Sore hari di lobi perusahaan tempat Daniel bekerja. Sarasvati dan Marco duduk termangu memandangi seluruh hiruk pikuk perkantoran yang masih menggeliat di penghujung senja.
Mereka menunggu sampai batas waktu yang sudah Marco sepakati bersama sang manager HRD.
"Ayo pulang, Mam!" ujar Marco menahan geram, "Mereka membohongi kita!"
Sarasvati menggeleng lemah. Mata sayunya masih mengedar memandangi sekeliling. Berharap, masih ada jejak Daniel yang tertinggal di sana.
Marco mengusap pelan punggung Sarasvati, berusaha menenangkan meski hatinya juga panas dingin. Semua terasa tidak enak bagi mereka sekarang. Berbeda dengan Andina dan Daniel yang sama-sama sedang bekerja sama menatap baju setelah keduanya usai berenang bersama.
"Maaf, saya baru saja selesai rapat!"
Sang manager HRD tersenyum tipis seraya duduk di seberang Marco. Dalam benaknya ia sudah bisa menduga kedatangan Marco dan seorang wanita setengah bay
Sepanjang perjalanan yang harus dilewati Daniel menuju rumah, entah mengapa terasa lama sekali.Hari ini terasa berat bagi semuanya, semua hati bagai patah semangat, patah harapan. Entah itu hati Sarasvati ataupun Daniel. Dua hati yang pernah berada di satu tubuh yang sama. Tubuh seorang ibu.Daniel dengan jelas mengingat saat-saat menyenangkan dalam hidupnya bersama keluarga besarnya. Kedua orangtua yang memanjakannya dan memberikan segala yang terbaik baginya.Benar, bahwa setiap orangtua akan memberikan yang terbaik untuk seorang anak. Itu pula yang akan ia lakukan jika nanti sudah memiliki sang buah hati. Namun, ia tak mau bersikap gegabah seperti yang dilakukan oleh ibunya sendiri. Melukai ego seorang anak laki-laki yang bergitu mencintai wanita pertama dalam hidup. Ibu.Mobil sampai di halaman rumah saat hari menginjak pukul setengah delapan malam. Daniel tidak serta-merta langsung turun dari mobil. Pikirannya begitu berkecamuk mengingat Saras
Andina memandang suaminya dengan muka serius, "Mama! Mas ketemu mama?" tanyanya antusias.Daniel mengangguk pelan seraya mengajak Andina ke dalam rumah."Mama mencari kita?" tanya Andina lagi tanpa mengurangi sedikitpun raut wajahnya yang serius. Itu justru membuat Daniel gemas dan ia pun hanya bisa mengelus kerutan di dahi Andina."Mama berdua dengan Marco!" Lalu, "Sepertinya mereka memang akrab dan kalian pasti sudah bersekongkol sangat baik sampai aku tidak tahu jika kalian ternyata mempermainkanku cukup lama!"Sontak saja raut wajah Andina langsung berubah masam. Ketika masalah itu diungkit lagi, meskipun ia tahu sampai mereka belum berkumpul dan memperbaiki segalanya. Masalah itu seperti bercak kenangan kelam yang sulit dilupakan."Memang sebaiknya kita bicara dengan Mama. Kita luruskan semua kesalahpahaman antara kita bertiga! Biar tidak ada lagi keteganga
Sepanjang perjalanan menuju Apartemen Regatta, Marco terus membagi pandangannya antara jalan raya yang mereka lalui dan Abigail. Marco tak habis pikir, hanya karena debu yang berterbangan membuat wanita yang disampingnya menderita.Pun bisa Marco pastikan. Bahwa kamar wanita ini super bersih. Tak ada satupun debu yang menempel di apartemennya. Bisa ia pastikan juga, pembantu rumah tangganya harus bekerja extra sabar."Nomer berapa kamarmu?" tanya Marco gusar sembari memapah Abigail keluar dari mobil. Dengan nada tidak begitu kentara Abigail menyahut."108."Dengan mata liar Marco terus mengedarkan pandangannya mencari dimana kamar wanita itu berada."Lantai lima!" jelas Abigail akhirnya setelah mereka hanya berjalan-jalan di koridor apartemen sambil celingukan, "Bilang dari tadi napa! Jangan cuma keenakan di peluk!" cerca Marco sembari mencari lift.Abigail menyeringai bodoh. Alergi membuatnya tak bisa berpikir jernih
Keesokan harinya.Sepasang anting-anting bertakhtakan berlian berwarna hijau terpasang cantik di cuping telinga Abigail. Bulu mata panjangnya bergerak-gerak saat memastikan bahwa riasan diwajahnya sempurna. Tak adalagi yang ia risaukan. Bekas bentol-bentol merah akibat alerginya sudah hilang.Abigail menyaut tas kerjanya. Tangannya merogoh kantong tasnya bermasuk untuk mencari kunci mobil dan kunci apartemen. Namun, seketika wajahnya langsung muram durja. Ia mendesis jengkel karena ingat dimana mobilnya sekarang."Dimana laki-laki itu, kenapa tidak ada?" tanyanya sembari mengedarkan pandangannya.Abigail langsung melihat seluruh tubuhnya di cermin besar yang memantulkan dirinya. Ia menghela nafas lega saat sesuatu yang mengisi kepalanya tidak terjadi.Namun, Abigail yang masih curiga kemana perginya laki-laki asing yang hanya ia tahu memiliki panggilan 'Co' itu menghidupkan televisi dan mencari rekaman cctv.Dengan wajah se
Daniel mengerjapkan matanya dengan cemas. Disampingnya ada Andina yang tersenyum manis sembari mengelap telapak tangan suaminya yang berkeringat dingin dengan tissue."Grogi ya mas?"Daniel mengangguk. Andina tersenyum lebar sambil menatap suaminya yang berwajah pucat.Banyak spekulasi yang bercabang di kepalanya. Namun ia paham, jika suaminya sekarang belum siap bertemu dengan ibunya."Semakin cepat, semakin bagus, mas! Semakin mudah untuk kita menjalani hidup ini!" Andina menggenggam tangan Daniel, "Ayo... nanti Abigail keburu di apa-apakan sama Marco!"Daniel terdiam, lama. Seolah tenggorokannya tercekat tanpa bisa berkata apa-apa. Pikirannya berputar-putar sendiri, bingung harus berbuat apa ketika bertemu Sarasvati.Ia rindu dan kecewa dalam satu waktu yang sama. Dan kecewa masih mendominasi isi hatinya sekarang.Andina yang memahami sang suami. Memainkan jemarinya yang lentik, menyusuri lengan Daniel
Abigail terkekeh melihat reaksi tamu-tamunya yang kebingungan melihat dirinya yang mendadak tertawa. "Jadi proses maaf-maafannya seperti ini saja?" Komentar Abigail dengan nada meledek, "Tidak ada baku hantam? Atau main pecah-pecahan gelas?" imbuhnya dengan dahi berkerut. Daniel langsung mencium punggung tangan Sarasvati, begitu lama. "Mama nyesek kan?" ujarnya setelah melepas tangannya dari Sarasvati yang mengelus puncak kepalanya dengan sebelah tangannya. Lembut sekali seolah menjelaskan bahwa ia masih menyayangi putra semata wayangnya. "Mama minta maaf. Iya, Mama nyesel!" balas Sarasvati sembari menyeka air matanya, "Mama baru sadar, jika Mama memang salah sudah mengusirmu dari rumah. Tapi lihatlah kamu, Niel! Kamu benar-benar terlihat seperti pria dewasa sebagaimana mestinya." Sarasvati tersenyum kecil, ia menatap Daniel dengan tatapan
Daniel dan Marco keluar dari ruang dokter SpKK dengan wajah tegang. Tidak senang, terasa berat dan membuyarkan semangat.Sekejap, suasana menjadi hening bersamaan datangnya Dokter spesialis kulit dan kelamin yang ikut keluar untuk menemui keluarga pasien."Benar-benar menakjubkan!" seru sang dokter sembari tersenyum lebar kepada Sarasvati yang menghampirinya.Andina gelagapan... Ia yang tidak boleh ikut masuk, ketar-ketir menunggu dan memikirkan suaminya yang sedang diperiksa dokter. Dilihatnya sang dokter tersenyum sembari menjelaskan kapan hasil laboratorium akan keluar, namun senyuman dokter perempuan dengan usia sekitar tiga puluh tahunan itu sangat menyebalkan bagi Andina."Mas diapain? Dilihat gak itunya?" tanya Andina berbisik di telinga Daniel.Daniel mengerutkan keningnya dengan salah satu alisnya yang naik, seolah istrinya ini sedang berusaha menginterogasinya atau menuduhnya melakukan perselingkuhan yang ter
Sarasvati berdiri, sembari berdecak kagum dengan rumah yang Daniel tempati."Kamu beli rumah ini, Niel?"Daniel dan Andina terkikik bersama, mata mereka mengerjap jenaka. Benak keduanya seolah mengerti, jika Sarasvati perlu di beri pelajaran kalian ini.Mereka menggandeng tangan Sarasvati sembari menuntunnya menaiki anak tangga."Beli dong, Ma! Cash!" dusta Daniel dengan nada sombong.Andina menyahut. "Dina berhasil kan, Ma. Membuat mas Daniel menjadi laki-laki pekerja keras." ujarnya menimpali. Meski hatinya tertawa ngakak sembari berdoa agar tidak kualat karena membohongi ibu mertuanya."Mobil itu juga?" Tunjuk Sarasvati pada Mercedes Benz warna hitam yang mengkilap dibawah cahaya matahari.Daniel mengangguk tegas, "Sekarang mama masih mau meremehkan kemampuan Daniel?" ujar Daniel sembari menolehkan kepalanya.Wajah Sarasvati penuh ekspresi heran ketika ia berkata, "Tidak... Kamu mema