Jerit tangis menghiasi malam kelam itu, malam dimana semua berdarah tanpa nyawa. Matanya menatap nanar tubuh tak bergerak di depannya, ingin meraih namun sendirinya tak berdaya.
"Tolong, tolong kami," hanya suara lirih itu yang tersisa dari tenggorokannya.
Hujan datang bergerombolan, menyaksikan tragisnya malam berdarah itu. Dalam pekat hujan terlihat tangan yang berusaha menggapi, lemah dan begitu pucat. Hingga mungkin tak sanggup menggapai dan semua menjadi gelap baginya.
**
Sudah lebih dari satu minggu berlalu, tubuh gadis itu masih sama dan tak menunjukkan responnya. Dokter sudah berusaha memberikan rangsangannya bahkan juga keluarganya namun sepertinya gadis itu masih lelah dan memilih mengistirahatkan tubuhnya.
"Bagaimana dengan putri saya dok, kapan dia bisa kembali terbangun?"
"Benar, ini sudah terlalu lama. Sudah waktunya dia bangun kembali dok."
"Kami sudah berusaha Pak, Bu. Kami masih akan terus berusaha."
Samar-samar nyatanya gadis itu mendengar semua yang terjadi di sekitarnya, ia hanya masih tak ingin membukan matanya. Ia ingin ketika ia membuka matanya maka semua hanya akan menjadi mimpi belaka.
"Bangun Nak, kamu dengar kan Nak. Bangun, bangunlah Tian."
Ratian Cyntia Prambu, satu-satunya nyawa yang selamat saat kecelakaan. Nasib masih melindunginya, malangnya ia juga harus kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu bersamaan.
Dan mereka yang sedang berdebat adalah Wirma juga istrinya, Dewi. Keduanya adalah sahabat mendiang orang tua Ratian atau lebih akrab disapa Tian. Mendengar apa yang terjadi membuat rasa marah menyelimuti keduanya, memutuskan segera terbang dari Surabaya menuju Jakarta.
Sayangnya hanya jasad yang terbujur kaku yang keduanya temui saat tiba, Dewi histeris melihatnya ia tak sanggup menatap betapa parah luka yang kedua sahabatnya derita. Sakit itu bertambah dalam saat salah seorang dokter menyatakan kondisi Ratian koma, sudah sakit masih harus menopang tangga.
Tak ada sanak saudara yang bisa dihubungi, semua seolah tuli dengan kabar ini. Wirma memutuskan untuk menguburkan kedua sahabatnya seorang diri, persetan dengan keluarga yang hanya selembar kertas KK.
Di bawah mendung awan, berhias rintik hujan keduanya dimakamkan. Dewi tak kuasa menahan air matanya, pemakaman yang sangat sederhana untuk sahabatnya yang terlalu baik semasa hidupnya.
"Lihatlah, mereka yang menjilatmu tak datang hanya untuk mengucap perpisahan padamu," lirih Dewi berucap didepan nisan keduanya.
"Biarlah Bun, mereka sudah tenang. Mereka juga akan melihat dari atas sana."
"Bunda hanya tak terima Yah, semasa hidup banyak yang datang menjilat meminta bantuan. Mereka dengan tangan terbuka datang dan menolongnya, tapi apa yang mereka dapat setelah tiada? Bahkan satu taburan bungapun tak ada."
Benar adanya, semasa keduanya hidup banyak yang datang dengan segala sandiwaranya. Dengan nama besar Prambu banyak yang bertingkah licik dan ingin mengakalinya, beruntung ada Saci yang begitu waspada hingga bisa menyelamatkan sang suami dari para rubah bermuka dua.
"Kita kembali, masih ada Tian yang harus kita perhatikan," ajak Wirma pada istrinya.
Di rumah sakit,
Nampak Tian masih tidur begitu pulas, wajah polosnya mirip seperti bayi yang sedang tidur nyenyak. Bahkan susterpun yang sedang memeriksa tak tega untuk membangunkan dan berusaha menyadarkannya.
"Bagaimana keadaan putri saya, Sus?"
"Masih sama Bu, pasien masih enggan membuka matanya. Semua kondisi tubuhnya juga dalam kondisi baik," jelas suster yang merapikan kembali Tian seperti sedia kala.
"Hai Nak, ini Om juga tante. Kita kembali lagi, kamu bangun yuk," bisik Wirma pada telinga Tian.
Setelah melihat suster pergi Dewi mendekati keduanya, duduk di sebelah Tian dan menggenggam tangan pucat itu.
Dewi terlihat memohon pada Tian untuk segera membuka matanya, dengan penuh rasa bersalah ia juga meminta maaf karena tak bisa menjaga mereka. Tian mendengarnya, ia memang tak bisa membuka matanya namun air mata itu meluncur begitu saja membasahi kulitnya.
"Kamu menangis Nak, kamu dengar tante kamu ini?" panik Wirma menghapus air mata Tian.
Dewi tak hentinya bersyukur saat Tian ternyata masih bisa meresponnya, hingga tanpa diduga kedua mata yang terus terlelap itu kembali terbuka menatap dunia. Ya, Tian membuka matanya.
Dokter segera memeriksa dan berbahagia sebab Tian bisa melewati masa tidurnya. Dewi juga Wirma tak kalah bahagia dengan itu namun keadaan Tian kini tak lebih mirip mayat hidup. Hanya membuka mata dan terdiam tanpa suara.
"Terima kasih kamu sudah kembali bersama kami Nak, " ucap tulus Dewi.
Bayangan kelam itu kembali menghampiri Tian, bayangan dimana mobil berguncang dengan begitu hebatnya hingga membuat ketiganya dilanda ketakutan. Ketakutan itu masih begitu nyata dirasa Tian, bahkan kejadian dimana mobil terbalik masih begitu membekas di ingatannya.
Tian diam namun ia berderai air mata, tubuhnya berguncang menahan tangis dan takutnya. Dewi berusaha menenangkannya Wirman panik memanggil kembali dokter.
"Mama, Papa. Kalian di mana, tolong Tian," batinnya menjerit mencari kedua orang tuanya.
Ingatan dimana ia melihat tubuh orang tuanya tak bergerak bersimbah darah membuat Tian kembali anfal. Detak jantungnya berdetak semakin cepat hingga mesin EKG mengeluarkan bunyinya yang begitu nyaring.
"Tidak! Jangan sakiti mereka, tolong selamatkan kami. Tolong kami," batinnya merancu berderai air mata.
"Siapa, siapa itu? Siapa dia? Siapa yang ingin melukai kami, kalian siapa?"
"Tenang Nak, tante mohon tenang dan bertahan. Jangan tinggalkan kami."
"Dokter...!"
Hari telah berganti, kondisi Tian sendiri jauh lebih baik dari hari kemarin. Kesehatannya berangsur membaik namun dokter menyarankan pada keluarga untuk membawa Tian memeriksakan mentalnya. Kecelakaan itu menjadi luka bernanah dalam diri Tian, bayangan-bayangan itu selalu menusuk ingatannya.Tak ada yang salah dengan Tian, semua baik-baik saja. Hanya saja Tian memang menolak berbicara setelah ia sadarkan diri. Wirman sudah mengatur semuanya, ia akan membawa Tian ikut pulang bersama ke Surabaya.Tok.. Tok..Wirma juga Dewi saling bertukar pandang saat mendengar suara pintu di ketuk, Dewi mendekati Tian dan membawanya ke kedalam dekap hangatnya."Ayah buka dulu, " ucap Wirma yang mendekat ke arah pintu.Krekk,"Selamat siang," sapa laki-laki bertubuh kekar itu pada Wirma yang membukakan pintu.Dengan sopan Wirma mempersilahkan laki-laki itu masuk dan kembali menutup pintu. Dewi menatap lekat laki-laki yang berjalan ke arahnya itu.
Setelah mendapat perawatan dari psikiater akhirnya Tian kembali tenang, dokter tersebut juga memberi selembar resep untuk di konsumsi Tian. Tak hanya itu, dokter juga mewanti-wanti untuk tak membahas apapun yang akan memancing emosi Tian."Terima kasih, kami akan mengingat semuanya," ucap Wirma yang mengantarkan dokter tersebut keluar dari rumah.Sedang di dalam kamar nampak Lecy masih terus bertanya tentang apa yang terjadi dengan saudarinya itu. Ia juga bertanya tentang kedatangan Ratian bersama kedua orang tuanya."Di mana om Prambu juga tante Saci?""Lecy, tolong jangan pernah bahas mereka lagi apalagi di depan Tian.""Ya tapi kenapa? Kenapa nggak boleh sih Bun?""Nanti pasti akan kami ceritakan, tidak sekarang sayang," sahut Wirma yang baru masuk ke dalam kamar."Gimana?""Aku suruh bibik beli obatnya," jawab Wirma.Merasa diabaikan membuat Lecy memilih untuk keluar dari dalam kamar, Wirma juga Dewi hanya bisa salin
Semua orang terkejut dengan apa yang Tian lakukan, terlebih Ardan yang berada di depannya saat ini. Wirma yang baru saja masuk terkejut, belum sempat ia melangkah mendekat sudah lebih dulu Tian menggores nadinya."Ratian!"Tetes demi tetes darah mulai berjatuhan mewarnai lantai, Wirma berlari dan merengkuh tubuh yang limbung itu. Semua orang panik, semua orang terkejut dengan tindakan Tian barusan. Di saat semua orang tengah berusaha menyelamatkan Tian, Ardan hanya terdiam di tempatnya dengan pandangan tak percaya di depannya."Bunda, panggil dokter.""Ti loe kenapa sih, loe harus bertahan," tangis Lecy sembari menekan pergelangan tangan Tian dengan sebuah kain."Lihat, lihat apa yang kamu lakukan nak. Ini yang kamu mau?"Ardan terduduk lemah tak berdaya mendengar teriakan ayahnya, ia tak menyangka jika akan seperti ini kejadiannya. Ia tak berniat menyalahkan Tian atas apa yang terjadi dengan orang tuanya, emosi yang membuat Ardan buta denga
Hari yang di tunggupun akhirnya tiba, rumah sudah rapi dengan hiasan beberapa bunga. Tamu yang di undang juga mulai berdatangan, tak banyak hanya beberapa orang juga kolega milik keluarga Prambu juga keluarga Wirma."Saya tidak menyangka jika jawaban dari anda akan secepat ini tuan Wirma," ucap Beno yang tengah berdiri bersama Wirma."Buat saya lebih cepat juga lebih baik, sebelum mereka muncul sebaiknya kita dului dengan rencana yang sudah almarhum rencanakan.""Saya setuju dengan anda tuan, dan mengenai kepulangan nona nantinya kembali ke Jakarta akan saya urus pengawalannya.""Sebaiknya dari kejauhan saja ketika mengawasi, putra saya tidak suka jika privasinya terlalu diusik.""Saya akan mengingat itu."Pembicaraan itu usai ketika penghulu yang ditunggu telah tiba, duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu kedua pengantinnya.Di dalam kamar nampak Lecy tak hentinya memandangi calon kakak iparnya itu, cantik dan sungguh
Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya."Jadi gimana?" tanya Wirma."Apanya ayah?""Gimana rencana kamu setelah ini?""Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama.""Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman."Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.Ardan m
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"Suara itu sontak mengejutkan keduanya, suara yang menggelegar dan dihafalnya itu. Siapa lagi jika bukan suara milik nyonya Larasati, ibu kandung dari Wirma yang berarti nenek dari Ardan juga Lecy."Di mana anak tengik itu, siapa dia berani memaksa cucuku menikahinya," ucapnya dengan menggebu-gebu.Terlalu sibuk dengan urusan pernikahan Ardan membuat keduanya lupa dengan nyonya Larasati. Seharusnya mereka mempersiapkan rencana untuk kemarahan Larasati ini, namun nampaknya kali ini mereka melupakan tugas terpenting itu.Larasati adalah wanita dengan ketegasannya, ia sangat menyayangi Ardan dibandingkan dengan Lecy. Baginya Ardan adalah segalanya sebab Ardan lah yang nantinya menjadi penerus keturunan keluarganya.Namun mendengar cucu kesayangannya dipaksa menikah membuatnya mau tak mau harus terbang kembali ke Surabaya. Sudah sejak lama Larasati menikmati masa tuanya di Yogyakarta, jarang sekali berada di Surab
Makan malam terasa begitu dingin, tak seperti sebelumnya. Tian terlihat sedang melayani suaminya saat Larasati tiba-tiba merebut piring itu dan melayani cucunya sendiri."Bu," tegur Wirma melihat kelakuan ibunya.Dewi mengisyaratkan Tian untuk membiarkan Larasarti melakukan apa yang di sukainya. Ia tak ingin melihat Tian kembali mendapat amukan mertuanya itu. Lecy tak suka dengan sikap oma nya itu, sejak dulu oma nya itu selalu pilih kasih membuatnya sedikit tak menyukai perangainya."Kakak ipar, bisa tolong ambilkan aku ayam itu. Jauh," manjanya pada Tian."Jaga ucapanmu, dia bukan kakak iparmu." marah Larasati menatap tajam Lecy di sebrangnya.Lecy hanya bisa memanyunkan bibirkanya melihat reaksi oma nya, ia tak ingin membuat bundanya kembali menjadi bulan-bulanan dari omanya."Ini, mana piringmu." ucap Tian yang menyodorkan ayam pada Lecy.Sedang Lecy yang merasa di perhatikan merasa begitu senang, ia begitu antusias mengangk
Lecy begitu menikmati makan malamnya, sederhana hanya di sebuah angkringan jalan namun banyak peminatnya. Ardan merasa takjub sebab baru kali ini melihat Tian duduk santai di tempat yang tak selevel untuknya."Kalau nggak nyaman kita pulang aja," ucap Ardan pada Tian yang tengah menikmati nasi kucingnya."Nyaman kok.""Baru pertama kali ya ke tempat kayak gini?" tanya Lecy yang mengerti maksud dari kakaknya itu.Tian menggelengkan kepalanya, "Enggak, udah sering sama Papa Mama kalau malam lapar pasti cari angkringan di Jakarta."Semua kembali menikmati makan malamnya, entah kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini untuk ketiganya. Namun kali ini hanya ingin menikmati waktu dengan segala ketenangan di hati.Larasati tak bisa memejamkan matanya, ia berulang kali menatap jam dinding di rumahnya. Ia begitu geram dan sangat kesal, ia merasa Tian sengaja membuat cucunya pulang larut malam."Emang ya, nggak tahu aturan. Nggak ada orang tua