Langit panik, dia berjalan mondar-mandir di depan kamar mandi, berharap pintu di depannya itu segera terbuka dan menampilkan Bulan dalam keadaan baik-baik saja. Langit mencoba lagi, mengedor pintu sembari memanggil nama Bulan. “Bulan..Bulan, jawab aku.” Sepuluh menit berlalu. Lagi, tak ada jawaban apa pun. Langit membulatkan tekadnya, dia ingin mendobrak pintu kamar mandi. Memastikan bahwa istrinya baik-baik saja di dalam sana. Baru saja dia berancang-ancang hendak mendorongnya, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Bulan yang memakai piama mandinya. “Are you ok?” tanya Langit, “Nggak ada yang terluka, kan?” Bulan masih diam saja. Terlihat matanya yang sedikit sembab. Langit jadi merasa bersalah padanya. “Kamu marah denganku?” Langit mengekori Bulan sampai ke dalam walk in closet. Bulan acuh tak acuh, dia sibuk memilih-milih piama yang akan dikenakannya. “Bulan, maafkan aku. Kamu marah?” ulang Langit kembali. Dengan wajah linglung, Bulan membawa piamanya masuk ke dalam kamar
Kantuk masih menyerang keduanya. Namun apa boleh buat, mereka harus bangun saat matahari mulai tampil setelah bulan tergelincir.Tak ada drama pagi ini, mungkin karena keduanya sama-sama lelah. Selesai mengenakan pakaian kantor dua insan yang terlihat lemah lesu tak bertenaga itu beriringan duduk ke ruang makan.Mama Bulan yang sudah lebih dulu berada di sana menatap mereka berdua dengan wajah datar.Semalaman saat mereka berdua ribut, Mama Bulan yang kebetulan baru pulang dalam kondisi lelah mengaktifkan speaker yang dia pasang di kamar putrinya. Dia menyuruh mereka diam dan melakukan malam pertama ketimbang terus-terusan bertengkar.“Ma, kemarin Mama pergi ke mana? Kenapa Bulan nggak bisa menelepon Mama?”“Mama ada kerjaan penting, lagi pula ada Langit yang menemanimu, jadi Mama pikir kamu nggak akan mencari Mama.”Bulan yang hendak menyuap makanannya ke mulut, berdecak saat Mamanya menyodorkan piring milik Langit.Langit yang merasa sungkan pun mencegahnya.“Tidak usah, Ma
“Pikir saja sendiri.”Langit bisa merasakan Bulan menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal dia tahu yang sebenarnya. Mereka berdua turun dari mobil. Terlihat Bintang melambaikan tangan ke arah Bulan.Bulan membalas lambaian tangan lelaki itu tanpa memedulikan Langit yang berada di belakangnya.Langit menyapa dengan menganggukkan kepalanya saat Bintang menatapnya. Bintang tersenyum membalas anggukan Langit.Mereka bertiga masuk ke dalam lift yang sama. Tak mau mengganggu Bulan dan Bintang, Langit memundurkan tubuhnya ke belakang. Memberi jarak, membuat ruang mereka berdua untuk saling menyapa.“Bagaimana tidurmu?”“Sangat tidak menyenangkan, Pak. Semalaman saya tidak bisa tidur gara-gara ada setan yang datang ke kamar saya.”Bintang tertawa geli, mana mungkin ada setan di dunia ini. Bulan tak tahu saja di belakangnya Langit kesal bukan kepalang mendengar ocehannya. Bagaimana bisa dia disamakan dengan setan.“Kenapa tak mengusirnya?”“Sudah, Pak, tapi setannya nggak tahu diri.
Bulan tergagap, pikirannya kembali pada kesadarannya.“Sejak kapan kamu di sini?”“Lima menit yang lalu. Saat kamu sibuk dengan lamunanmu.”“Mana berkas yang kemarin, kamu nggak keberatan kalau kasus ini dialihkan ke Mine?”Langit memicingkan matanya, dia tak menerima konfirmasi apa pun dari kliennya. Langit menatap wajah istrinya mencari penjelasan di sana.Bulan pun membuka suara, memberi penjelasan singkat pada suaminya.“Bukan karena kamu tak berkompeten hanya saja, Mine pernah menangani kasus yang sama, jadi klien kamu ingin dia yang menanganinya. Tentu saja kalau kamu tak keberatan.”“Hem, nggak masalah, setidaknya alasan yang kamu jelaskan padaku masih bisa ku terima.”Langit menatap paperbag yang Bintang berikan pada istrinya. Dia mengambilnya dan melihat isinya.Sekotak sandwich, croissant dan segelas americano. Dia membuka kotak dan mencomot satu croissant, menggigitnya secuil.Bulan memukul punggung tangan Langit.“Ini punyaku, Langit.”Bulan mengambil croissant
“Saya pamit dulu, terima kasih makanannya.”“Mau ke mana? Pekerjaan kita belum selesai.”Bulan mencegah Langit pergi dari sana. Jam makan siang memang sudah berakhir. Namun pekerjaan mereka masih belum kelar. Dia tak suka kalau harus lembur malam ini. Sebab banyak pikiran yang mengganggunya sejak pagi tadi.Walau dia terlihat baik-baik saja. Isi kepalanya riuh bergemuruh.“Nanti saya kembali lagi, tak enak mengganggu kalian berdua. Lebih baik saya kembali setelah kalian selesai makan.”Bintang mengangguk, memberi persetujuan pada Langit. Sebagai seorang laki-laki dia bisa mengendus sesuatu yang terjadi antara mereka berdua, hanya saja dia tak mau menunjukkannya.Langit masuk ke ruangannya. Menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya yang sejak pagi dia tinggalkan.“Langit..Langit. Kamu pikir kamu siapa? Lihatlah betapa bahagianya mereka tanpamu. Bukankah mereka pasangan yang cukup serasi? Walaupun pemenang saat ini adalah aku, pada akhirnya mungkin Bintanglah semestanya.”
Sedari tadi Langit hanya berani menatap layar ponselnya tanpa berani menjawabnya.“Jawab Langit. Kenapa tak menjawabnya?”“Bukan hal penting.”“Sure? Nanti kamu menyesal, itu nomor yang sama yang kemarin meneleponmu, Bukan?”Langit mengerjapkan matanya, dia tak menyangka kalau Bulan sedetail itu. Dia yang tak enak hati pun menggeser tanda tolak. Bulan meliriknya sekilas. Matahari mulai terbenam, senja pun datang. Sinarnya yang kemerahan mulai tergulung temaram. Seperti kehidupan, senja mengajarkan banyak hal, merelakan dan menerima perubahan yang terjadi dalam hidup.Pekerjaan mereka hampir selesai saat jam di dinding menunjukkan pukul enam sore.“Finally selesai juga.”“Kembalilah ke ruanganmu, bereskan barang-barang milikmu.” Langit tersenyum, “Kamu yakin menyuruhku kembali ke ruanganku. Aku takut kamu merindukanku.”“Damn you! Cepatlah atau aku akan berubah pikiran dan menendangmu keluar dari sini.”Langit membulatkan ibu jari dan telunjuknya. Dia keluar dari ruangan
Langit mengumpat, “Brengsek!”Dia masih tak mengerti tentang kemarahan Bulan padanya. Alih-alih pergi dari sana, dia memilih kembali masuk dan duduk di tempatnya semula. Dia menghela nafas, takdir tak berpihak padanya, buktinya saat dia sedang mengejar Bulan, Bintang tiba-tiba saja muncul di depan Bulan dan menawarkan tumpangan.“Huff!”Diurungkannya kembali niatnya menghabiskan makanan yang sudah dipesannya. Nafsu makannya mendadak hilang. Setelah dia membayar tagihan, dia memilih kembali ke rumah.Kalaupun Bulan tak ada di sana, itu artinya dia memang sedang tidak beruntung. Dengan kecepatan di atas rata-rata di melajukan kendaraan milik Bulan ke rumah.Sesampainya di rumah, dia berlari ke dalam kamar, ditemukannya istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan rambutnya yang masih basah.“Bulan maafin aku.”Bulan acuh tak acuh. Langit menarik tangan istrinya hingga keduanya jatuh di atas ranjang dengan posisi Bulan yang berada di atas langit.“Kamu marah
Selesai makan, Bulan yang membersihkan bekas makanan mereka, mencuci semua piring dan mengembalikan semuanya pada tempatnya. Walau dia dibesarkan di tengah keluarga yang berkecukupan, Bulan selalu diajarkan mamanya untuk mandiri.Selesai dengan kegiatannya, dia membuat dua cangkir lemon hangat dan membawanya ke kamar. Bulan menyodorkan salah satu gelas pada suaminya.“Thanks,” ucap Langit seraya tersenyum.Mumpung istrinya lagi baik, tak ada salahnya dia menikmati kebaikannya. Malam ini langit malam tampak begitu indah. Tak ada awan yang menggelung di atas sana. Hanya ada kerlipan bintang dengan cahayanya yang cukup terang.Keduanya menikmati keindahan malam di balkon kamar.“Bintang itu cantik, bukan?”“Sejak kapan bintang cantik.”Bulan memicingkan matanya.“Bintang tampan, bukan?” Spontan Bulan mengangguk, mengakui bahwa Bintang memang tampan. Ada sesetitik rasa perih terasa di hati Langit.“Tapi kita tidak sedang membicarakan Bintang atasan kita, Langit. Kita sedang me
Langit mendengarkan suara di seberang sana. Namun, tak butuh waktu lama, dia mengakhiri panggilan dari Baby.“Tumben?”Langit cengengesan, dia tak mau kehilangan momen bersama istrinya. Biar saja Baby marah dengannya. Kali ini dia tak mau menyesal lagi. Di saat dia sudah tahu pasti perasaan istrinya. Di tambah lagi Bulan datang jauh-jauh ke Korea hanya untuk memintanya tetap menjadi suaminya. Suaminya sebenarnya, bukan suami yang hanya tertulis di atas kertas.“Aku ingin waktu berhenti sejenak. Menikmati apa yang terjadi hari ini. Even itu hanya sebuah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi.”“Ini bukan ekspektasi, Langit. Aku ada di depanmu. Kamu bahkan bisa menyentuhku, melakukan apa saja yng kamu inginkan dariku.”Langit tertawa dia memeluk istrinya lagi, menidurkannya kembali di sisnya sembari menaikkan selimut hingga menutupi kedua tubuh mereka berdua. Langit tak bisa tidur meski langit masih menggelap. Matahari seakan enggan menampakkan wajahnya, matahari tak ingin menggangg
Kini Bulan sudah duduk di dalam pesawat yang sebentar lagi take off. Dia meremas kedua telapak tangannya yang sedikit berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia pergi ke Korea, tapi entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Dia memiliki banyak ketakutan tersendiri. Takut misinya akan gagal kali ini dan pulang dalam keadaan terluka. Walaupun sudah membulatkan tekadnya tetap saja dia hanyalah manusia biasa.Perjalanan tujuh jam dua puluh delapan menit akhirnya berhasil dia lewati tanpa kendala apapun. Pesawat mendarat dengan sempurna. Bulan keluar dari imigrasi dan langsung menuju hotel yang sudah dia booking sebelumnya.“Seoul, im in love,” gumannya sembari menuju taksi yang akan mengantarkannya ke tempat dia akan beristirahat.Sampai di hotel dan check ini, Bulan mengirimkan pesan pada suaminya. Waktu seolah berputar terlalu lambat. Hamir sepuluh menit berlau dan suaminya masih belum membaca pesan yang dikirimkannya. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkinkah sua
Bulan ingin sekali pergi menjenguk mertuanya, dia sendiri masih bingung kenapa Ibu Langit bisa sampai masuk ICU.Bulan ingin bertanya pada Langit tapi dia berusaha menahan jarinya untuk tak mengirimkan pesan pada suaminya.“Nanti malam sepulang kerja bagaimana?”Bulan bertanya pada Mine, sebab dia yang tahu di mana ibu mertuanya di rawat. Lagi pula selama Langit pergi dia selalu kesepian di rumah. Rumahnya kosong. Mamanya belum pulang dari Jepang, sedangkan Mine sekarang sudah memiliki kekasih yang tiap malam selalu datang ke apartemennya.“Boleh, tapi aku tak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada janji kencan malam ini.”Bulan melemparkan map ke arah sahabatnya. Mine tertawa, dia berhasil menghindar dan menangkap map milik Bulan lalu meletakkannya kembali ke atas meja.“Aku kembali dulu ke ruanganku, nanti aku kemari, aku ada janji dengan klien. Oiya, kalau aku jadi kamu aku akan menyusul suamimu dan membawanya pulang bersamamu. Cinta itu tak memandang gender, mau siapa pun yang m
“Good morning. Semangat, Bulan, dunia masih berputar meski tak ada Langit di sisimu. Ada langit lain yang selalu mengayomi kamu.”“Sial.”Bulan mengumpat kesal.Mine terkekeh, dia bukannya menghibur Bulan yang sedang patah hati, tapi malah menggodanya terus-menerus.“Kenapa tak membalas pesan darinya?”Bulan menghela nafas, dia teringat terakhir kali melihat Langit saat senja di tepi pantai. Dia sadar betul bahwa Langit memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi kenapa lelaki itu mau menerima begitu saja permintaan Baby padanya. Berapa banyak uang yang Baby bakar untuknya?“Malas, untuk apa dia berbasa-basi nggak jelas, padahal dia sedang sibuk menyuapi dan meninabobokan bayinya.”Mine tak mampu menahan tawanya, dia tertawa terbahak-bahak. Di saat kesal begitu, amarah Bulan malah membuatnya tertawa terpingkal. Bulan mendesah melihat sahabatnya cukup terlihat puas dan bahagia dengan kalimatnya barusan.“Bagus, lanjutkan saja kebahagiaanmu menertawai penderitaanku. Kamu mema
Selesai makan, mereka berdua berbincang santai setelah sejak tadi berada pada kecanggungan yang hakiki. Setelah beberapa menit berlalu, Langit membuka suara kembali. “Ayo, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” “Ke mana?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Mereka berdua bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Menggunakan mobil Langit keduanya kini sudah berada di kemacetan yang cukup panjang. Bulan menghela nafas, dia memandang keluar jendela, menatap masa depannya yang masih tampak buram. Sesekali Langit melirik istrinya yang beberapa kali terlihat menghela nafas. Seolah sedang berusaha melepaskan beban hidup yang cukup berat yang sedang dipikulnya. “Ada yang kamu pikirkan?” tanya Langit memecah keheningan di antara mereka. Bulan menggeleng pelan. Tepat di lampu merah mereka berhenti, Langit menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya. Selama beberapa tahun terakhir, dia mengagumi perempuan itu. Dan pada akhirnya dia bisa dipersatukan oleh keadaan. Perempuan keras k
Setelah malam itu entah kenapa keduanya menjaga jarak, bahkan sudah beberapa malam langit memilih tidur di sofa meski tersiksa. sementara bulan tidur sendirian di ranjang dengan kebisuannya.Walau keduanya sama-sama tak nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang mengubah keadaan. Langit apatis dan Bulan yang egois membuat keadaan semakin sulit.Tepat di hari yang sudah ditunggu Langit. Hari ini adalah hari kepergiannya ke Korea bersama Baby. Mungkin semuanya memang harus berjalan seperti yang takdir inginkan. Sekuat apapun Langit menunjukkan perasaannya, si keras kepala itu masih saja tak peka.“Aku pergi hari ini,” pamit Langit pada istrinya yang masih mengenakan bathrobe miliknya seraya memencet tombol remote bergantian.Ada sesak merundung dadanya tapi dia berusaha keras mengalihkannya.“Aku tak perlu mengantarkan kamu ke bandara, kan?”Langit menggeleng pelan, dia duduk menyandarkan punggungnya pada sofa yang didudukinya. Memandang ke arah istrinya yang baru saja selesai
Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Bulan meminta maaf pada dirinya sendiri. Dia sudah menyakiti tubuhnya yang senantiasa menemaninya setiap hari.Hampir tengah malam saat dia mematikan komputer miliknya. Baru saja pintu lift terbuka, suaminya sudah berdiri di dalam sana.“Aku pikir kamu nggak pulang. Makanya aku menyusulmu ke sini.”“Aku mau pulang sekarang.”Bulan masuk ke dalam lift yang sama dengan suaminya. Mereka berdua mengatupkan bibirnya rapat. Hening, hanya ada suara helaan nafas mereka berdua. Langit memberi waktu pada Bulan menikmati kediamannya.“Naik mobilku, kamu pasti lelah, biar aku yang menyetir.”“Aku nggak capek, tenang saja, naik mobil masing-masing saja.”Bulan membantah, dengan langkah lebarnya dia berhasil mendahului Langit dan langsung masuk ke dalam mobil miliknya. Dia menghidupkan audio, memutar lagu kesukaannya, sesekali dia ikut bernyanyi melampiaskan emosinya yang sudah sejak pagi tak tersalurkan. Saat berhenti di lampu merah dia memandangi s
Bulan masih menyibukkan dirinya, seperti ucapannya sebelumnya, dia sama sekali tak ingin ikut bergabung dengan Mine dan Langit yang sekarang sedang makan malam. Walaupun Mine membujuknya dengan seribu cara, tetap saja Bulan tak berminat ikut dengan mereka. Rasanya dia terlalu kecewa dengan Langit hingga ingin sekali menjauh. Ponsel di sampingnya bergetar menampilkan gelembung chat dari suaminya dan Mine. Mereka kompak sekali bertanya pada Bulan. Bulan hanya membacanya sekilas tanpa mau membalasnya. Dia memegangi perutnya yang mulai keroncongan. Cacing-cacing di perutnya sudah meminta haknya. “Mau sampai kapan kamu begini, Bulan?” Langit sudah berdiri di depan pintu. Bulan menatapnya sekilas lalu berusaha menyibukkan dirinya kembali. Membiarkan Langit masuk ke dalam ruangannya. “Kenapa tak membalas pesanku? Ayo, makan dulu.” Langit menyiapkan makan malam untuk istrinya. Membuka paperbag yang dibawanya. “Kamu boleh marah denganku, tapi jangan menyiksa dirimu sendi
Langit melewati Bulan begitu saja, pikirnya itu lebih baik. Mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuknya memberi jarak antara keduanya. Langit berpikir dengan begitu dia akan lebih tenang meninggalkan Bulan selama dia pergi ke Korea. Mungkin dengan memberi jarak, perempuan itu menjadi lebih tahu sisi hatinya, bagaimana keinginannya. “Kamu lihat, kan?” “Tentu saja aku melihatnya. Kamu pikir aku buta.” Bulan menghela nafas mendengar ucapan Mine. Mine menatap sahabatnya dengan tatapan penuh selidik. Melihat kelakuan sahabatnya, Bulan pun merasa jengah. “Katakan cepat!” Mine terkekeh geli, Bulan dengan cepat mengerti dengan bahasa isyarat yang diberikan padanya lewat tatapannya. “Aku tak tahu alasan pastinya, kenapa tiba-tiba dia menerima ajakan gadis bermuka dua pergi ke Korea. Dan aku juga tak ingin bertanya tentang alasannya. Titik, jangan lagi kamu sematkan koma di akhir kalimatku.” Mine mendesah pelan, mau sampai kapan keduanya salah paham terus mener