncul di layar ponsel, meski ragu wanita itu mengangkat jua panggilan tersebut."Hallo.""Aku tak ingin berbasa basi. Kupikir kamu wanita baik-baik yang bisa dipercaya, ternyata semuanya palsu. Kamu yang memintaku untuk tidak berdusta, tapi apa? Kamu juga yang terlebih dahulu mendustaiku.""Kamu siapa? Apa maksud omonganmu?""Aku Lina, calon istri Mas Langit.""Lina? Maaf ya, saya nggak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan tadi?"Hana bertanya sedikit kesal karena Lina menyerangnya begitu saja."Dengar ya Han, Mas Langit membatalkan pernikahan kami. Alasannya, kamu. Tiba-tiba ia merasa berdosa karena udah menceraikan kamu dan berpikir untuk memperbaikinya. Katakan apa salahku, Han? Apa aku pernah menyakitimu? Apa aku datang sebelum kau bercerai? Tidak 'kan Han? Aku tidak t

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   13. Rencana Pernikahan Langit

    Langit meneguk sedikit kopi panas yang ia pesan tadi pada salah satu pelayan hotel, hatinya sungguh kacau. Berbagai kejadian dalam hidup mulai dari saat ia resmi menikahi Hana sampai kejadian tadi siang melintas di dalam benak.Ia sadar telah melakukan banyak kesalahan. Ia bahkan sudah menyakiti hati dua wanita sekaligus dengan segala keinginannya.Lelaki itu mengeluarkan ponsel lalu mencoba mengetik sebuah pesan.[Hana, Mas minta maaf atas semua tuduhan Lina padamu. Mas akan bicara dengannya. Dan soal perasaan Mas untukmu, Mas juga minta maaf. Karena rasa yang terlambat ini telah menyakiti hatimu kembali. Mas akan simpan rapat semua cinta itu. Mas hanya ingin kamu bahagia, karena sadar dahulu telah banyak menebar luka. Jika bersama Rezky akan membuatmu bahagia, silahkan lanjutkan. Mas cukup kamu ijinkan satu hal, tolong tetap beri kesempatan untuk bisa bertemu Syaina. Karena selain kamu, hanya Syaina yang bisa buat Mas bahagia.]Dengan hati yang perih, ia mensend pesan tersebut. Lang

    Last Updated : 2023-03-11
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   14. Pengakuan Mantan Suami Lina

    Keluar dari ruangan Lina dengan perasaan tak karuan, Langit justru bertemu seorang lelaki. Lelaki yang entah kenapa seperti familiar di benaknya.Mereka saling bertatapan."Bisa bicara sebentar," tanya lelaki itu pada Langit."Anda siapa?""Saya Reno, mantan suaminya Lina."Langit terhenyak."Aku minta waktu sebentar saja, ada hal penting yang inginku bicarakan dengan Mas Langit."Meski diawali rasa ragu untuk mengiyakan, tapi entah kenapa langkah Langit terulur jua untuk mengikuti lelaki di hadapannya. Mereka duduk di kantin rumah sakit."Sudah lama saya ingin ke Jakarta terutama untuk menemui Mas Langit. Tapi selalu terkendala karena mengurus ibu kandung yang sedang sakit.""Ada perlu apa kamu ingin menemuiku."Lelaki di hadapan Langit tersenyum kecil."Maaf sebelum aku jujur tentang tujuanku menemuimu, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan saja pada Mas Langit?""Silahkan.""Apakah Mas Langit dan Lina sudah resmi menikah?""Memangnya kenapa?"Lelaki di hadapan Langit menarik napa

    Last Updated : 2023-03-11
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   15. Akhirnya Terbongkar

    Langkah Hana terhenti saat mendapati lelaki yang keluar dari kamar rawatan Hana menyapa merwka.Udah pada ramai-ramai di sini, ah ada dr. Rezky juga ternyata? Apa kabar dok?"Dr. Helmi mengulurkan tangan menyalami dua lelaki dan satu perempuan yang ada di hadapannya."Alhamdulillah, sangat baik. Dok sendiri apa kabar?""Sehat, bahkan semakin sehat. Lihat saja berat badan saya yang semakin tua semakin bertambah."Lelaki-lelaki itu tertawa."Ngomong-ngomong pada mau ngejenguk Lina semua ne?" tanyanya menatap satu persatu yang hadir di tempat itu.Rezky mengangguk."Owalah, Lina pasti senang dikunjungi sama teman-temannya."Pandangan dr. Helmi tertuju pada Syaina."Yang ini siapa Dok?" tanyanya pada Langit.Rezky terhenyak, sementara Hana hanya bisa mengelus dada. Pada kenyataan selama ini Langit memang selalu tak pernah menganggap mereka ada."Ini anak saya dok.""Masya Allah udah sebesar ini."Dua netra dr. Helmi seketika menatap Hana."Ini ibunya?"Langit mengangguk, sementara Hana me

    Last Updated : 2023-03-14

Latest chapter

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   90. Pelajaran Hidup Terbaik

    Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   89. Penyesalan Ibunda Rian

    "Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   88. Siapa Wanita Itu?

    "Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   87. Keputusan Ibu Mertua

    "Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   86. Hak Waris (Season 2)

    Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   85. Bahagiakan Aku

    Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   84. Perpisahan Terindah

    Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   83. Impoten

    "Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   82. Alhamdulillah, Sah

    Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status