Langit masih ingin memantau, tapi panggilan dari ruangan poli anak membuatnya tak dapat mengelak. Banyak pasien yang sudah mengantri untuk diobati, akhirnya lelaki itu memilih untuk kembali menjalankan tugasnya, dan berjanji akan menemui Dafa selepas dinas nanti.Jam terus bergulir, kini tepat menunjukkan pukul dua belas siang hari. Setelah selesai memeriksa pasien terakhir, Langit segera keluar ruangan dan berjalan menuju ruang bersalin.Ia langsung berjalan ke bed lima, tempat dimana tadi melihat Dafa masuk. Dua netra lelaki itu membelalak, ranjang bersalin sudah kosong."Kemana perginya pasien di bed ini?" tanya Langit pada perawat jaga."Baru keluar sekitar setengah jam yang lalu, Dok."Langit hanya bisa menghela napas. Dia mencoba mengecek ke parkiran, siapa tahu masih ditemukan di tempat tersebut. Namun ia tak mendapatkan apapun di sana. Bahkan Langit juga sudah mengecek ke luar halaman, tak jua mendapati Dafa dimanapun.Meski masih memendam penasaran, ia terpaksa menyimpan rasa
Mereka duduk di taman, pada satu bangku panjang. Hana, Syaina dan Dafa."Ma, es krimku udah habis. Aku boleh main plosotan nggak?""Boleh, Nak. Tapi hati-hati, ya."Syaina mengangguk dan berlari ke arah permainan. Sementara masih di tempat duduk, Hana yang sedikit risih setelah kepergian putri kecilnya, menggeser posisi lebih menjauh dari Dafa."Katanya tadi ada hal penting yang mau diomongin, ayo Mas sampaikan aja terus."Dafa terkekeh perlahan."Cuma mau bilang, Mama titip salam rindu untukmu."Dua netra milik Hana membulat."Itu hal pentingnya, Mas?""Iya. Ini justru lebih penting dari lain hal."Hana tersenyum."Bu Maryam apa kabarnya, Mas?""Mama sehat, diusianya yang sudah tua. Masih suka ngumpul-ngumpul seperti anak muda.""Alhamdulillah."Hana menarik napas dalam, teringat pada kedua orang tuanya yang tak lain adalah sahabat karib orang tua Dafa."Jika kedua orang tuaku masih hidup, mereka pasti seperti Bu Maryam.""Iya benar. Tapi usia manusia itu rahasia Allah, tak ada yang
"Hallo Syaina, gimana keadaan kamu, Nak?" tanya Dafa pada putri Langit dan Hana.Syaina tak menjawab, ia menunjukkan sikap tak bersahabat. Paham diabaikan, Dafa segera menyerahkan hadiah untuk gadis kecil itu dan berniat pamitan dari ruangan tersebut."Ini ada hadiah untuk Syaina, semoga Syaina suka ya hadiah dari Om ini."Sebuah kotak tertuju pada gadis kecil itu, tapi Syaina tak bereaksi. Hingga Hana mengulurkan tangannya untuk meraih benda tersebut."Makasih ya, Mas."Dafa mengangguk dan tersenyum."Yaudah, Om pamit ya. Om doakan semoga Syaina lekas sembuh supaya bisa main lagi sama Mama."Syaina tersenyum paksa, ketika jemari Dafa mengusap kepalanya."Mas pamit ya, Han."Hana mengangguk. Setelah itu, dua netra Dafa tertuju pada Langit, tak ada kata tapi tubuh sang lelaki berbalik dan keluar dari ruangan tersebut.Hana dan Langit saling berpandangan."Apa isi kotak itu, Ma?"Pertanyaan Syaina membuat Hana tersentak. Pandangannya kini tertuju pada sang buah hati."Kita buka di rumah
"Hallo.""Iya, Sayang.""Mas dimana?""Em, Mas masih di jalan.""Tapi udah lebih satu jam?""Iya, tadi Mas habis nolongin teman. Kebetulan dia kena musibah.""Perempuan?""Em, laki-laki.""Musibah apa?""Nggak ada kendaraan untuk pulang. Mobilnya mogok.""Oh, jadi Mas habis nganterin dia pulang? Kemana?""Kembangan.""Jadi sekarang Mas udah dimana?""Udah jalan balik kok, lima belas menit lagi Mas sampai. Masih sanggup nunggu atau mau istirahat duluan?""Udah nanggung Mas kalau tidur, Hana tunggu Mas pulang aja.""Makasih ya, maaf terlambat.""Iya, hati-hati, Mas."Sekitar tiga puluh menit perjalanan, Langit sampai di halaman rumah. Ia menarik napas dalam. Merasa bersalah karena tadi sudah membohongi Hana soal penumpang dalam mobilnya. Begitu saja otak memerintah untuk menukar kata yang ingin dia ucapkan.Salah satu yang menjadi alasan adalah merasa tak enak pada Hana jika wanita itu tahu ada wanita lain yang masuk ke mobilnya di malam hari. Meskipun sifatnya hanya untuk menolong, tap
Langit terhenyak mendapati sebuah panggilan yang berasal dari Reno, suaminya Dita. Meski sedang menangani pasien, ia terpaksa mengangkat panggilan itu."Hallo.""Hallo Mas Langit, apa kabar Mas?""Kabar baik. Ada apa Mas Reno menghubungi saya?""Maaf sebelumnya, Mas. Apa sedang ada kesibukan, Mas?""Iya, kebetulan sedang praktik.""Oh, mohon maaf kalau sudah mengganggu. Nanti jika Mas punya waktu luang, saya mau bicara sebentar.""Kenapa tidak sekarang saja?""Tapi tadi katanya sedang praktik.""Tidak apa Mas Reno, ngobrolnya 'kan tidak sampai berjam-jam. Silahkan saja, bisa dikondisikan kok.""Oh begitu, baiklah Mas. Ini tentang Lina Mas Langit."Langit terdiam sejenak, sudah dua kali lelaki itu bercerita tentang masalah dalam rumah tangga pada dirinya. Jujur, Langit merasa tak enak."Saya hanya tidak ingin Lina menganggu kehidupan Mas Langit dan keluarga, makanya saya ingin jujur sama Njenengan perihal ini."Deg."Ada apa Mas Reno?""Begini, Mas. Sudah beberapa hari ini Lina bersika
Waktu terus bergulir. Tahun berganti, setelah Syaina berusia enam tahun Langit dan Hana dikaruniai seorang bayi lelaki yang tampan. Mereka memberi nama Biantara Atha Arif. Sesuai cita-cita sang ayah, Syaina dan Atha keduanya disekolahkan sampai menjadi dokter. Kebahagiaan semakin melengkapi rumah itu, tatkala Syaina menerima keinginan Langit untuk menikah dengan salah satu anak teman seperjuangan sang ayah. Masa-masa indah menjelang pensiun, dilewati Langit dan sang istri dengan semakin memperbanyak rasa syukur kepada Allah. Buah dari rasa syukur itu, kehidupan mereka semakin dilimpahkan kebahagiaan. Hingga, berita rumah tangga putrinya yang terguncang membuat kedua insan itu begitu merasa pilu. *** Pov Syaina "Talita udah tidur, Yank?" "Udah, baru aja tidur habis kususui," jawabku seraya membereskan koper Mas Rian yang akan dibawa sebentar lagi keluar kota. "Hmm, enak banget adek selalu dilayani sama Mama, padahal Papa 'kan pengen juga dilayani. Apalagi udah hampir dua bulan P
Degup jantungku seketika berpacu kencang melihat foto tersebut. Tapi karena masih dihantui rasa penasaran, akhirnya aku kembali membuka-buka seluruh galeri foto yang biasanya jarang sekali kusentuh. Tersebab Mas Rian selalu sibuk bekerja dan jikalaupun pulang, maka sudah menjadi kebiasaan kami untuk tidak menyentuh ponsel masing-masing, demi maksimalnya kesempatan kami bersama di rumah. Setelah menggeser beberapa foto, akhirnya aku menemukan kembali sebuah foto dimana suamiku sedang berduaan bersama 0Friska. Jemari dokter cantik itu tidak tanggung-tanggung, melingkari leher Mas Rian. Mereka berdua tertawa ke arah kamera. Rasa cemburu begitu saja menusuk dada. Kulihat detail pengambilan foto tersebut untuk memastikan kapan waktu keduanya sedekat ini. Dan kembali aku harus menelan pil kekecewaan saat tahu tanggal yang tertera pada gambar itu. Satu bulan yang lalu. Aku mencoba memutar ingatan, bulan lalu Mas Rian memang sempat minta ijin padaku katanya ingin mengunjungi temannya yan
Untuk sepersekian detik aku menatap Mas Rian dengan tatapan tajam. Apakah perkataan yang keluar dari bibirnya ini terjadi spontan atau telah melalui pemikiran yang cukup panjang? Kurasa ini hanya untuk menyelamatkan diri sebab takut karena aku meminta cerai. "Mas mau mencoba menipuku lagi? Maaf, aku sudah tidak percaya." "Demi Tuhan aku akan menceraikannya, Syaina. Aku berjanji, kamu bisa pegang kata-kataku ini." "Pernikahan, sekalipun secara bawah tangan, tetap saja sah menurut agama Mas. Menceraikan pasangan tanpa alasan syari yang diperbolehkan agama hukumnya haram. Oleh karena itu manusia diberi akal untuk berpikir, apa yang kamu cari di luar sana sebenarnya semua ada pada istri sahmu." Suaraku melemah, tak seperti tadi meski batin ini masih sakit tercabik-cabik oleh pengkhianatan Mas Rian. "Urungkan niat Mas menceraikannya, biarlah aku yang mundur." "Tidak Syaina, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kamu istriku, sampai kapanpun akan seperti ini. Kuakui aku khilaf, dan aku ak