Home / Rumah Tangga / Kami Tanpa Kamu / 4. Perjalanan Pertama Cheril

Share

4. Perjalanan Pertama Cheril

Author: Ka Umay
last update Last Updated: 2022-12-20 14:20:33

Aku mengusap rambut Cheril, dia sedang memeluk foto Kak Afrizal yang aku sobek dari koran. Ketika melihat wajah ayahnya untuk pertama kali, bocah kecil itu langsung berbinar. Katanya tidak sabar bertemu ayah.

Sobekan koran itu didekap erat, seperti kerinduan yang terus bertumpuk melebihi diriku. Aku penasaran dengan sikap Kak Afrizal nanti, pasti dia terkejut. Atau... tidak menerima Cheril.

Senyum menghiasi wajah Cheril dalam tidurnya, pasti sedang bermimpi indah. Aku mendekap erat. Besok sebelum subuh kami akan ke Jakarta dan berpisah selama sebulan lebih.

Debaran jantung kurasakan, setelah hampir 5 tahun akhirnya aku dan Kak Afrizal akan bertemu kembali. Ingatan tentang masa lalu terbayang, kupikir kami akan menjadi pasangan. Perhatian yang dia tunjukkan, kasih sayang yang dia berikan dan segala hal yang kami lalui bersama.

Ternyata kami tidak jodoh meski perasaan ini belum pudar sedikitpun. Sekarang aku sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak Mas Malik. Mana bisa merindukan dan mencintai pria lain. Harus lupakan dan tutup semua celah yang membuatku berdosa. Cukup dosa di masa lalu yang menjadi aib ku. Jangan ada lagi.

Sebelum pagi menjelang, Bang Anton sudah menghampiri kami dengan mobil pick up berisi muatan pisang untuk dijual ke Jakarta.

"Mas, kasihlah uang jajan. Nanti di jalan kami makan apa?"

Aku mengulurkan tangan, meminta setidaknya uang untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu di jalan.

"Kamu ini ngerepotin banget, masih untung aku cariin tebengan ke Jakarta. Kalau naik trevel dua orang bisa habis 600 ribu. Jangan manja, bawa bekal aja dari rumah."

"Mas, aku ini sedang hamil. Gimana kalau terjadi sesuatu dan nggak bawa uang?"

"Yaudah kalau gitu nggak usah pergi, gitu aja kok repot."

Mas Malik menampik tanganku, berlalu ke ruang tengah dan menyalakan televisi.

Cheril melihat kami dari balik tembok, sesekali mengintip. Mungkin takut kalau kami tidak jadi ke Jakarta dan bertemu ayahnya. Pada akhirnya aku hanya membawa uang dua puluh ribu sisa belanja. Juga bekal dari rumah, nasi dan lauk seadanya.

Dari awal aku bilang ke Bang Anton bahwa aku tidak bisa memberikan uang bensin, bersyukur beliau sangat pengertian.

"Aku tahu gimana suamimu, sudah paham pelitnya kayak apa. Sudahlah, aku ikhlas nolong Cheril biar ketemu ayahnya. Ayo naik."

"Makasih banyak, Bang."

Aku segera menaikkan Cheril ke mobil pick up. Melalui jalan raya lintas Sumatra, meninggalkan kota Bandar Lampung menuju pelabuhan Bakauheni yang terletak di Lampung Selatan.

Ini adalah perjalan pertama Cheril, dia terlihat gembira melihat pemandangan gunung yang menjulang. Sempat tertidur selama satu jam di jalan dan terbangun ketika sudah sampai pelabuhan.

Aku mengusap perutku yang agak nyeri, ibu hamil perjalanan jauh seperti ini sembari menjaga Cheril lumayan sulit. Tapi aku pun senang menikmati suasana baru dan berhenti sejenak dari kepenatan rumah.

"Itu apa, Bu?" tanyanya.

"Itu kapal, nanti kita naik ke sana."

"Wah, bagus ya Bu."

Aku mengusap rambutnya, kunciran karet kulepaskan. Membiarkan rambutnya terurai. Wajahnya penuh senyum dan semangat.

Sesekali aku melirik Bang Anton, beliau adalah sepupu Mas Malik. Tidak seperti Mas Malik, Bang Anton jauh lebih pengertian dan peka. Padahal beliau perokok tapi sepanjang perjalanan tidak menyalakan asap rokok karena ada kami.

Mobil sampai di pelabuhan Bakauheni, menunggu antrian masuk ke dalam kapal. Berjejer dengan mobil lainnya.

"Bu, nanti kalau udah ketemu Ayah. Ayah nyuapin Elil kayak itu nggak?" tanya Cheril sembari menunjuk ke mobil samping.

Mobil Fortuner mewah yang kacanya dibuka, menampakkan pengemudi yang sedang menyuapi balita seumuran Cheril dipangku seorang wanita.

Tangan Cheril menempel kaca, melihat dengan antusias keluarga lengkap dan harmonis di dalam mobil.

"Cheril kan bisa makan sendiri, jangan manja sama ayah. Jangan ngerepotin ayah dan jangan nakal."

"Kalau Elil nakal nanti ayah nggak suka Elil dan ninggalin Elil lagi ya, Bu?"

Aku bingung kenapa setiap pertanyaan Cheril terasa menyayat hati. Mulutku terasa kelu untuk menjawabnya.

"Nggak ada orang yang suka sama anak nakal," celetuk Bang Anton.

Cheril menoleh ke Bang Anton, pria itu fokus mengegas mobil pelan dan menunggu giliran masuk kapal. Tinggal tiga mobil lagi di depan kami.

"Elil nggak bakal nakal kok, nanti Elil baik nggak buat Ayah lepot. Elil kan nggak mau ditinggal lagi."

"Iya, Cheril anak baik. Ibu percaya. Nanti baik-baik ya sama Ayah."

Aku mengusap rambutnya dengan lembut, bocah itu menoleh ke belakang dan mengangguk. Setuju dengan perintahku.

Mobil yang kami naiki masuk ke dalam kapal, jantungku semakin berdebar. Sebentar lagi bertemu Kak Afrizal setelah 5 tahun berlalu. Perasaan yang seharusnya tidak boleh ada. Aku sudah punya suami, bisa jadi Kak Afrizal juga sudah punya pacar. Semoga pacar Kak Afrizal mau menerima Cheril.

Sesampainya di kapal, kami turun. Tidak masuk ke ruang istirahat karena harus membayar 15 ribu perorang. Alhasil hanya bisa duduk di emperan. Sementara Mas Anton ke tempat karaoke bersama temannya.

Aku membuka bekal, makan bersama Cheril dengan lahab. Meskipun hanya nasi putih dan tempe goreng, Cheril terlihat senang.

"Kenyang nggak?" tanyaku.

Cheril mengangguk.

"Mau minum, Bu."

Aku segera mengambil aqua besar yang aku isi dari rumah, memberikan ke Cheril. Dia menyibak rambut yang menghalanginya. Ingin aku ikat rambutnya itu, tapi tidak memiliki ikat rambut bagus dan hanya karet gelang. Tidak enak nanti dilihat Kak Afrizal.

Tapi pada akhirnya aku mengikat rambut Cheril, kasihan kalau dia merasa tidak nyaman seperti itu.

"Kalau udah selesai sini senderan di tembok."

Cheril bergeser, menurut seperti yang aku bilang. Segera tanganku membereskan bekal kami. Masih sisa untuk dua kali makan.

"Bagus ya, Bu?" Tanya Cheril sembari menunjuk lautan.

"Iya, bagus."

Perjalanan kapal selama dua jam, aku menahan kantuk dengan susah payah. Sementara Cheril tertidur dengan meletakkan kepalanya di pahaku. Tubuh kecil itu tertidur di lantai dingin beralaskan koran yang aku bawa dari rumah. Jika menyewa karpet harganya mahal, aku tidak punya uang.

Pengumuman bahwa kapal sudah sampai merak terdengar, aku segera membangunkan Cheril dan kami menuju ke parkiran. Di sana sudah ditunggu Bang Anton, menyuruh kami segera naik.

"Hana cepet dikit," suruhnya.

"Iya, Bang."

Aku segera menaikkan Cheril, mesin mobil sudah dinyalakan. Kami turun dari kapal dan melaju menuju Jakarta.

Berangkat subuh dan sampai di Jakarta sore hari, aku segera meminta diantar ke gedung WterSun Group. Takut kalau Kak Afrizal sudah pulang, aku tidak tahu di mana rumahnya.

"Tunggu bentar ya Bang."

"Iya, Cepat."

Aku menggandeng Cheril menuju gedung WterSun Group, tapi tidak menemukan Kak Afrizal dan malah diarahkan ke mushola. Katanya sedang solat di sana. Sudah kuduga bahwa Kak Afrizal masih jadi orang baik, dia pasti bisa menjadi ayah yang baik untuk Cheril.

Dengan berjalan kaki aku dan Cheril mencari mushola yang dimaksud. Mataku melihat Mas Afrizal sedang mengobrol dengan seorang perempuan berhijab. Sangat cantik dan elegan. Apakah itu pacarnya?

"Itu Ayah, Bu!" Cheril menarik tanganku.

Dia langsung bisa mengenali ayahnya padahal belum pernah bertemu. Kami berjalan cepat menuju ke arah mereka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
nangis terus bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kami Tanpa Kamu    5. Tidak Tahu Apapun, Sungguh!

    Pintu lift terbuka, Rizal dan karyawan lain keluar menuju lobby. Gedung WterSun Group sangat tinggi dan luas, megah dari depan. Suatu kebanggaan bisa menjadi bagian dari WterSun Group. Dulu, Rizal ingin menjadi karyawan karena harus menjaga Yuno seperti janjinya. Tak disangka sekarang dia sangat bangga memiliki tanda pengenal karyawan WterSun Group yang tercantel di leher. Fotonya terpajang dengan senyum merekah, foto yang tidak dia ganti sejak berumur 22 tahun. Dari mulai karyawan magang, lalu menjadi karyawan tetap, setelah Yuno lulus S2 dan menjadi direktur di bagian WterSun food. Afrizal langsung menjadi sekretaris pribadi. Satu tahun kemudian Yuno menjadi presiden direktur, jabatannya pun ikut naik. Selalu di samping Yuno dan mengatasi semua masalah bersama. Terkadang juga menjadi juru bicara mewakili Yuno. "Husna, ngapain ke sini?" Gumamnya. Di ujung sana, dia melihat istri Yuno. Orang yang dia hormati setelah Yuno. Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan hingga mengakibatkan

    Last Updated : 2022-12-20
  • Kami Tanpa Kamu    6. Anakku atau Bukan

    Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf. "Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api." Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum."Aku akan membelikan kamu baju lebaran.""Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan.""Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena.""Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.Lebaran yang merek

    Last Updated : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    7. Mempertahankan Janin

    Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung. Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku. Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita. "Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?" "Udah, Bang.""Apa ayahnya nerima dia?"Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana? "Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidak

    Last Updated : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    8. Harapan

    Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna. Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku. "Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin." Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar. "Nggak papa, Bang. Aku di luar saja." Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelik

    Last Updated : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    9. Impian Kecil

    Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay

    Last Updated : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    10. Selama Ini Dia Ke mana

    Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    11. Anak Kecil

    Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    12. Tidak Bersalah

    Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil

    Last Updated : 2022-12-23

Latest chapter

  • Kami Tanpa Kamu    105. Tamat

    Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J

  • Kami Tanpa Kamu    104. Kenyataan Ramaniya

    Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h

  • Kami Tanpa Kamu    103. Bando Nia

    Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah

  • Kami Tanpa Kamu    102. Bertemu Nia

    Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.

  • Kami Tanpa Kamu    101. Rumah Malik

    Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T

  • Kami Tanpa Kamu    100. Nazir

    Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida

  • Kami Tanpa Kamu    99. Suami Istri Setia

    Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R

  • Kami Tanpa Kamu    98. Malik Keluar Penjara

    Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu

  • Kami Tanpa Kamu    97. Kami Tanpa Kamu

    Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?

DMCA.com Protection Status