Hana hendak bangkit, tapi jemari sang suami yang memegang bahunya membuat wanita itu tak dapat bergerak. Netra Langit tertuju pada bola mata di hadapannya yang menatap tak berkedip. Jemari yang tadi hanya berfungsi untuk menahan kini digerakkan untuk mendorong. Diawal memang terasa tertahan oleh penolakan sang istri, tapi ketika Langit berhasil menyentuh bagian teranum milik sang istri. Perlawanan yang dilakukan Hana perlahan terelai.Inilah malam pertama sesungguhnya. Yang dilakukan Langit atas kesadaran penuh. Semakin lama, Hana pun semakin larut dalam penyatuan cinta mereka. Tasbih dan doa terucap dengan harapan sunnah yang mereka lakukan akan menghasilkan putra dan putri yang shalih serta shalihah.Bagi Langit, malam ini, ia seperti baru pertama kali menyentuh seorang wanita. Sebusuk-busuknya ia, Langit tidak pernah menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Pada Hana lah ia melepas keperjakaan, meski dahulu dilakukannya dalam keadaan mabuk.Dan malam inilah ia sempurna merasakan men
Langit masih ingin memantau, tapi panggilan dari ruangan poli anak membuatnya tak dapat mengelak. Banyak pasien yang sudah mengantri untuk diobati, akhirnya lelaki itu memilih untuk kembali menjalankan tugasnya, dan berjanji akan menemui Dafa selepas dinas nanti.Jam terus bergulir, kini tepat menunjukkan pukul dua belas siang hari. Setelah selesai memeriksa pasien terakhir, Langit segera keluar ruangan dan berjalan menuju ruang bersalin.Ia langsung berjalan ke bed lima, tempat dimana tadi melihat Dafa masuk. Dua netra lelaki itu membelalak, ranjang bersalin sudah kosong."Kemana perginya pasien di bed ini?" tanya Langit pada perawat jaga."Baru keluar sekitar setengah jam yang lalu, Dok."Langit hanya bisa menghela napas. Dia mencoba mengecek ke parkiran, siapa tahu masih ditemukan di tempat tersebut. Namun ia tak mendapatkan apapun di sana. Bahkan Langit juga sudah mengecek ke luar halaman, tak jua mendapati Dafa dimanapun.Meski masih memendam penasaran, ia terpaksa menyimpan rasa
Mereka duduk di taman, pada satu bangku panjang. Hana, Syaina dan Dafa."Ma, es krimku udah habis. Aku boleh main plosotan nggak?""Boleh, Nak. Tapi hati-hati, ya."Syaina mengangguk dan berlari ke arah permainan. Sementara masih di tempat duduk, Hana yang sedikit risih setelah kepergian putri kecilnya, menggeser posisi lebih menjauh dari Dafa."Katanya tadi ada hal penting yang mau diomongin, ayo Mas sampaikan aja terus."Dafa terkekeh perlahan."Cuma mau bilang, Mama titip salam rindu untukmu."Dua netra milik Hana membulat."Itu hal pentingnya, Mas?""Iya. Ini justru lebih penting dari lain hal."Hana tersenyum."Bu Maryam apa kabarnya, Mas?""Mama sehat, diusianya yang sudah tua. Masih suka ngumpul-ngumpul seperti anak muda.""Alhamdulillah."Hana menarik napas dalam, teringat pada kedua orang tuanya yang tak lain adalah sahabat karib orang tua Dafa."Jika kedua orang tuaku masih hidup, mereka pasti seperti Bu Maryam.""Iya benar. Tapi usia manusia itu rahasia Allah, tak ada yang
"Hallo Syaina, gimana keadaan kamu, Nak?" tanya Dafa pada putri Langit dan Hana.Syaina tak menjawab, ia menunjukkan sikap tak bersahabat. Paham diabaikan, Dafa segera menyerahkan hadiah untuk gadis kecil itu dan berniat pamitan dari ruangan tersebut."Ini ada hadiah untuk Syaina, semoga Syaina suka ya hadiah dari Om ini."Sebuah kotak tertuju pada gadis kecil itu, tapi Syaina tak bereaksi. Hingga Hana mengulurkan tangannya untuk meraih benda tersebut."Makasih ya, Mas."Dafa mengangguk dan tersenyum."Yaudah, Om pamit ya. Om doakan semoga Syaina lekas sembuh supaya bisa main lagi sama Mama."Syaina tersenyum paksa, ketika jemari Dafa mengusap kepalanya."Mas pamit ya, Han."Hana mengangguk. Setelah itu, dua netra Dafa tertuju pada Langit, tak ada kata tapi tubuh sang lelaki berbalik dan keluar dari ruangan tersebut.Hana dan Langit saling berpandangan."Apa isi kotak itu, Ma?"Pertanyaan Syaina membuat Hana tersentak. Pandangannya kini tertuju pada sang buah hati."Kita buka di rumah
"Hallo.""Iya, Sayang.""Mas dimana?""Em, Mas masih di jalan.""Tapi udah lebih satu jam?""Iya, tadi Mas habis nolongin teman. Kebetulan dia kena musibah.""Perempuan?""Em, laki-laki.""Musibah apa?""Nggak ada kendaraan untuk pulang. Mobilnya mogok.""Oh, jadi Mas habis nganterin dia pulang? Kemana?""Kembangan.""Jadi sekarang Mas udah dimana?""Udah jalan balik kok, lima belas menit lagi Mas sampai. Masih sanggup nunggu atau mau istirahat duluan?""Udah nanggung Mas kalau tidur, Hana tunggu Mas pulang aja.""Makasih ya, maaf terlambat.""Iya, hati-hati, Mas."Sekitar tiga puluh menit perjalanan, Langit sampai di halaman rumah. Ia menarik napas dalam. Merasa bersalah karena tadi sudah membohongi Hana soal penumpang dalam mobilnya. Begitu saja otak memerintah untuk menukar kata yang ingin dia ucapkan.Salah satu yang menjadi alasan adalah merasa tak enak pada Hana jika wanita itu tahu ada wanita lain yang masuk ke mobilnya di malam hari. Meskipun sifatnya hanya untuk menolong, tap
Langit terhenyak mendapati sebuah panggilan yang berasal dari Reno, suaminya Dita. Meski sedang menangani pasien, ia terpaksa mengangkat panggilan itu."Hallo.""Hallo Mas Langit, apa kabar Mas?""Kabar baik. Ada apa Mas Reno menghubungi saya?""Maaf sebelumnya, Mas. Apa sedang ada kesibukan, Mas?""Iya, kebetulan sedang praktik.""Oh, mohon maaf kalau sudah mengganggu. Nanti jika Mas punya waktu luang, saya mau bicara sebentar.""Kenapa tidak sekarang saja?""Tapi tadi katanya sedang praktik.""Tidak apa Mas Reno, ngobrolnya 'kan tidak sampai berjam-jam. Silahkan saja, bisa dikondisikan kok.""Oh begitu, baiklah Mas. Ini tentang Lina Mas Langit."Langit terdiam sejenak, sudah dua kali lelaki itu bercerita tentang masalah dalam rumah tangga pada dirinya. Jujur, Langit merasa tak enak."Saya hanya tidak ingin Lina menganggu kehidupan Mas Langit dan keluarga, makanya saya ingin jujur sama Njenengan perihal ini."Deg."Ada apa Mas Reno?""Begini, Mas. Sudah beberapa hari ini Lina bersika
Waktu terus bergulir. Tahun berganti, setelah Syaina berusia enam tahun Langit dan Hana dikaruniai seorang bayi lelaki yang tampan. Mereka memberi nama Biantara Atha Arif. Sesuai cita-cita sang ayah, Syaina dan Atha keduanya disekolahkan sampai menjadi dokter. Kebahagiaan semakin melengkapi rumah itu, tatkala Syaina menerima keinginan Langit untuk menikah dengan salah satu anak teman seperjuangan sang ayah. Masa-masa indah menjelang pensiun, dilewati Langit dan sang istri dengan semakin memperbanyak rasa syukur kepada Allah. Buah dari rasa syukur itu, kehidupan mereka semakin dilimpahkan kebahagiaan. Hingga, berita rumah tangga putrinya yang terguncang membuat kedua insan itu begitu merasa pilu. *** Pov Syaina "Talita udah tidur, Yank?" "Udah, baru aja tidur habis kususui," jawabku seraya membereskan koper Mas Rian yang akan dibawa sebentar lagi keluar kota. "Hmm, enak banget adek selalu dilayani sama Mama, padahal Papa 'kan pengen juga dilayani. Apalagi udah hampir dua bulan P
Degup jantungku seketika berpacu kencang melihat foto tersebut. Tapi karena masih dihantui rasa penasaran, akhirnya aku kembali membuka-buka seluruh galeri foto yang biasanya jarang sekali kusentuh. Tersebab Mas Rian selalu sibuk bekerja dan jikalaupun pulang, maka sudah menjadi kebiasaan kami untuk tidak menyentuh ponsel masing-masing, demi maksimalnya kesempatan kami bersama di rumah. Setelah menggeser beberapa foto, akhirnya aku menemukan kembali sebuah foto dimana suamiku sedang berduaan bersama 0Friska. Jemari dokter cantik itu tidak tanggung-tanggung, melingkari leher Mas Rian. Mereka berdua tertawa ke arah kamera. Rasa cemburu begitu saja menusuk dada. Kulihat detail pengambilan foto tersebut untuk memastikan kapan waktu keduanya sedekat ini. Dan kembali aku harus menelan pil kekecewaan saat tahu tanggal yang tertera pada gambar itu. Satu bulan yang lalu. Aku mencoba memutar ingatan, bulan lalu Mas Rian memang sempat minta ijin padaku katanya ingin mengunjungi temannya yan
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be