Share

Bab 7

last update Last Updated: 2021-11-12 21:06:40

Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”

Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja.

            “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!”

            Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima juta itu banyak, loh. Apalagi menurut kalian, aku dan Mas Faisal sedang bangkrut, kan? Lima juta itu, bisa dipakai bayar sekolah Alea setengah tahun. Atau, bisa buat biaya lamaran Hanum, ya, kan, Bu?”

            Ibu dan Bude Warni langsung saling pandang. Raut tak suka tercetak jelas pada wajah Bude Warni. Mungkin, dia tidak suka aku mengungkit masalah hutang anak sulungnya itu. Sementara Ibu, terlihat terkejut. Mungkin, Ibu tidak menyangka kalau keponakan yang selalu ia banggakan, ternyata memiliki hutang padaku.

            “Benar, kamu masih punya hutang sama Arum, Tut?” tanya Ibu. Matanya menatap tajam pada Mbak Tuti yang sedang melotot ke arahku. “Atau, jangan-jangan Arum mengada-ada?”

            Aku tersenyum sinis ke arah mereka semua. “Mengada-ada gimana, Bu? Mbak Tuti itu punya hutang sepuluh juta buat modal hajatan sewaktu anak bungsunya dikhitan. Janjinya, selesai hajatan mau dibayar lunas. Tapi nyatanya, dia cuma transfer lima juta. Katanya, yang lima juta lagi mau dibayar setelah semua urusan yang menyangkut hajatan selesai. Tapi, nyatanya? Sampai sekarang nggak kabar. Dan, saya baru sekarang nanyain uang itu. Padahal udah mau dau tahun, loh.”

            Tatapan tajam Ibu beralih ke Mbak Tuti. “Benar begitu, Tuti?”

            Mbak Tuti tampak menggaruk tengkuknya. Kemudian, ia mengusap keningnya, lalu menunduk. Terlihat sekali kalau dia sedang salah tingkah.

            “Tuti!” bentak Bude Warni. “Jawab pertanyaan Bik Ningsih! Bener kamu masih punya hutang sama Arum?”

            Perlahan Mbak Tuti mengangkat wajahnya yang sekarang terlihat pias. Kemudian, perempuan bermake-up tebal itu mengangguk samar.

            “Makanya, Bude, sebelum ngomentarin hidup orang, lihat dulu hidup anak sendiri. Biarpun saya dan Mas Faisal bangkrut, tapi kami nggak jadi benalu buat orang lain. Biarpun Mas Faisal cuma bertani dan beternak, dan saya cuma jualan makanan murah, tapi nggak sampe ngutang sana-sini buat menutupi gaya hidup kami. Ibu, sebelum ngajarin saya untuk hidup apa adanya, mendingan Ibu ajarin keponakan dan anak bungsu kesayangan Ibu, apa itu hidup sederhana sesuai kemampuan. Kalo nggak punya duit, jangan banyak gaya. Dan, kamu, Mbak Tuti, tolong segera bayar hutang yang menurutmu  nggak seberapa itu!”

            Setelah mengeluarkan unek-unek yang ada di hati, aku pun meninggalkan mereka dan masuk ke rumah yang tinggal beberapa langkah lagi. Kututup pintu perlahan, dan berjalan ke dapur. Segelas air dingin mungkin bisa mentralisir amarah yang masih tersisa di dada.

Usai meminum segelas air dingin, aku duduk di kursi kayu. Kutarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Suara obrolan ibu mertuaku, Bude Warni, Mbak Tuti dan Hanum masih terdengar meskipun samar-samar. Terserah saja mereka mau ngomong apa. Mendingan aku mandi biar badan lebih segar saat Mas Faisal dan Arkan pulang nanti. Mas Faisal mengajak Arkan untuk menemui teman lamanya yang memiliki rumah makan. Mas Faisal bermaksud menawarkan lele-lele yang sebentar lagi bisa dipanen.

-dmr-

“Dek, kamu nagih ke Mbak Tuti?” tanya Mas Faisal saat dia tiba di rumah. Ia terlihat sedikit kerepotan menggendong Arkan yang tertidur. Kuikuti langkahnya ke dalam kamar, menidurkan anak bungsu kami yang terlihat lelap.

“Iya. Lumayan, kalo dia bayar, bisa buat nambah-nambah biaya lamaran Hanum,” jawabku sambil menata bantal untuk Arkan.

“Iya, tapi, ya, jangan marah-marah juga.”

Aku menoleh pada lelaki yang terlihat lelah itu. Sudah kuduga, pasti salah satu atau mereka semua sudah mengadu padanya. Tentunya dengan ditambahi banyak bumbu drama.

“Siapa yang marah-marah? Kita ini udah nikah selama tiga belas tahun, masa masih nggak paham juga sifatku gimana? Dan, kamu, sejak lahir kan pastinya juga udah kenal sama Ibu, Bude Warni, Mbak Tuti, Hanum, masa masih nggak hafal gimana kelakuan mereka?” sindirku. Malas berdebat dengan Mas Faisal, aku memilih ke luar dari kamar Arkan.

“Ya, kamu kan, udah tahu kalo mereka gitu. Kenapa juga dilawan?” Ternyata Mas Faisal mengikutiku ke dapur. Kuambil segelas air dingin dari kulkas dan memberikannya pada Mas Faisal. Lelaki berjambang tipis itu menerima gelas dariku dan langsung meminum isinya sampai tandas.

“Ya, terus, aku harus diam aja gitu? Mereka ngomongin aku, aku diem, nggak ngadu sama siapa-siapa. Kita diperlakukan berbeda dari anak menantu yang lain, aku juga diem. Toh, nggak perlu cerita juga, orang lain pada tahu dengan sendirinya. Semut diinjak juga ngegigit, Mas. Apalagi aku, manusia biasa. Nggak mungkinlah diem aja kalo dihina terus-terusan. Apalagi yang menghina punya hutang sama aku!”

Mas Faisal tak menyahut omelanku. Ia menarik satu kursi dan mendudukinya. Kalau sudah seperti itu, aku paham, pasti Mas Faisal lapar. Aku pun mengambil piring, dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang sudah kumasak. Kuberikan piring itu pada Mas Faisal. Ia menerimanya, lalu menyuap makanan itu setelah berdoa. Kubiarkan dia menghabiskan dulu makanan di depannya. Kata almarhum nenekku, jangan mengomel saat suami sedang makan. Jadi, meskipun ingin mengomel, kutahan saja sampai suamiku ini selesai makan. Kuberikan segelas air mineral pada Mas Faisal, saat piringnya sudah bersih.

“Maaf, ya, Dek. Mas cuma nggak mau kamu ribut sama keluarga Mas, itu aja.”

“Ya, kalo mereka bisa menjaga omongan mereka, aku juga nggak akan ribut, kok. Aku ini masih waras, nggak mungkin berisik kalo nggak diusik!”

Mas Faisal tampak menghela napas. “Mas harap, kamu lebih sabar lagi menghadapi mereka.”

Aku mendengkus kasar. “Sabar-sabar! Yang disabarin ngelunjak! Giliran dilawan, ngadu ke mana-mana!”

Kutinggalkan Mas Faisal yang masih duduk di kursi. Selalu saja begini, setiap kali membahas perilaku saudara-saudaranya. Dia hanya memintaku sabar dan sabar. Tetapi, tidak pernah ada teguran untuk keluarganya. Menyebalkan!

           

           

Related chapters

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 8

    Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya. Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara. “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan. “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.” “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d

    Last Updated : 2021-11-13
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 9

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9 Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu. “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. Aku pura-pura cuek da

    Last Updated : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 10

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,

    Last Updated : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 11

    Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam

    Last Updated : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 12

    Kuhela napas perlahan. Tak habis pikir, dengan apa yang terjadi pada Hanum. Walau pun adik bungsu suamiku itu sering bersikap menyebalkan, sungguh aku tak pernah berharap, hal buruk terjadi padanya. Karena bagaimana pun juga, Hanum adalah keluargaku. Musibah yang menimpanya, adalah musibahku juga. Aib yang menimpanya, merupakan aibku juga. “Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.” “Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.

    Last Updated : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 13

    Kami semua membisu, larut dalam pikiran masing-mengejutkan. Bagaimana tidak terkejut? Ternyata, Satya hanya dipercaya menempati rumah yang diakui sebagai miliknya itu. Sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pemuda yang juga mengaku memiliki bisnis properti itu. Nomor Hanum diblokir oleh Satya, begitu juga semua anggota keluarga Hanum yang menyimpan nomornya. “Mas, udah tanya sama ketua RT setempat?” Semua mata beralih menatapku. “Maaf, biasanya kan, ketua RT atau RW, punya data penduduk. Mungkin, dari situ, kita tahu dari mana Satya berasal.” Mas Faisal dan Dika saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. “Ya ampun, saking bingungnya, kita nggak kepikiran begitu,”

    Last Updated : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 14

    “Dek, kata Ibu, kamu seharian tadi nggak ke rumah Ibu?” tanya Mas Faisal saat aku sedang membereskan pakaian yang belum disetrika. Rupanya Ibu mertua sudah mengadu pada anak lelakinya. Aku menoleh ke arah Mas Faisal. “ Kalo aku nggak ke rumah Ibu, terus yang nyiapin makanan buat sarapan sama makan siapa? Yang bantu Hanum ke kamar mandi tadi pagi, siapa? Hantu?” Tadi pagi, aku memang sempat pura-pura tidak mendengar panggilan dari Hanum. Tetapi, setelah dipikir-pikir, aku tidak tega membiarkan Hanum ke kamar mandi sendiri. Takutnya anak manja itu malah buang air di kamar yang pastinya akan membuatku semakin repot.

    Last Updated : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 15

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 15 Sebenarnya, aku malas mengikuti ajakan Mas Faisal untuk menemui Satya. Selain malas bertemu dengan Ibu, permintaan Satya juga menurutku sangat tidak masuk akal. Yang lebih mencengangkan, ternyata Satya tidak datang sendirian. Ia datang bersama seorang wanita yang diperkenalkan sebagai istrinya. Tentu saja, pengakuan Satya membuat kami semua terkejut. Tetapi, yang membuatku lebih terkejut lagi, adalah reaksi Hanum yang terlihat biasa-biasa saja. “Apa, kamu sudah tahu kalo Satya punya istri, Num?” tanya Mas Faisal. Hanum mengangguk ragu-ragu. Jawaban Hanum membuatku terkejut. Begitu juga Nita dan Hana. Kami bertiga saling pandang lalu menggeleng tak percaya. “Dari pertama kenal, Hanum udah tahu kalo saya ini punya istri, kok.” Lagi-lagi, penuturan Satya membuat kami ternganga tak percaya. Sed

    Last Updated : 2021-11-16

Latest chapter

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 37

    Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 37 Kami diam menunggu dengan perasaan tak menentu. Ketegangan tergambar jelas di wajah Mas Faisal dan Hanum, serta Satya. aku pun sama tegangnya dengan mereka. Karena, setelah siuman, ibu terus merintih kesakitan. “Gimana, Mas Agung? Ibu sakit apa?” tanya Mas Faisal. Mas Agung adalah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai mantri di Puskesmas. Kebetulan ia sedang libur, jadi dipanggil ke sini untuk memeriksa keadaan ibu. ibu sendiri menolak dibawa ke rumah sakit saat kami tiba tadi. “Asam lambungnya naik. Mas Faisal. Selain minum obat, Bude Ning juga harus makan teratur dan jangan banyak pikiran,” terang pria berkepala plontos itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Tekanan darahnya juga tinggi banget, Mas.” Aku, Mas Faisal, dan Hanum serta Satya saling pandang. Aku pun tak habis pikir dengan perkataan Mas Agung yang mengatakan

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 36

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku.“Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya.Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya.Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 35

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV ArumUntuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa. “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh. “Mbak ....” Hanum tampak kikuk. Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.” Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?” “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.” “Oh.” Lagi-lagi, kami saling diam. “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status