CTARR… . “AARRGGHHH…” Tersentak, Airlangga terbangun berteriak kaget. Punggungnya perih sekali. Tubuhnya melengkung ke depan menghindari sengatan perih yang mendadak datang membangunkannya. Tangannya yang terentang tersentak mengejang mengepal. Kakinya mendadak tegap menjejak bumi. Tapi setelahnya semua kembali melunglai. . CTARR… . Kali ini suaranya hanya berupa desis yang keluar dari celah gigi yang saling menggerus bergemeletuk. Tubuhnya berusaha mengejang demi terlihat tetap tegar menutupi sakit yang makin menyengat. Wajahnya kaku. Matanya memejam erat sampai sudut-sudutnya berkerut. Kau tidak akan mendengar teriakan kesakitanku jika kau membangunkanku dengan layak, Robert. Tapi tidurnya yang sedikit—setelah percintaan semu—memberi sedikit tenaga. Paling tidak dia bisa berdiri di atas kakinya. Sedikit membantu untuk mengurangi beban di lengannya. Jangankan makan, setetes air pun tak pernah melewati kerongkongannya sejak dia datan
ELLS terbangun terisak. Dia merasa sedih yang tak tertahankan. Menangis sampai bahunya terguncang hebat. Benar-benar menangis terisak tersedu seperti anak kecil. Dia tidak bisa membiarkan van Loen bertindak seperti ini. Tubuhnya mungkin baik-baik saja. Tapi hatinya sudah tak berbentuk. Mati. Hancur lebur, remuk redam, luka parah, babak belur. Jika beberapa hari kemarin dia sudah tidak bisa menangis, pagi ini, dia tidak bisa menghentikan tangisnya. Aku akan memohon pada Papa. Jika Papa tetap pada pilihannya, jangan salahkan aku jika aku memilih pergi. Jika bumi tak menyatukan kita, kutunggu kau di langit sana. Maafkan aku jika aku pergi lebih dulu. Aku tak bisa membiarkan tubuhku dijamah lelaki lain, Angga. Sakit, Angga. Sakit sekali. Lebih sakit daripada sakit di tubuhnya yang semakin mendera. Sakit di sekujur tubuhnya semakin terasa. Sakit itu bahkan melemahkannya. Terisak, dia teringat kebisuan Airlangga ketika mereka akan berpisah. Termasu
“APA aku mengganggu, Om?” tanya Robert ketika dia menemui van Loen di ruang kerja. “Tidak. Ada apa?” Mendengar suara Robert, dia menjawab sambil mengangkat wajah dari sebuah berkas yang sedang dia berusaha cerna isinya. “Om sibuk?” tanya Robert lagi. “Tidak, Nak. Om membaca hanya untuk pengalih perhatian saja. Ells makin menjadi-jadi.” “Apa Om baik-baik saja?” Pertanyaan itu membuat van Loen serius menatap Robert. “Apa maksudmu, Rob?” Robert mengedikkan bahu. “Apa Om baik-baik saja? Maksudku, apa Om sehat?” Robert duduk di kursi di sisi lain meja kerja van Loen. Van Loen mendengus. Dia tidak pernah merasa sehat sejak Ells menghilang, dan penyakitnya bertambah ketika Ells pulang dan memohon izin pergi. “Om tidak tahu, Nak.” Mengeluh mendesah. “Kalau sehat artinya masih bisa bernapas, ya, itu berarti Om sehat.” Lagi-lagi Robert mengedikkan bahu. Namun kali ini dia lebih serius menekuri wajah tua van Loen. Dia benar-benar memastikan van
BAU anyir dan amis darah menerpa hidungnya. Itu dia! Dia sudah melihat van Loen. Bersimpuh, di sudut lain, jantung Airlangga berdetak semakin keras. Nyawanya makin di ujung. Sudah terlalu banyak luka dan darah yang mengalir. Tanpa pedang pun dia akan mati perlahan. Namun bukan itu yang membuat detak jantungnya menggila. Ada yang lain. Ells terus mendekat. Dia mengeryit mual tapi meneguhkan hati, tekadnya yang sudah membulat mengabaikan semua halangan. “Pap—“ serunya tak lengkap begitu melihat sosok bersimpuh di depan van Loen. Dia terkesima melihat sosok bersimpuh itu. Sesosok tubuh hancur lebur. Lebam dan luka di sekujur tubuhnya membuat siapapun susah mengenalinya. Kesalahan apa yang dia lakukan sampai menerima hukuman seberat ini? Namun ada sesuatu dari sosok itu yang membuat Ells terpaku berusaha mengenali sampai matanya menyipit dan keningnya berkeryit. Dia terdiam, terpaku, dan tetap berdiri terpaku menatap sosok itu. Airlangga demi
“ANGGA! PUNGGUNGMU…” Ells berteriak kaget melihat kehancuran di punggung Airlangga. Bergegas, melupakan sakitnya, dia terbang menerjang Airlangga, jatuh tersaruk memeluk tubuh tak berbentuk. “Angga … apa yang sudah mereka lakukan?” Ells menangis. Ekspresinya ketakutan, kesakitan. Bergetar, tangannya bergerak membelai luka menganga. Tulang rusuk belakang Airlangga terlihat. Koyakan dagingnya bergelayut lemah. Terisak, dia membelai koyakan itu, sekadar menutupi sedikit luka itu. “Aku baik-baik saja, Sayang.” Tangan yang masih terikat, menjadi tumpuan tubuhnya. Pandangan mereka bertemu, pandangan kesakitan Ells dan kelembutan Airlangga. Namun justru mata hitam lembut itu yang lebih menyakiti Ells. “Tenanglah, Ells. Semua akan baik-baik saja. Jaga dirimu.” Bisik di bibir tersenyum itu makin tertatih. Tersengal, nyawanya makin di ujung. Walau mata itu tak lagi utuh melihat, tertutup tirai darah yang mengering, cahayanya pun seredup senja, tapi kelembutannya tetap
PILIHAN ada di tanganku. Aku tidak mungkin memasung Ells hanya agar dia tidak menjalankan niatnya. Terima inlanders ini, atau kau kehilangan putri tersayangmu, van Loen. Kalau kau pisahkan mereka, kapan pun itu kau akan berpisah dengan anakmu. Dalam keraguan yang menemaninya, tangannya mencengkeram erat gagang arit yang sedari tadi dia genggam. Pilihan ada di tangan yang menggenggam arit itu. Lalu… . Sret . Tangannya bergerak menebas tali yang mengikat tangan Airlangga dalam satu tebasan. Ikatan terlepas … “Urus putriku baik-baik. Jika dia menderita, arit ini akan langsung menebas batang lehermu.” Membuang arit ke tumpukan rumput, dia berbalik pergi. Meninggalkan Airlangga dan Ells yang terperangah tak percaya. Dan Robert yang sadar, langsung berlari menyusulnya. “Om, apa maksudnya?” “Maaf, Robert. Om tak akan sanggup hidup tanpa Ells. Jika menerima dia berarti Ells tetap hidup, Om memilih itu.” “Bagaimana
“Astagaaa …” sebuah suara terperangah mengejutkan Airlangga dan Ells. Suara itu terkejut dengan pemandangan di depannya. Sesosok tubuh hancur penuh luka dengan punggung terkoyak sedang membungkuk melayani Ells yang rebah di ranjang. Dia baru saja mengganti baju Ells tanpa peduli dialah yang lebih perlu berganti pakaian. Kainnya sudah robek di sana sini. Airlangga memang sedang mengurus Ells. Dia memaksa Ells untuk beristirahat. Tidak membiarkan Ells membersihkan tubuhnya, dia justru membantu Ells berganti pakaian. Total mengabaikan luka lebam dan menganga di tubuhnya. “Om Karel.” Ells menoleh ke arah suara. “Inikah inlanders yang membuat gempar dunia?” Orang yang dipanggil Om Karel terperangah. “Apa yang terjadi dengan tubuhmu?” Dia bergidik ngeri. “Om … tolong obati Angga…” rengek Ells sambil berusaha bangun untuk duduk, tapi tangan Airlangga menahannya agar tetap berbaring. “Saya baik-baik saja, tapi tolong periksa Ells sekarang. Dia sempat menga
TAPI Airlangga sudah begitu lemah. Dia tidak sanggup lagi membuka mata. Semua tanda vital di tubuhnya memburuk. Denyut nadinya melemah, wajahnya semakin pias. Napasnya pendek bernapas satu satu. Panik, meraba tubuh Airlangga. Suhu tubuhnya terasa lebih tinggi dari normal. Bi Imah ikut panik. Dia memastikan Airlangga tetap bernapas dengan meletakkan punggung telunjuknya di depan lubang hidung Airlangga. “Non, dia lemah sekali.” “Iya, Bi. Anggaku sakit.” Ells kembali menangis. “Apa yang harus aku lakukan, Bi?” “Panggil saja lagi Tuan Dokter Karel, Non. Biar dia memeriksanya lagi.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Ells berlari ke ruang kerja van Loen. Dia menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. “Om Karel,” Ells menarik tangan dokter itu. “Angga … Angga …” Dia tidak bisa berkata-kata. “Tolong Angga, Om.” Dokter Karel sigap berdiri diikuti van Loen. Bertiga mereka berderap ke kamar Ells. “Bagaimana, Bi?” tanya Ells cepat pada Bi Imah yang duduk menja
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t