Beranda / Rumah Tangga / Kami Tanpa Kamu / 6. Anakku atau Bukan

Share

6. Anakku atau Bukan

Penulis: Ka Umay
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-22 11:51:20

Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf.

"Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api."

Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum.

"Aku akan membelikan kamu baju lebaran."

"Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan."

"Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena."

"Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."

Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.

Lebaran yang mereka lalui bersama 5 tahun lalu sangat berkesan, Hana ke masjid memakai mukena putih yang dia belikan. Baju baru berupa gamis berwarna merah muda yang cantik. Suatu hari dia ingin memakaikan hijab kepada Hana setelah menjadi istrinya.

Ntah bagaimana ceritanya dia menyerah mencari Hana setelah sukses, terlalu sulit sampai berpikir Hana tidak di Lampung lagi. Dia menyesal berhenti mencari dan ternyata Hana sudah menjadi milik orang lain.

"Ayah," panggil anak kecil itu. Menarik celana Afrizal.

"Namamu siapa?"

Pria itu berjongkok, menyeimbangkan tubuh dengan tinggi si balita.

"Elil," jawabnya sembari tersenyum. Sangat cantik mirip dengan Hana.

"Sekarang Om belum tahu kamu anaknya Om atau bukan, jadi jangan panggil Ayah. Nanti orang salah paham."

Wajah anak itu terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. Sangat berbeda dengan wajah ceria ketika pertama kali mereka bertemu. Suasana menjadi hening dan rasa bersalah menyusup kedalam hatinya.

Mungkin, anak ini sudah menganggapnya ayah dan memang sangat ingin bertemu seperti perkataan Hana.

"Ayah benci Elil, ya?"

Pertanyaan itu membuat Rizal semakin merasa bersalah, disusul air mata balita yang mengalir. Menetes di bajunya yang kusut.

"Nggak, nggak gitu. Yaudahlah, panggil Ayah juga nggak papa. Ayo sekarang ikut Om, eh Ayah."

Mereka berjalan meninggalkan area mushola, membawa tas ransel milik Cheril ke kantor WterSun Group. Rizal harus mengambil tas kantor dan mengirim pesan ke Yuno tidak bisa menunggu hasil keputusan rapat.

Di kantor, suasana nampak berbeda. Banyak orang yang berbisik melihat Sekretaris pribadi Presdir membawa seorang balita.

Wajah Cheril tampak kagum melihat kemegahan gedung kantor, matanya melihat sekeliling sebelum mereka masuk ke dalam lift.

Mereka berpapasan dengan Marsha. Wanita cantik dengan pipi sedikit tembem itu melihat Rizal dengan terkejut.

"Adik manis ini siapa?"

Cheril menolak dipegang Marsha, malah bergelayut di kaki Rizal. Ketakutan. Sementara pria itu bingung mengatakan siapa Cheril.

"Ayah, Elil akut."

Mendengar itu Marsha tampak terkejut. "Eh, Ayah?"

"Maaf, kami harus pulang sekarang."

Pria itu berjalan melewati Marsha tanpa menjelaskan apapun. Segera mengambil barang-barangnya dengan cepat dan mengirim pesan ke Yuno. Mengeluarkan kunci mobilnya dan menggendong Cheril supaya lebih cepat meninggalkan kantor. Tidak tahan dengan bisakan orang.

"Mobil Ayah bagus." Anak itu menempelkan tangannya di kaca ketika Rizal memakaikan sabuk pengaman.

"Kamu sudah makan belum?"

Cheril menggeleng, tidak ada waktu untuk memberi anak ini makan. Rumah sakit akan segera tutup, jadi Rizal hanya mengeluarkan roti dari tasnya. Membukakan bungkus dan diberikan kepada Cheril.

"Makan ini dulu, nanti aku kasih makan yang bener."

Melihat roti diulurkan kepadanya, membuat mata bocah itu bersinar seperti tidak pernah makan roti sebelumnya. Dia duga anak itu sangat lapar.

"Asih Ayah." Roti segera diambil dan dimakan dengan lahap. Selainya sampai belepotan di bibir.

Rizal hanya menggelengkan kepala dan menghidupkan mesin mobil, segera ke rumah sakit untuk tes DNA. Dia harus tahu apakah anak ini hasil kesalahannya atau bukan.

Jika terbukti Cheril adalah anaknya, maka dosanya sangat besar karena meninggalkan mereka. Tidak bisa dibayangkan betapa menderitanya Hana menanggung semuanya sendirian selama ini.

Tapi, jika bukan. Berarti Hana telah menipunya. Untuk apa? Apa karena sekarang dia sudah sukses maka akan dimanfaatkan? Rizal tidak akan pernah memaafkan orang yang mempermainkan dirinya. Sekalipun itu Hana.

"Ayo turun," ucapnya ketika mobil berhenti di parkiran rumah sakit.

"Ayah, minum."

Dia tidak punya minum. "Nanti aku belikan minum."

Pintu mobil dibuka, mengeluarkan Cheril dari sana dan menggendong ke dalam. Mengelap bibir bocah itu yang belepotan.

"Elil suka digendong Ayah."

Bocah itu melingkarkan tangannya di leher Rizal. Tidak paham bahwa Rizal masih meragukannya. Belum mengakui bahwa Cheril putri. Wajah balita itu bersinar bahagia padahal hanya dia gendong.

Dalam hati Rizal masih berkata bahwa dia tidak mungkin berzina, mencium Hana saja tidak pernah. Dia begitu menjaga diri meskipun dekat. Sekalipun dalam pengaruh alkohol, tidak mungkin hilang kendali sepenuhnya. Apa mungkin Hana menjebaknya?

Segala proses dilakukan, perawat berkata bahwa hasil akan diketahui tiga minggu lagi. Rizal menggebrak meja, meminta hasil tes lebih cepat berapapun biayanya.

"Pokoknya saya minta secepatnya!"

"Tapi--"

"Anda bilang ke direktur atau saya hentikan pendanaan pada rumah sakit ini?" Ancamnya.

Urusan donatur adalah kuasanya, dia bebas memberikan donasi ke beberapa rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo. Yuno sama sekali tidak mengurusi hal tersebut.

"Ayah malah ma Elil?" tanya bocah itu ketakutan.

Padahal tadi ketika darahnya diambil, bocah itu tidak mengeluh sedikitpun, hanya memejamkan mata seperti perkataan suster.

"Nggak, kamu jangan nangis. Malu sama orang." Rizal menurunkan oktaf nadanya lebih lembut.

Balita itu terlanjur mengeluarkan air mata, sesenggukan menahan tangis.

"Baiklah, Pak. Seminggu lagi insyaallah hasil tes sudah bisa keluar. Kami akan bekerja lebih cepat karena WterSun Group donatur terbesar rumah sakit ini."

Rizal berdiri, menggandeng Cheril yang menangis keluar dari ruangan tanpa berkata terima kasih. Wajahnya masam.

Anak itu masih sesenggukan ketika menuju KFC. Mereka harus makan sebelum magrib. Namun jika Cheril terus menangis seperti ini, Rizal ragu membawanya ke sana. Pasti menjadi pusat perhatian apalagi tempat ini tidak jauh dari kantor.

"Jangan nangis dong, kamu mau aku beliin apa?"

Rizal berjongkok, menyeimbangkan tubuh mereka, tepat di parkiran.

"Ayah jang ukul Elil."

"Aku tidak mungkin memukulmu."

Mendengar itu Cheril mengusap air matanya dengan tangan, dia masih sesenggukan. Padahal dia hanya menggebrak meja, tidak memukul orang. Sikap Cheril seperti anak yang sering mendapat pukulan.

"Janji?"

"Janji," jawab Rizal mengulurkan jari kelingkingnya. Disambut Cheril yang masih sesenggukan.

Kali ini Rizal berubah pikiran, dia harus memberikan makanan bergizi kepada anak kecil. Bukan makanan cepat saji.

Mereka kembali ke mobil, bersiap pulang ke rumah. Lebih baik memesan delivery. Lewat ponsel Rizal memesan beberapa menu, memilih steak sapi dan tumis sayur campur. Terlihat di gambar ada brokoli, udang dan lainnya. Setahunya itu cocok untuk gizi anak.

"Kamu kurus sekali, di rumahmu biasa makan apa?" tanya Rizal. Dia mulai menghidupkan mobil.

"Elil nggak punya lumah."

"Om Alik itu siapa?"

"Ayahnya dede."

Aneh, seharusnya Cheril memanggil ayah angkatnya bapak atau ayah atau papa. Bukan malah Om. Dan lagi menumpang? Tidak ada dalam keluarga kalimat menumpang meskipun mereka bukan kandung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
Cheril udah ketemu papa tapi papa masih ragu... tapi papa dak jahat kok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kami Tanpa Kamu    7. Mempertahankan Janin

    Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung. Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku. Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita. "Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?" "Udah, Bang.""Apa ayahnya nerima dia?"Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana? "Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidak

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    8. Harapan

    Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna. Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku. "Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin." Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar. "Nggak papa, Bang. Aku di luar saja." Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelik

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    9. Impian Kecil

    Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    10. Selama Ini Dia Ke mana

    Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    11. Anak Kecil

    Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    12. Tidak Bersalah

    Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    13. Kata Marsha

    "Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    14. Salah

    Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23

Bab terbaru

  • Kami Tanpa Kamu    105. Tamat

    Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J

  • Kami Tanpa Kamu    104. Kenyataan Ramaniya

    Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h

  • Kami Tanpa Kamu    103. Bando Nia

    Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah

  • Kami Tanpa Kamu    102. Bertemu Nia

    Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.

  • Kami Tanpa Kamu    101. Rumah Malik

    Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T

  • Kami Tanpa Kamu    100. Nazir

    Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida

  • Kami Tanpa Kamu    99. Suami Istri Setia

    Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R

  • Kami Tanpa Kamu    98. Malik Keluar Penjara

    Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu

  • Kami Tanpa Kamu    97. Kami Tanpa Kamu

    Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?

DMCA.com Protection Status