Sudah tiga jam bu Sutri duduk di depan ruang operasi tapi belum ada tanda-tanda pintu ruangan itu akan terbuka. Sesekali aku melirik ke layar telpon genggamnya"Haduhh ..., kenapa lama sekali? Sebenarnya Dokternya melakukan operasi apa tidur sih?" gumamnyaIa pun bangkit dan berjalan sana-kemari dan lagi-lagi aku melihat layar telepon. "Sudah hampir empat jam, kenapa belum ada tanda-tanda mau selesai?" keluhannyahuhhhh! Bu Sutri menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Ia pun kembali duduk bersandar sambil menyilang kaki dan tangannya dilipat di dada tatapan matanya tertuju pada pintu ruang operasi.Ceklekkk! Akhirnya ada yang membuka pintu itu dari dalam. Bu Sutri dengan tergesa-gesa mendekati dokter yang keluar dari ruangan itu."Bagaimana kondisi anak saya, Dok? tanya bu Sutri."Alhamdulillah operasinya berhasil, Bu! Kondisi pasien masih dalam keadaan kritis Bu. Do'akan saja Semoga pasien secepatnya melewati masa kritis dan segera sadar ya, bu!" ucap sang dokter."Amiin! B
Bu Sutri berjalan setengah berlari dan secepat kilat ia menarik rambut Selly yang masih berantakan. " Beraninya kau membantah perintahku, ya!" Bu Sutri tiba-tiba murka."Auwww ..., Aaakkk! Sakit, bu!" teriak Selly sambil berusaha melepaskan rambutnya dari cengkeraman jari tangan sang mertua.Namun tak semudah itu bu Sutri terus menarik rambutnya kebawah sampai tubuh Selly berbalik yang tadinya membelakangi kini menghadap ke arah Bu Sutri. Ia tertunduk seperti sedang rukuh."Semalam aku bilang kirimkan baju ganti tapi tidak kau kirimkan. Sekarang aku minta buatkan aku makanan kau tidak mau juga, Hahhh! Jangan pernah memancing emosiku, kalau kau belum tahu siapa aku sebenarnya," geram bu Sutri."Ibu, sakit! Lepasin gak? Aku hitung sampai tiga, kalau Ibu gak melepaskan jangan salahkan aku jika terjadi apa-apa sama Ibu!" Bentak Selly."Memangnya kau mau apakan aku? Beraninya kau mengancamku, hahh! Ayo, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan di rumahku!" Bu Sutri semakin mengencangkan tar
"Non! Ini Handphone Non Tia, dari tadi bergetar." Bik Ina menyodorkan benda pipi di tangannya.Handphone Tia sebelumnya ia letakan di kamar. Semenjak toko onlinenya memiliki admin, Tia sudah jarang memegang handphone. Semua urusan promosi, menjawab pertanyaan dari costumer, menerima pesanan dll diserahkan pada bagian administrasi."Oh, iya Bik! Sebentar ya Tia cuci tangan dulu," ia menunjukkan tangannya yang penuh dengan adonan empek-empek."Raffa mana, Bik?" tanyanya karena bik Ina ke dapur sendirian padahal tadi ia menitipkan Raffa pada bik Ina."Den Raffa bobok Non, baru saja Bibik letakan di kamar. Makanya Bibik tahu kalau handphone Non Tia bergetar,""Oh ya, sudah! Terimakasih banyak ya, Bik! Tia mengulurkan tangannya untuk meminta handphone yang ada pada Bik Ina."Iya, Non!" Bik Ina pun memberikan handphonenya. "Ada yang bisa Bibik bantu, Non?""Gak usah, Bik! Bibik istirahat saja sudah ada Lisa dan Rini yang membantu Tia." Ia pun mengecek handphonenya. Ternyata ada banyak pang
"kamu kenapa Nak? Apa kamu lagi sakit?" Bu Anisa menatap wajah anak Tia."Tia gak papa, Mak! Oh ya, Mak sama Bapak kok gak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini?" Tia menempelkan kepalanya di bahu bu Anisa. Sedangkan Pak Rasyid duduk di depan di sebelah dokter Danu."Sebenarnya sudah dari beberapa bulan yang lalu emakmu itu mengajak Bapak kesini, katanya mau lihat langsung kondisimu disini. kerjaannya tiap hari cuma melihat fotomu saja, terus tiba-tiba nangis." Pak Rasyid menoleh kebelakang lewat sela-sela kursi."Emak kepikiran kamu terus, perasaan emak gak enak makanya emak sedih. Tapi setelah melihat keadaanmu sekarang Mak tenang." Bu Anisa mengelus wajah Tia yang bersandar di bahunya sedangkan Raffa yang berada di pangkuannya sudah tertidur pulas.Raffa memang gampang dekat dengan siapapun waktu pertama kali bertemu bik Ina, dia langsung nempel sama dokter Danu juga begitu. Sekarang sama neneknya walapun belum pernah bertemu, ia sama sekali tidak takut seperti bayi lainnya.Karena
Pak Rasyid yang baru saja keluar dari kamar mandi kebingungan karena tidak melihat keberadaan istri dan cucunya. Setelah berganti pakaian Ia pun berjalan keluar. Samar-samar ia mendengar suara orang menangis. Segera ia menuju ke sumber suara dan benar dugaannya sang istri dan putri kesayangannya tengah menangis tersedu-sedu.Pak Rasyid tersenyum melihat pemandangan itu. Ia mengira istri dan anaknya lagi melepas rindu karena kurang lebih dua tahun mereka tidak bertemu. Ia pun berdiri di ambang pintu yang memang tidak tertutup. Ia hanya ingin mendengarkan saja apa yang mereka bicarakan tidak berniat mengganggu."Hampir dua bulan Raffa di rumah sakit tak sekalipun Mas Irvan menjenguknya, Mak!" Tangis Tia semakin terisak mengingat kejamnya perlakuan sang suami terhadap Raffa sang buah hatinya.Tia rasanya tidak sanggup untuk bercerita. Dadanya sangat sesak jika mengingat kejadian itu. "Waktu Raffa kritis Mas Irvan datang bukan mau melihat Raffa tapi dia malah membuang kami, Mak! Ia membaw
Hatiku sangat senang melihat Tia bertemu dengan keluarganya. Aku bahagia melihat senyum di wajahnya apa lagi dihiasi dengan lesung pipinya. "Kamu cantik dan manis Tia!" ucapku dalam hati.Namun saat mendengar orang tuanya membicarakan Irvan, entah kenapa hatiku merasa sangat sakit perih bagai disayat. Tidak pernah aku merasakan hal seperti ini sebelumnya. Beberapa kali ku menatap Tia melalui kaca spion. Tak ada tanda-tanda ia akan menjelaskan seperti apa sebenarnya mantan suaminya. "Apakah Tia masih mencintai laki-laki brengsek itu? Apa dia ingin kembali padanya?" Begitu banyak pertanyaan dalam benakkuSetelah mengantar orang tuanya ke kamar untuk beristirahat aku memilih naik kelantai dua. Awalnya aku berniat melakukan olahraga seperti biasanya. Tapi sekarang, tubuhku rasanya tidak bertenaga, lemas seperti tak bertulang. Aku putuskan masuk kamar, dan menjatuhkan bobot tubuhku di atas kasur. Aku terlentang dengan Kedua tanganku di bawah kepala, mataku menatap plafon kamar."Tia, apaka
"Mas, aku 'kan gak bilang kalau aku mau nikah sama Mas. Kok mas bisa sebahagia itu? Aku 'kan cuma bilang aku menyukaimu bukan aku setuju menikah denganmu," ujar Tia setelah memutar tubuhnya."Gak masalah, kau menyukaiku saja sudah cukup bagiku. Urusan nikah akan kutunggu sampai kau benar-benar siap." Danu tersenyum menatap Tia begitupun sebaliknya. Rona kebahagiaan tampak jelas di wajah mereka berdua."Apa yang telah kalian lakukan?" Bu Anisa tiba-tiba saja muncul dari anak tangga.Deg! Tia dan Danu terkejut melihat bu Anisa sudah berdiri dihadapan mereka."ka-kami tidak melakukan apa-apa, Mak!" jawab Tia gugup.Bu Anisa hanya diam menatap Tia dengan penuh kecurigaan. "Tadi saya ketiduran, Bu! Jadi saya tidak mendengar kalau Tia mengetuk pintu." Danu berusaha meyakinkan Bu Anisa."Tia, Emak perlu bicara empat mata denganmu, nanti setelah selesai makan!" ucap bu Anisa tegas."Iya, Mak!" Tia menundukkan kepalanya."Ya sudah, ayo turun! Bapak sama yang lain sudah menunggu di meja makan
Tanpa Tia sadari diam-diam Danu mengikutinya dari belakang. Ia berdiri di depan pintu kamar Tia yang tidak tertutup sempurna. Ia penasaran apakah ibu Anisa marah karena perbuatannya? jika memang benar ia Siap bertanggungjawab, ia siap jika orang tua Tia memintanya menikahi Tia saat ini juga."Sudah seberapa jauh kalian berbuat dosa? Bu Anisa memotong ucapan Tia.Deg jantung tia berdegup kencang."Ma- maksud Emak apa?" Jawab Tia gugup"Jangan pura-pura tidak tahu emak sudah melihat semuanya! Sudah seberapa jauh hubungan kalian?" Bentak bu Anisa."Mak, ini tidak seperti yang emak pikirkan, Tia tidak pernah melakukan apapun." Tia menangis karena takut dan rasa bersalahnya menjadi satu."Terus apa yang harusnya emak pikirkan saat emak melihat kalian berpelukan, Tia? Emak gak nyangka kamu berbuat seperti ini. Emak malu Tia, apa kata orang nantinya? jangan-jangan yang berselingkuh itu kamu bukannya Irvan makanya kamu di usir dari rumahnya." "Mak, Tia bisa jelasin! Ini gak seperti yang Emak