Share

Kami Bukan Benalu, Bu
Kami Bukan Benalu, Bu
Author: Dwi Mei Rahayu

Bab 1

Author: Dwi Mei Rahayu
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku memperlambat langkah, karena mendengar suara orang mengobrol di samping rumah mertuaku.

            “Nggak tahulah Mbak Yu, mereka maunya apa? Tiba-tiba pulang kampung, dan bilang mau menetap di sini. Katanya usaha Faisal sepi, sering merugi, makanya tutup sekalian. Nah, pulang ke sini, bukannya mikir bikin usaha apa atau cari kerja, malah buru-buru masukin anakya ke Pesantren. Katanya habis sebelas juta sama ini-itu. Lah. Wong sekolah yang gratis juga ada, kok. Gaya-gayaan nyekolahin anak di tempat mahal. Nggak tahu deh, ntar bayaran tiap bulannya gimana? Pusing aku, Yu.” Itu suara ibu mertuaku. aku yang berniat mengambil ponsel, memilih diam dulu, ingin tahu apa tanggapan Bude Warni, kakak ibu mertuaku.

            “Dengernya aja pusing, Ning. Lah, anakmu itu loh, nggak bisa dikasih tahu. Nikah kok, sama orang jauh. Mana yatim piatu, banyak maunya pula.  Nggak jelas banget. Kayak di sini udah kehabisan stok perempuan aja. Coba, kalo dulu dia nikah sama Erina, anaknya Pak Haji Udin. Kan, Faisal nggak perlu merantau jauh-jauh. Tinggal diam di kampung, ngelola usaha mertuanya. Anakmu juga ngeyel, Ning. Giliran susah di perantauan, tetap aja pulang kampung, kan?”

            Aku menghela napas perlahan. Sungguh tak di sangka, mereka yang selama ini bersikap manis padaku, ternyata bersikap sebaliknya di belakang.

            “Terus, sekarang Arum kerjanya ngapain?” tanya Bude Warni. Rupanya mereka belum menyadari kehadiranku. Entah karena posisi mereka yang duduk membelakangiku, atau asyik bergunjing, sehingga mereka tak tahu aku tengah berdiri mendengarkan semua obrolan mereka.

            “Ya gitulah, main hape. Ngapain lagi? Dari pas udah ke luar kerja kan, dia nggak bisa lepas dari hape. Dikit-dikit hape. Aku lihatnya aja bosen, Yu.”

            “Ya begitulah anak sekarang. Dikit-dikit hape. Lagian, aku juga heran sama Arum. Udah enak-enak kerja, kok malah ke luar. Alesane ngurus anak. Padahal kan, bisa bayar yang ngasuh kayak waktu Alea dulu. Orang lain aja pada pengen kerja, ini udah kerja malah ke luar. Coba kalo dia nggak ke luar kerja, sekarang Faisal bangkrut, kan, Arum masih bisa nopang pengeluaran. Mereka nggak perlu pulang kampung. Nyusahin aja! Udah tahu keadaan di kampung serba susah. Orang lain aja pada pengen ke kota. Lah, ini, udah di kota malah pulang kampung.”

            “Embuhlah, Yu. Mumet aku.”

            Aku yang mulai tak tahan dengan gunjingan mertuaku dan kakaknya, memilih berbalik. Biarlah, ponsel tidak jadi diambil. Toh, tadi sebelum pergi, aku sudah membawa uang untuk berjaga-jaga kalau Arka, anak bungsuku minta jajan. Lebih baik aku cepat kembali ke sekolah Arkan, takut dia mencariku.

-dmr-

            Mas Faisal, berprofesi sebagai penjual ayam bakar dan ayam goreng. Awalnya memang hanya pakai gerobak. Semakin lama, usaha suamiku semakin berkembang. Dia sampai bisa menyewa tempat yang lebih enak. Bahkan sampai buka dua cabang. Tetapi, sejak wabah covid 19 merajalela, usaha Mas Faisal menjadi sepi. Apalagi sempat diterapkannya PSBB tahun lalu. Keadaan semakin memburuk. Walau pun sekarang keadaan tidak semencekam awal pandemi, tetap saja, usaha Mas Faisal susah kembali normal seperti dulu. Karena sekarang, semakin banyak yang membuka usaha serupa.

 Berbagai usaha sudah kami lakukan. Bergabung dengan aplikasi berjualan online, sampai memberikan potongan harga. Tetapi, tetap saja, setiap harinya pemasukan kami tak sebanding dengan pengeluaran. Dan akhirnya, kedua cabang pun ditutup karena tidak bisa memperpanjang sewa tempat. Barang-barang kami lelang, uangnya dipakai memberikan pesangon pada ke empat pegawai setia kami.

Sementara, Mas Faisal, memilih pulang kampung. Dia bilang, ingin mengurus sawah dan tambak ikan peninggalan almarhum bapaknya. Sejak bapak mertua meninggal dua tahun lalu, sawah dan tambak ikan miliknya, digarap oleh orang lain. beberapa bulan yang lalu, Mang Asep yang selama ini menggarap sawah dan tambak ikan itu, jatuh sakit. Beliau tak sanggup lagi melakukan pekerjaan seperti biasanya. Karena itulah, sawah dan tambak pun terbengkelai. Sebagai anak tertua, Mas Faisal merasa bertanggung jawab mengurus harta peninggalan bapaknya yang tidak seberapa itu.

Sebagai istri, aku hanya bisa mendukung apa yang Mas Faisal lakukan. Aku rela mengikutinya pindah ke kampung. Karena, kami tidak mungkin pulang ke kampungku. Rumah peninggalan orang tuaku sudah ditempati oleh Mbak Arini, kakakku dan keluarganya. Keadaan ekonomi Mbak Arini yang juga pas-pasan, membuatku tak tega untuk pulang ke rumah penuh kenangan itu. Karena selain rumah yang kecil, aku dan Mas Faisal juga belum tahu akan mengerjakan apa di sana? Karena, sawah dan ladang peninggalan orang tuaku juga sudah digarap oleh orang lain. Tidak mungkin kami tiba-tiba memintanya untuk digarap sendiri.

Tetapi rupanya, keputusan yang diambil Mas Faisal ambil, menjadi beban pikiran buat ibu dan kelaurganya. Padahal, dulu, mereka selalu bersikap baik pada kami. Bahkan, saat kami menceritakan rencana kepindahan kami, ibu mertua langsung menyetujuinya. Akan tetapi, dari percakapan yang aku dengar tadi, sepertinya, mereka keberatan dengan kehadiran keluarga kecilku. Apakah, karena mereka takut kami hanya akan jadi benalu dalam kehidupan mereka?

Related chapters

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 2

    Mas Faisal makan dengan lahap. Mungkin dia lapar dan capek sepulang dari tambak ikan. Aku sudah menawarinya bekal tadi pagi, tapi dia tidak mau. Katanya sebentar. Tetapi, ternyata katanya ada tanggul yang longsor sedikit dan menimpa tambak kami. Karena semalam, hujan turun dengan lebatnya. Jadi,mau tidak mau Mas Faisal membetulkannya seorang diri. “Kenapa, Dek? Kok, ngelihatin Mas ampe begitu?” teguran Mas Faisal membuatku sedikit kaget. “Eh, anu, Mas. Nggak apa-apa.” “Em, bener? Itu, makanan kenapa cuma diaduk-aduk? Atau mau disuapin?” Tanpa menunggu jawabanku, Mas Faisal mengambil piringku dan menyendokkan nasi, mengarahkannya padaku. “Ih, Ibu kan u

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 3

    Di sepanjang perjalanan menuju rumah Wak Darmi, aku terus memikirkan sikap Ibu padaku. Memang sikap Ibu yang akhir-akhir ini berubah atau aku yang terlalu perasa? Tetapi, seingatku, baru kali ini Ibu bersikap seperti ini. Dulu, saat aku masih tinggal di kota, Ibu selalu ramah padaku. Atau mungkin karena kami hanya bertemu dalam waktu yang singkat, makanya aku tidak paham dengan karakter Ibu? Ya, selama menikah dengan Mas Faisal, aku memang jarang sekali berinteraksi dalam waktu yang lama dengan keluarganya. Setiap tahunnya, kami memang bisa tiga atau empat kali pulang kampung. Tetapi, paling lama cuma tiga atau empat hari. Jadi, memang baru kali ini aku berada di dekat mertua dalam waktu lama. “Mau ke mana, Mbak Arum?” sapa seseorang. Ternyata Bu Ijah, salah satu teman ibu mertuakuAku tersenyum pada wanita yang

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 4

    Aku sedang menimang cucu Wak Darmi, saat Ibu mertua dan Nita datang. “Eh, ada Mbak Arum,” sapa Nita sambil menyalamiku. “ Kenapa tadi nggak nunggu aku aja, biar bareng.” “Mbak nggak tau kamu mau ke sini. Soalnya tadi pas ngajak Ibu, Ibu nggak bilang kamu mau ke sini. Kalo tahu kamu mau ke sini sekarang, tadi pasti Mbak tungguin. Biar nggak perlu minta anter Ibu, Nit. Soalnya Ibu katanya udah ke sini bareng ibu-ibu pengajian.” Aku sengaja menjawab seperti itu dengan tujuan menyindir Ibu mertua yang sudah membohongiku. Ibu terlihat salah tingkah. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung hitam. “Oh, Ibu udah ke sini?” tanya Nita pada Ibu mertua. “Kok nggak bilang?”

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 5

    Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!” Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal. “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin. Ibu langsung m

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 6

    Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian.Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk m

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 7

    Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja. “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!” Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 8

    Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 9

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da

Latest chapter

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 37

    Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 37 Kami diam menunggu dengan perasaan tak menentu. Ketegangan tergambar jelas di wajah Mas Faisal dan Hanum, serta Satya. aku pun sama tegangnya dengan mereka. Karena, setelah siuman, ibu terus merintih kesakitan. “Gimana, Mas Agung? Ibu sakit apa?” tanya Mas Faisal. Mas Agung adalah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai mantri di Puskesmas. Kebetulan ia sedang libur, jadi dipanggil ke sini untuk memeriksa keadaan ibu. ibu sendiri menolak dibawa ke rumah sakit saat kami tiba tadi. “Asam lambungnya naik. Mas Faisal. Selain minum obat, Bude Ning juga harus makan teratur dan jangan banyak pikiran,” terang pria berkepala plontos itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Tekanan darahnya juga tinggi banget, Mas.” Aku, Mas Faisal, dan Hanum serta Satya saling pandang. Aku pun tak habis pikir dengan perkataan Mas Agung yang mengatakan

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 36

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku.“Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya.Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya.Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 35

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV ArumUntuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa. “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh. “Mbak ....” Hanum tampak kikuk. Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.” Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?” “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.” “Oh.” Lagi-lagi, kami saling diam. “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k

DMCA.com Protection Status