Rumah tangga bukan atas dasar cinta, kerinduan yang tak pernah ada. Keharmonisan bagaikan impian semu yang tidak akan terwujud. Kupikir semuanya masih bisa kulalui asal kami tetap saling memiliki satu sama lain. Bagaimana bisa hati ini bertahan jika Mas Malik membawa perempuan lain ke dalam rumah tangga? Istana yang sudah retak kini menjadi hancur. Aku tidak bisa melihat rumah tangga ini bisa diperbaiki lagi. Bagiku, Mas Malik adalah orang kedua setelah Cheril yang paling penting dalam hidupku. Meskipun dia cuek dan kasar, selama ini aku masih berharap bahwa rumah tangga kami akan tetap bertahan. "Hana ini Ratih, Ratih ini Hana. Kalian harus akur." Ungkap Mas Malik ketika Mbak Ratih datang dengan koper besar dan tas ransel.Hari yang aku takutkan itu datang, lebih cepat dari dugaan. Persiapanku belum sempurna. Hanya sempat mengambil foto copy bukti nikah berupa surat-surat yang Mas Malik palsukan untuk menipuku. Dulu, pernikahan bagiku bagikan istana. Ikrar saling setia, sebuah ke
Aku kembali ke kamarku, dekat dengan dapur. Sempit dan kasurnya keras. Sejak dari rumah Paman aku sudah menangis setiap hari. Sekarang ingin menangis lagi air mataku terasa kering. Toh, bukan sekali dua kali menderita. Tas ransel di pojok lemari aku keluarkan, mengemasi barang-barang yang bisa aku bawa pergi. Tempat kaburku hanya kepada Diandra, sekarang dia ada di kota Metro. Hanya satu jam dari Bandar Lampung. Sebelum sahur aku harus pergi ke terminal. "Aku tidak boleh membawa Cheril dalam rumah tangga seperti neraka ini." Foto Cheril ikut aku masukkan ke dalam ransel. Celengan berbentuk ayam aku buka menggunakan pisau, menghitung uang seribuan. Hanya ada tujuh ratus ribu. Biaya persalinan tidak akan cukup, semoga Diandra bisa membantu. Aku tidur hanya tiga jam, jam dua pagi menyelinap keluar dari pintu belakang. Tidak meninggalkan surat apapun. Mereka tidak akan sadar sampai sahur. Berjalan kaki cukup jauh menuju terminal. Jam tiga pagi terminal bus sudah ramai orang, aku memes
Aku tidur sampai dzuhur di rumah orang yang tidak kukenal, kamar yang di atasnya dihiasi pernak-pernik bintang. Foto di nakas menampilkan keluarga dengan seragam baju batik. Sepasang orang tua, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Sempurna sekali keluarga ini. Tidak semua orang diizinkan bahagia seperti mereka, salah satunya adalah aku. Sekalipun sudah berusaha sekuat tenaga memiliki keluarga dan bahagia, nyatanya dari awal aku tidak memiliki apapun dan sampai sekarang tetap tidak memilikinya. Aku keluar dari kamar, belum berkenalan dengan pemilik rumah. Semoga mereka mau mengabulkan keinginanku untuk tinggal selama 3 hari. Itu waktu yang cukup sampai Mas Malik mencariku lewat Diandra. "Kamu sudah bangun, Nak. Istirahat saja, nanti kalau sudah mau buka puasa Bunda panggil."Bunda? Ramah sekali memintaku memanggil bunda. Wajahnya cantik meski memasuki usia separuh baya, memakai kacamata dan bibir yang terus tersenyum. "Aku udah mendingan, Bu." Mataku melihat sekeliling, rum
Aku membantu wanita yang aku panggil bunda itu membuat masakan buka puasa, ternyata beliau tidak terlalu ahli memasak. Dibandingkan denganku yang memiliki mertua dan suami yang suka protes. Bunda hanya masak makanan sederhana. Meskipun demikian, aku yakin suami dan anak-anak Bunda tidak protes. Keluarga ini sangat baik dan sempurna, mereka tidak ada yang menyuruh-nyuruhku, meskipun aku hanya tamu tidak diundang.Baru ini kegiatan masak menyenangkan, si anak perempuan keluarga ini datang ke dapur. Ingin membantu membuat kolak katanya. "Kakak kan hamil, duduk saja. Biar aku yang bantu Bunda." Katanya. Mungkin karena dibesarkan dari keluarga baik-baik, anak perempuan ini juga tumbuh dengan baik. Sekali lagi aku iri. Andai aku memiliki keluarga seperti ini. Setelah berbuka bersama, aku sangat bersyukur karena kepala rumah tangga ini alias ayahnya Kahfi memberi izin tinggal. Aku boleh menempati kamar atas, milik anak pertama. "Tidur sama aku aja, kalau ke kamar atas nanti diapa-apain
Langit mendung, angin berembus kencang menerbangkan dedaunan. Terkadang mengenai mobil yang tengah melaju di jalan tol menuju Magelang, Jawa tengah. Hujan rintik-rintik mulai turun perlahan membasahi bumi.Bagi pengendara mobil gerimis tidak menjadi masalah, namun bagi pengendara motor di jalan kecil samping jalan tol harus berhenti. Memakai setelan jas hujan ataupun payung. Tangan Rizal mengelus rambut Cheril yang tengah tidur di pahanya. Bocah itu nyenyak dalam pangkuan sang ayah. Perjalanan sudah memakan waktu 5 jam, tinggal satu jam lagi sampai ke rumah sakit tujuan. Supir yang disewa menguap, terlihat lelah mengemudi tanpa henti. Matanya melihat ke arah spion dalam. "Pak, kita isi bensin sebentar di pom depan."Rizal tak peduli, pandangan matanya melihat keluar jendela yang sudah basah karena air hujan. Mobil keluar dari jalan tol. Menuju jalan biasa dan mampir ke pom bensin. "Nanti beli makan di depan." Pinta Rizal. Sekarang sudah jam 12 siang, waktunya Cheril makan. Bocah
Pandangannya beralih melihat ke arah luar jendela, hujan masih mengguyur kota Magelang. Pikirannya melayang, perasaan ingin hadir di hidup Hana dan memanfaatkan keadaan ini untuk merebut Hana tiba-tiba muncul. Cheril begitu ingin keluarga lengkap, dia dan Hana bersatu. Apakah mungkin bisa? Itu berarti dia menjadi perusak rumah tangga orang. Walaupun memang rumah tangga itu sedang retak. Terlebih bagaimana dengan Marsha yang sudah dia beri harapan? "Yah, udah." Kata Cheril. Makanan di piring habis tanpa sisa. Hal yang membuat Rizal kagum, biasanya anak seusia Cheril akan pilih-pilih makanan atau menyisakan makanan di piring. Cheril berbeda, dia sangat menghargai makanan. Selesai makan mereka mampir ke mushola, shalat dzuhur sebelum ke rumah sakit. Hujan masih deras di luar. Membuat jalan berlubang tergenangi air. "Yah, sepatu Elil." Bocah itu melihat ke teras mushalla. Sepatunya tidak ada. "Tadi Cheril taruh mana?""Cini."Dia menunjuk sepatu Rizal dan Pak supir. Hanya sepatu mil
Langit gelap dengan gumpalan awan hitam yang menurunkan hujan, rumput hijau di halaman rumah sakit basah dan tergenang air. Cheril mengulurkan tangan merasakan tetesan air hujan dengan telapak tangannya, matanya mendongak ke langit. Belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang, tadi Ayahnya menyuruh dia keluar ruangan bersama supir. Menunggu di luar karena harus bicara berdua dengan neneknya. Tidak tahu apa yang dibicarakan sampai dia tidak boleh dengar. "Non Cheril keliling rumah sakit bareng Mbak, yuk." Ajak perawat neneknya yang berjongkok menyeimbangkan tubuh dengan Cheril. Bocah itu tidak kenal, kata Ayah tidak boleh ikut dengan sembarang orang. Nanti diculik. Cheril menoleh ke Seno, supirnya. Pria berkumis itu mengangguk. "Biar saya temani juga," katanya. Setelah mendengar itu Cheril baru mengangguk setuju, dia menerima uluran tangan perawat nenek. Berjalan keliling rumah sakit dan melihat banyak hal. Sementara itu di dalam kamar, suasana
Kali ini Rizal berani menatap mata ibunya, meski terlihat tegar di luar. Hatinya terasa tercabik. Kerinduan yang lama terpendam berubah menjadi kebencian. Pertanyaan yang tersimpan berubah menjadi hardikan. "Kamu... mengalami semua itu?" "Aku bukan anak yatim, kenapa harus tinggal di panti asuhan sampai besar?" tanyanya. Itulah pertanyaan yang sering terlintas di pikirannya, dia sama seperti anak lain. Memiliki kedua orang tua yang lengkap. Tapi kenapa dibesarkan di panti asuhan? Kenapa Tuhan begitu tidak adil padanya. Dia sering menyalahankan semua yang terjadi."Maaf...." Ibunya menangis tersedu-sedu. "Maaf... Anakku. Maaf...." Ibu terus menangis. Air mata Rizal menggenang di sudut matanya, segera dihapus sebelum jatuh. Kalimat maaf dari ibunya terasa menjadi hujan di hatinya yang gersang. Segala pertanyaan dan rasa sakit terjawab. Hidupnya yang gelap tanpa kasih sayang, merasa bahwa tidak diinginkan dan dibuang. Kini dia tahu bahwa sebenarnya ibu menyayanginya. Tidak sepenuhn
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?