Share

Bab 9

last update Huling Na-update: 2021-11-16 09:14:29

Kami Bukan Benalu, Bu.

Bab 9

    

    Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga. 

    “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini. 

    “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu.

    “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja. 

    Aku pura-pura cuek dan memilih asyik dengan ponsel, mengecek barangkali ada yang pesan ceker mercon tulang lunak untuk besok. 

    “Dek, Mas lagi ngomong, loh. Lagian, Mas kan, pergi sama Mas Joko juga bukan pergi main. Mas nganter Mas Joko ngelihat sepeda motor yang mau dibeli. Ntar kalo motor itu laku, Mas dikasih komisi, kan, lumayan, Dek.” 

    Aku mendengus kasar, lalu menoleh pada Mas Faisal. “Nggak enak nolak ajakan Mas Joko dan menelantarkan anakmu sendiri!” 

    Mas Faisal tampak terkejut, ia mengerutkan dahinya. “Menelantarkan gimana, Dek? Sebelum pergi, Mas udah nitipin Arkan ke Mbak Tuti. Dan minta dianter sekalian ke ruko. Soalnya katanya Mbak Tuti ada keperluan dan melewati tempatmu jualan, Dek.” 

    “Telepon Mbak Tutimu sekarang! Tanya, pas pulang sekolah, dia ngajak Arkan sekalian nggak? Tanya ke dia, Arkan dianter ke mana setelah pulang sekolah!” 

    Mas Faisal diam, dan tak menuruti permintaanku. “Nggak apa-apa, kamu nggak bantu aku jualan, dan lebih memilih pergi sama Mas Joko. Biarpun hasilnya belum jelas kayak yang sudah-sudah. Komisi, komisi, mana? Setiap kali ngajak kamu pergi, kamu dikasih makan nggak di jalan? Bensinmu diganti nggak? Dikasih uang lelah nggak? Nggak kan? Ntar pas ada motor laku, kamu cuma dikasih tiga ratus ribu! Itu bukan komisi, tapi ngeganti uang bensin sama upahmu karena nganter dia! Mikir dong, Mas! Bukan sekali dua kali dia kayak gitu!” 

    Selama ini, aku diam Mas Faisal diperlakukan seenaknya oleh Mas Joko. Karena, Mas Faisal selalu beralasan tidak enak menolak. Apalagi, yang mengajari Mas Faisal berjualan ayam goreng dan mencarikan tempat pertama untuk berjualan, memang Mas Joko. Tetapi rupanya, mereka menggunakan hal itu untuk memanfaatkan Mas Faisal seenaknya. 

    “Nggak masalah, kamu mau membalas budi sama mereka. Tapi, jangan telantarkan anakmu! Kamu bisa antar dia ke ruko sebelum pergi! Biar dia nggak kelaparan! Atau minimal gantikan dulu baju seragamnya!” 

    Terdengar helaan napas dari Mas Faisal. “Menelantarkan gimana, sih, Dek? Aku beneran udah nitipin Arkan ke Mbak Tuti.” 

    “Ya, tanya ke Mbak Tuti, dia bawa Arkan pulang sesuai amanatmu nggak? Aku meninggalkan Arkan di sekolah, bukan karena aku bersenang-senang, Mas. Aku kerja, bantuin kamu cari duit! Biar nggak dihina-hina dan dianggap benalu sama keluargamu!” 

    Wajah Mas Faisal terlihat memerah. Rahangnya mengeras. “Kok, kamu ngomong gitu, Dek? Sebenarnya masalahmu apa sih? Kenapa jadi bawa-bawa keluargaku? Kalo kamu marah gara-gara aku nggak nganter Arkan ke ruko dan nggak bantuin kamu, kan, aku udah minta maaf. Kenapa malah kamu ngomongnya jadi ke mana-mana?” 

    Aku menghela napas dengan kasar. “Terserah kamulah! Toh, aku selalu salah di kalian. Dan, kamu pasti lebih percaya sama keluargamu daripada aku, kan? Kamu lebih paham sifat mereka seperti apa, bukan? Sampai nggak hapal dengan sifat istrimu sendiri!” 

    Malas melanjutkan perdebatan, aku pun bangun dan beranjak meninggalkan Mas Faisal. Kebetulan terdengar suara Arkan mengucap salam. Rupanya, jagoanku itu sudah pulang. 

-dmr-

    Sampai malam, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Bahkan saat makan pun, aku tetap diam. Hanya sesekali menjawab pertanyaan Arkan. Beberapa kali Mas Faisal berusaha mengajakku bicara. Akan tetapi, aku hanya menjawab seperlunya saja. 

    “Ayah, besok lagi, kalo Ayah pergi sama Pakde Joko, tunggu Arkan pulang sekolah, ya, yah.” 

    “Emangnya kenapa? Emangnya, kamu mau ikut sama ayah dan Pakde Joko?” tanya Mas Faisal. Arkan tampak menggeleng cepat. Sementara aku memilih berpura-pura membereskan peralatan bekas makan kami. 

    “Bukan, Yah. Arkan bukan mau ikut sama Ayah. Tapi, Arkan nggak mau ditinggal di sekolah sendirian.” 

    Aku melirik Mas Faisal, penasaran dengan reaksi lelaki berambut cepak itu. Ternyata, ia tampak terkejut, membuatku tersenyum sinis ke arahnya. 

    “Loh, bukannya kamu pulang sama Bude Tuti? Tadi, ayah udah bilang ke Bude Tuti buat ngajak kamu, sekalian dianter ke ruko.” 

    Lagi-lagi, Arkan menggeleng cepat. “Bude Tuti nggak ngajak Arkan, kok. Arkan pulang dianter Bu Ita.”

    Lagi-lagi, aku melirik Mas Faisal yang terlihat kaget. Apalagi, saat anak bungsu kami menceritakan perlakuan yang didapat dari nenek dan bibinya. 

    “Arkan, nonton TV dulu, ya. Ntar ibu nyusul, kalo udah selesai cuci piring.” 

    Arkan mengangguk, “siap, Bu.” Lalu ia pun turun dari kursinya dan berlari ke ruang tengah. Aku pun melanjutkan mencuci peralatan bekas makan kami. 

    “Aneh, tapi Mbak Tuti bilang, dia jemput Arkan. Tapi, emang dianter ke rumah ibu, karena dia nggak jadi pergi,” ujar Mas Faisal. 

    Aku memilih diam tak menanggapi ucapan Mas Faisal. Kupikir percuma saja. Toh, dia masih tidak percaya, padahal anaknya sudah memberitahu yang sebenarnya. Seharusnya, Mas Faisal berpikir, antara Mbak Tuti dan Arkan, siapa yang lebih berpeluang membohonginya. Atau, dia bisa bertanya pada ibu dan adiknya, siapa yang mengantar Arkan pulang dari sekolah. Aku memilih diam, tak lagi mendebat, karena mulai malas membahas hal yang itu-itu saja. Toh, ujung-ujungnya, kalau pun Mas Faisal tahu siapa yang  benar, tetap saja tak ada teguran untuk pihak keluarganya. Dan aku, sudah mulai lelah menghadapi hal yang sama secara berulang-ulang. Aku tidak akan mengakui kesalahan yang tidak aku perbuat. 

Kaugnay na kabanata

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 10

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10 Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah. “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.” Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.” “Ya, udah, ayo sarapan dulu.” Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi. “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.” “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 11

    Nomor asing itu tidak menerima panggilan dariku. Entah sibuk atau mungkin sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tentu hal itu membuatku semakin panik dan bingung. Karena, si penelepon tidak mengatakan secara jelas untuk apa aku datang ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Tiba-tiba pikiran buruk menyelinap. Apa mungkin Mas Faisal kecelakaan? Cepat kutepis pikiran buruk itu. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Kulakukan berkali-kali, sampai agak tenang. Dari jendela, kulihat mendung menghiasi langit. Mungkin, sebentar lagi hujan turun, mengingat sekarang memang sedang musim hujan. Hal ini membuatku semakin bingung. Apalagi, Arkan juga masih tidur dengan lelapnya. Tak tega kalau harus membangunkannya. Ditambah lagi, nomor asing itu tidak kunjung menerima panggilanku. Karena tak tahu harus bagaimana, aku pun menghubungi Mbak Tami, untuk meminta pendapatnya. Mbak Tam

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 12

    Kuhela napas perlahan. Tak habis pikir, dengan apa yang terjadi pada Hanum. Walau pun adik bungsu suamiku itu sering bersikap menyebalkan, sungguh aku tak pernah berharap, hal buruk terjadi padanya. Karena bagaimana pun juga, Hanum adalah keluargaku. Musibah yang menimpanya, adalah musibahku juga. Aib yang menimpanya, merupakan aibku juga. “Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.” “Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 13

    Kami semua membisu, larut dalam pikiran masing-mengejutkan. Bagaimana tidak terkejut? Ternyata, Satya hanya dipercaya menempati rumah yang diakui sebagai miliknya itu. Sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pemuda yang juga mengaku memiliki bisnis properti itu. Nomor Hanum diblokir oleh Satya, begitu juga semua anggota keluarga Hanum yang menyimpan nomornya. “Mas, udah tanya sama ketua RT setempat?” Semua mata beralih menatapku. “Maaf, biasanya kan, ketua RT atau RW, punya data penduduk. Mungkin, dari situ, kita tahu dari mana Satya berasal.” Mas Faisal dan Dika saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. “Ya ampun, saking bingungnya, kita nggak kepikiran begitu,”

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 14

    “Dek, kata Ibu, kamu seharian tadi nggak ke rumah Ibu?” tanya Mas Faisal saat aku sedang membereskan pakaian yang belum disetrika. Rupanya Ibu mertua sudah mengadu pada anak lelakinya. Aku menoleh ke arah Mas Faisal. “ Kalo aku nggak ke rumah Ibu, terus yang nyiapin makanan buat sarapan sama makan siapa? Yang bantu Hanum ke kamar mandi tadi pagi, siapa? Hantu?” Tadi pagi, aku memang sempat pura-pura tidak mendengar panggilan dari Hanum. Tetapi, setelah dipikir-pikir, aku tidak tega membiarkan Hanum ke kamar mandi sendiri. Takutnya anak manja itu malah buang air di kamar yang pastinya akan membuatku semakin repot.

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 15

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 15 Sebenarnya, aku malas mengikuti ajakan Mas Faisal untuk menemui Satya. Selain malas bertemu dengan Ibu, permintaan Satya juga menurutku sangat tidak masuk akal. Yang lebih mencengangkan, ternyata Satya tidak datang sendirian. Ia datang bersama seorang wanita yang diperkenalkan sebagai istrinya. Tentu saja, pengakuan Satya membuat kami semua terkejut. Tetapi, yang membuatku lebih terkejut lagi, adalah reaksi Hanum yang terlihat biasa-biasa saja. “Apa, kamu sudah tahu kalo Satya punya istri, Num?” tanya Mas Faisal. Hanum mengangguk ragu-ragu. Jawaban Hanum membuatku terkejut. Begitu juga Nita dan Hana. Kami bertiga saling pandang lalu menggeleng tak percaya. “Dari pertama kenal, Hanum udah tahu kalo saya ini punya istri, kok.” Lagi-lagi, penuturan Satya membuat kami ternganga tak percaya. Sed

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 16

    Sekarang, di sinilah kami. Di ruang tengah rumahku. Zaenal, Dika, Hana, dan Nita, akan menginap di rumah Ibu. Tetapi, mereka semua memilih berkumpul di sini. Selain melepas kangen, mereka juga membahas masalah rencana pernikahan Hanum. Hanum tetap bersikeras menggelar resepsi, dan yang membuat kami tak habis pikir, Ibu mendukung keinginan putri bungsunya itu. “Nit, coba pelan-pelan, kamu ajak ngomong Hanum dan Ibu. Mungkin, kalo kamu yang ngomong, mereka bakal dengerin,” pinta Zaenal. “Iya, Mbak. Coba Mbak Nita yang ngasih tau ke mereka. Saya udah nyerah, ah. Ibu sama Hanum sama-sama keras kepala. Kalo maunya gitu, ya, harus gi

    Huling Na-update : 2021-11-16
  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 17

    Hujan deras mengguyur bumi sejak siang, dan belum ada tanda-tanda akan reda. Padahal, sudah dua jam berlalu. Untungnya, butiran air membawa rahmat itu, turun setelah jam istirahat anak sekolah usai. Jadi, barang daganganku habis terjual tanpa sisa.“Dek, kamu nggak ada niat nyari karyawan, gitu?” tanya Mas Faisal sambil membetulkan letak selimut di tubuh Arkan.“Pengen, sih, Mas. Apalagi, sekarang makin banyak yang minta delivery. Agak keteteran juga, Mas. Aku sampai menyetop orderan di atas jam satu siang. Padahal, sayang ya, Mas. Takutnya, mereka kecewa dan cari penjual lain. kemarin, aku lihat di alun-alun ada yang jualan kayak aku juga.”“Maaf, ya, Dek. Uang tabungan yang mau dipakai beli sepeda motor buatmu, malah terpakai b

    Huling Na-update : 2021-12-17

Pinakabagong kabanata

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 43

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 42

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 41

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 40

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 39

    &nb

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 38

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 37

    Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 37 Kami diam menunggu dengan perasaan tak menentu. Ketegangan tergambar jelas di wajah Mas Faisal dan Hanum, serta Satya. aku pun sama tegangnya dengan mereka. Karena, setelah siuman, ibu terus merintih kesakitan. “Gimana, Mas Agung? Ibu sakit apa?” tanya Mas Faisal. Mas Agung adalah salah satu tetangga kami yang berprofesi sebagai mantri di Puskesmas. Kebetulan ia sedang libur, jadi dipanggil ke sini untuk memeriksa keadaan ibu. ibu sendiri menolak dibawa ke rumah sakit saat kami tiba tadi. “Asam lambungnya naik. Mas Faisal. Selain minum obat, Bude Ning juga harus makan teratur dan jangan banyak pikiran,” terang pria berkepala plontos itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Tekanan darahnya juga tinggi banget, Mas.” Aku, Mas Faisal, dan Hanum serta Satya saling pandang. Aku pun tak habis pikir dengan perkataan Mas Agung yang mengatakan

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 36

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 36Setelah diketuk beberapa kali oleh Mas Faisal, pintu kayu bercat coklat tua di depan kami akhirnya terbuka. Wajah ibu terlihat masam. Mungkin dia tak suka melihat kehadiranku.“Mau apa lagi kalian ke sini?” tanya Ibu ketus seraya menatap sinis ke arah Hanum dan Satya.Aku sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Dari kalimat Ibu, aku menyimpulkan kalau ini bukan pertama kalinya Hanum dan Satya datang ke rumah ini. Mungkinkah, mereka pernah mengunjungi Ibu sebelumnya? Tetapi, kenapa reaksi Ibu seperti itu? Seolah tidak senang anak dan menantu kebanggaanya datang.“Bu ....” Kulihat Hanum hendak menyalami Ibu, tapi Ibu terlihat enggan menerima uluran tangan anak bungsunya itu. Hal yang sama juga dilakukan Ibu saat Satya hendak menyalaminya.Aku dan Mas Faisal saling pandang. Mungkin, suamiku itu juga bingung dengan sikap ibunya.

  • Kami Bukan Benalu, Bu   Bab 35

    Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 35POV ArumUntuk sesaat, kami saling tatap. Kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut yang menyapa. “Hanum?” Akhirnya aku bisa menyebut nama itu, sambil menyerahkan barang-barang yang tadi jatuh. “Mbak ....” Hanum tampak kikuk. Aku berusaha tersenyum. “Alea, Arkan, ayo, salim sama Tante Hanum.” Kedua anakku terlihat ragu-ragu saat menyalami adik ayahnya itu. Hanum menerima uluran tangan kedua keponakannya. Kulihat, ada air menggenang di sudut mata adik iparku itu. “Kamu apa kabar, Num? Satya mana?” “Kabarku, baik, Mbak. Mas Satya lagi kerja.” “Oh.” Lagi-lagi, kami saling diam. “Num, Mas Faisal nunggu kami di toko buku. Kita k

DMCA.com Protection Status