Pulang dari sekolah aku sengaja mampir ke rumah Bapak. Dengan mengendarai motor, aku mampir ke toko kue dan toko buah. Membelikan makanan dan buah kesukaan Bapak dan Ibu.
Aku bekerja di sebuah TK, dibawah naungan sebuah yayasan pendidikan. Sebenarnya aku merupakan seorang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Aku pernah mengajar di sebuah SMP swasta. Setelah aku hamil anak kedua, yaitu Adiva, aku mengundurkan diri dari SMP tersebut. Karena mengurus dua anak yang terpaut usia dua tahun sangat merepotkan. Aku tidak sanggup membagi waktu antara pekerjaan sekolah dan keluarga. Mas Fahmi mendukung keputusanku.
Setelah Adiva berumur dua tahun, aku mulai bosan di rumah. Atas bantuan Opik, aku dipercaya memegang dan mengelola TK yang baru saja didirikan. Dengan kemampuan yang ada, aku berusaha semangat mengajar di TK. Arya termasuk siswa angkatan pertama di TK yang aku kelola. Aku bekerja sambil mengasuh dua anak. Untung saja pihak yayasan tidak mempermasalahkannya. Saat itu hanya ada tiga orang guru termasuk aku. Alhamdulillah, sekarang siswanya sudah banyak dan memiliki guru delapan orang termasuk aku.
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah Bapak.
"Assalamualaikum," ucapku sambil membuka pintu samping.
"Waalaikumsalam, eh Hanum. Sudah sehat?" tanya Ibu menyambut kedatanganku.
"Alhamdulillah, sudah Bu."
Aku masuk ke dalam rumah sambil meletakkan makanan yang aku bawa. Menaruhnya di piring.
"Bapak kemana, Bu?" tanyaku. Aku duduk di ruang keluarga, tempat kami biasa berkumpul dan bercerita tentang kegiatan hari itu. Aku sangat merindukan masa-masa itu. Ketika Mas Hanif, Mbak Hani dan aku masih sekolah di sini. Aku terbiasa manja karena aku terlahir sebagai anak bungsu. Mas Hanif dan Mbak Hani selalu memanjakan ku.
"Kayak nggak tahu bapakmu saja. Kemana lagi kalau nggak ke sawah," sahut Ibu sambil duduk bersamaku.
"Mbak Hani kemana?" tanyaku sambil mencomot makanan yang aku bawa tadi.
"Baru saja pergi. Entah kemana? Bilangnya pergi, ada sedikit urusan. Ya kayak gitu kelakuan Hani akhir-akhir ini."
Ibu tampak kesal dengan kelakuan Mbak Hani.
"Terus gimana nasib rumah tangganya, Bu?"
"Ibu nggak tahu, setiap Ibu tanya selalu ia marah. Katanya, Ibu nggak senang kalau Hani ada di rumah ini. Padahal maksud Ibu itu baik. Selesaikan dulu masalah rumah tangganya, jangan menghindari masalah. Masalah tidak akan selesai kalau tidak dihadapi."
"Pendapat Bapak bagaimana, Bu?"
"Bapak mau menemui Kevin, tanpa sepengetahuan Hani. Tapi masih rencana, entah kapan. Sepertinya dalam waktu dekat, biar nggak berlarut-larut. Nggak enak sama tetangga, kok Hani disini sendirian."
"Bapak mau pergi sendirian atau sama Mas Hanif?"
"Kayaknya sendirian."
"Kalau butuh teman, Hanum mau menemani Bapak."
"Nanti Ibu sampaikan."
Aku ngobrol-ngobrol dengan Ibu, sambil makan. Tak terasa azan Zuhur berkumandang. Aku segera menyelesaikan makan kemudian salat.
"Tuh, bapakmu baru saja pulang," kata Ibu ketika mendengar suara motor Bapak.
"Hanum? Sudah lama?" tanya Bapak sambil menyerahkan bungkusan pada Ibu. Ternyata beberapa ekor ikan nila yang lumayan besar.
"Pulang dari sekolah tadi langsung kesini," jawabku.
"Bapak mandi dan salat dulu, ya?" kata Bapak.
Aku mengangguk. Menatap langkah Bapak yang tidak pernah lelah melakukan kerja di sawah. Bapak baru beberapa bulan ini pensiun, beliau adalah guru SD. Untuk menyibukkan diri, Bapak sekarang aktif lagi di sawah. Sedangkan Ibu seorang ibu rumah tangga.
Aku menuju ke dapur menemui Ibu. Ternyata Ibu sedang meracik bumbu untuk membuat pepes ikan nila. Pepes ikan nila merupakan makanan favorit kami sekeluarga. Masakan Ibu luar biasa enak. Beberapa kali aku mencoba memasak pepes ikan, rasanya tak seenak masakan Ibu. Padahal bumbunya sama. Aku membantu menyiapkan bahan-bahan. Akhirnya selesai juga membungkus pepes ikan nila. Tinggal mengukusnya.
Aku berjalan menuju ke ruang keluarga. Menonton televisi sambil bermain hp.
"Sudah sehat, Nok?" tanya Bapak yang duduk di depanku. Bapak baru saja selesai salat Zuhur. Bapak sering memanggilku dengan sebutan Nok, singkatan dari Denok. Panggilan kesayangan Bapak untukku.
"Alhamdulillah, Pak, sudah sehat," ucapku.
Bapak tersenyum.
"Harus sehat demi anak-anakmu. Masa kalah dengan Bapak yang sudah tua ini." Bapak berkata sambil terkekeh.
Bapak memang sudah tua, tapi kalau bicara tentang kesehatan dan kebugaran. Beliaulah orangnya. Bapak masih sehat dan bugar. Rahasianya kata Bapak, menikmati hidup, jangan banyak pikiran yang negatif. Jika kita selalu berpikiran positif, aura itu akan mengalir ke seluruh tubuh kita. Itulah yang menjadikan tubuh sehat seperti tanpa beban.
"Pak, apa benar Bapak mau menemui Mas Kevin?" tanyaku dengan hati-hati. Takut nanti dibilang kepo dan ikut campur masalah Mbak Hani.
"Oh, ibumu yang cerita ya?" jawab Bapak.
"Iya. Kalau Bapak butuh teman, aku bersedia menemani."
"Ya nanti Bapak pikirkan lagi. Jangan ceritakan rencana ini pada siapapun ya? Termasuk suamimu, apalagi Hani," ucap Bapak yang membuatku heran bin penasaran.
"Memangnya kenapa? Kok nggak boleh bilang sama Mas Fahmi?" tanyaku.
"Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah jelas permasalahannya, baru kamu ceritakan pada Fahmi. Lagipula jangan bebankan suamimu dengan permasalahan keluarga kita. Kasihan dia, sudah terlalu banyak beban. Kita selesaikan sendiri permasalahan ini, kalau kita merasa tidak mampu, baru kita minta bantuannya."
Aku mengangguk-angguk mendengar perkataan Bapak. Bapak memang sangat bijaksana dalam berbicara dan bertindak. Semoga selalu sehat cinta pertamaku, mencintai tanpa syarat. Sekarang sudah tampak gurat-gurat keriput di wajah Bapak.
***
Sesampainya di rumah aku segera bersiap untuk memasak. Biasanya pulang sekolah, Arya dan Adiva akan selalu membuka tudung saji yang ada di meja makan. Untuk melihat makanan apa yang dihidangkan. Aku memang tidak membiasakan anak-anak terlalu sering jajan di luar. Karena itu aku harus rajin memasak dengan menu-menu yang berbeda. Tentu saja panduanku adalah g****e.
Aku akan memasak tumis kangkung dan menggoreng tahu tempe. Lauknya pepes ikan nila yang tadi diberi sama Ibu.
"Assalamualaikum, Ibu," sapa Adiva yang baru pulang dari sekolah.
"Waalaikumsalam, Sayang. Ish kebiasaan langsung buka tudung saji," ucapku pura-pura marah.
"Lapar, Bu," jawab Adiva sambil cengengesan.
"Ganti baju dulu, cuci tangan baru makan."
"Siap, Bu Bos."
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Adiva. Tak berapa lama, Arya pulang. Kami pun makan bersama. Kalau Mas Fahmi hanya sarapan dan makan malam saja yang di rumah. Makan siang biasanya di kantor atau makan di luar.
Sambil makan tentu saja kami juga bercerita. Tentang kejadian di sekolah atau tentang yang lainnya. Sungguh bahagia melihat mereka berdua akrab dan dekat denganku.
Jam menunjukkan pukul lima sore ketika aku mendengar suara mobil Mas Fahmi. Sekarang sepertinya Mas Fahmi pulang sore terus. Apakah memang banyak kerjaan ya? Ingin bertanya dengan Pak Yanuar, tapi aku sungkan. Nanti dikiranya aku istri yang selalu mau tahu urusan suami. Padahal kalau Mas Fahmi ngomong mau lembur, nggak akan aku larang.
Aku segera menyambut kepulangan Mas Fahmi. Wajahnya tampak ceria.
"Bahagia sekali sepertinya? Apakah ada yang cair?" godaku.
"Kamu ini yang dipikirkan hanya uang saja. Pulang cemberut salah, pulang dengan ceria juga salah. Apa sih maunya," kata Mas Fahmi.
Jleb! Kata-katanya langsung menghujam jantungku. Pedas sekali ucapannya.
"Mas, aku kan nanya baik-baik. Nggak perlu bentak gitu. Kalau aku salah, aku minta maaf," jawabku.
Mas Fahmi melengos langsung masuk ke kamar, aku mengikutinya.
"Mas, kok sekarang pulangnya sore terus? Banyak kerjaan ya di kantor," kataku dengan pelan.
"Kenapa kok sekarang kamu cerewet sekali. Aku kan baru pulang dari kantor," ketus Mas Fahmi menjawab pertanyaanku.
"Mas, aku ini istrimu. Wajar kalau aku bertanya seperti itu. Biasanya kan kalau lembur selalu memberitahu. Tapi sekarang kok tidak pernah lagi. Kalau sudah waktunya pulang, Mas belum sampai di rumah, wajar kalau aku khawatir. Apa salahnya memberitahu."
"Aku lembur."
"Memang tiap hari ya? Lembur di kantor?"
"Iya tiap hari lembur di kantor."
"Tapi waktu Pak Yanuar menelpon, beliau ngomong kalau Mas sudah pulang dari jam dua. Kok sampai rumah jam lima lewat. Kemana?"
Wajah Mas Fahmi mendadak pucat. Ia jadi salah tingkah.
"Kapan Pak Yanuar bilang begitu." Mas Fahmi berkata dengan gugup.
"Kemarin waktu menelpon Mas dan aku yang angkat. Berarti lemburnya nggak sama Pak Yanuar ya? Terus lembur dimana?"
"Sudah lah nggak usah banyak tanya. Mau tahu saja urusanku."
"Kalau tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus marah? Biasa aja kali?" kataku menirukan gaya bicara anak jaman sekarang.
"Mau lembur tiap hari juga nggak apa-apa kok. Tapi ingat pulang, jangan sampai lupa kalau sudah punya anak dan istri, saking sibuknya lembur di kantor. Atau jangan-jangan Mas mau dipromosikan jadi Kabid atau bahkan kadis? Semoga saja ya Mas," kataku sambil ngeloyor keluar dari kamar. Sebelum aku emosi dan akhirnya vertigo kambuh.
Kabid merupakan suatu jabatan di kantor pemerintahan, yaitu kepala bidang. Sedangkan kadis merupakan kepala dinas.
Makan malam kami lalui dengan suasana yang kaku. Tidak ada yang bersuara, hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring. Kami seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Sampai selesai makan pun, tidak ada yang bersuara.
Aku membereskan meja makan dibantu oleh Arya, sedangkan Adiva mencuci piring. Kolaborasi yang indah antara seorang Ibu dan dua anak. Tapi sayangnya sebentar lagi suasana rumah ini akan redup. Tak sehangat dulu.
Anak-anak sudah masuk ke kamarnya. Aku bingung mau kemana. Akhirnya aku putuskan untuk duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Aku tidak fokus dengan acara yang aku tonton. Azan Isya berkumandang, segera kumatikan televisi dan bersiap untuk salat
Dari tadi tidak kulihat Mas Fahmi, entah dia kemana. Tidak ada permintaan maaf atau sekedar menyapaku. Oke, kalau itu maumu, Mas. Akan aku ikuti.
Kurebahkan tubuhku yang terasa lelah. Lelah jiwa dan raga. Apakah aku akan selalu diliputi perasaan ini? Perasaan yang sangat penasaran akan kelakuan Mas Fahmi. Aku harus mencari informasi tentang Mas Fahmi.
Azan subuh berkumandang, aku terbangun dari mimpiku. Kulihat Mas Fahmi masih tidur di sebelahku. Segera aku bangun dan bersiap untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Aku menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Anak-anak juga sudah bangun. Mereka melakukan aktivitas wajib, yaitu membantuku membersihkan rumah. Arya menyapu dan mengepel lantai. Adiva mencuci pakaian. Kulihat Mas Fahmi juga sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menyiapkan kopi untuknya. Masih dalam kondisi diam tidak bertegur sapa, aku memberikan segelas kopi di meja. Aku melanjutkan lagi aktivitas pagi ini. Anak-anak sudah selesai melakukan tugasnya, mereka mandi bergantian. Aku pun mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Sarapan pagi kami lalui seperti tadi malam, tanpa ada percakapan. Benar-benar sepi dan sunyi rumah ini. "Bu, kami berangkat, ya?" pamit Adiva. "Iya, hati-hati ya?" jawabku. Arya sudah di atas motor bersiap mengantarkan Adiva sekolah, baru kemudian ia be
Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Adiva."Benar, itu Bude Hani," kataku pelan. Aku shock melihat Mbak Hani ada di restoran ini, karena ia bersama dengan Kak Rizal. Kak Rizal adalah mantan kekasih Mbak Hani waktu kuliah. Mereka merupakan pasangan yang sangat serasi waktu itu, tapi aku tidak tahu mengapa mereka sampai berpisah. Mbak Hani menikah dengan Mas Kevin dan Kak Rizal menikah dengan perempuan bernama Renita. "Dengan siapa Bude Hani Itu, Bu?" tanya Adiva. "Oh, mungkin temannya." "Kok hanya berdua saja, apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Kata Ibu, perempuan yang sudah menikah itu harus menjaga pergaulannya. Apalagi Bude Hani sedang bermasalah rumah tangganya. Nanti malah memperkeruh keadaan." Adiva tetap nyerocos saja. "Sudah, Dek. Nggak usah banyak komentar. Itu bukan urusan kita. Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih, makanya kamu berpikiran seperti itu." Arya yang tadi diam, akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Iya, benar kata Kak Arya." Mas Fahmi juga
"E...e...mungkin saja. Aku cuma menebak," jawab Mas Fahmi dengan gugup. "Kalau menurut Mas, seandainya ada perempuan bersuami dan laki-laki beristri, makan malam berdua di restoran, apakah mereka hanya teman saja? Adiva yang masih remaja saja sudah bisa berpikir kritis tentang Mbak Hani. Masa Mas yang sudah dewasa tidak bisa berpikir seperti itu? Aku bukannya tidak percaya dengan Mbak Hani. Tapi kondisi rumah tangga Mbak Hani kan sedang di ujung tanduk, nanti Mas Kevin bisa menuduh kalau Mbak Hani yang selingkuh." Aku menjelaskan panjang lebar. "Seandainya Wita seperti Mbak Hani, apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku. "Kok merembet ke Wita?" sahut Mas Fahmi. "Aku ingin tahu pendapat Mas, kalau misalnya Mas berada di posisiku. Apa Mas akan diam saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Mas tahu? Kalau Mbak Hani mendoakan suamiku direbut pelakor," kataku dengan kesal. Mas Fahmi tampak terkejut. "Masa Mbak Hani berbicara seperti itu?" tanya Mas Fahmi. Aku tunjukkan chat percakapanku
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. [Sakit? Aku sehat-sehat saja. Kami dari sebelum Magrib tadi menunggu Mas Fahmi, sampai sekarang belum pulang juga.] [Oh, kata Mas Fahmi, Mbak Hanum sedang sakit, makanya nggak bisa datang. Anak-anak menunggui ibunya. Mas Fahmi sudah disini setelah Magrib tadi. Makanya aku tanya sama Mbak Hanum, sakit apa.] Apa? Berarti Mas Fahmi sudah ke rumah Ibu? Kenapa ia nggak mengajak kami? Katanya kami diundang makan ke rumah Ibu. Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi. Ada apa sebenarnya dengan Mas Fahmi. [Ooo, ternyata Mas Fahmi mendoakan aku sakit. Padahal kami sudah menunggu, sampai anak-anak sangat kesal, ternyata Mas Fahmi sudah kesitu duluan ya? Mungkin Mas Fahmi sengaja nggak mau mengajak kami. Ya sudah, nggak apa-apa.] Wita pun tidak membalas pesanku lagi. Awas kamu, Mas. Aku menjadi sangat kesal dengan Mas Fahmi. Aku berbaring di tempat tidur, sambil bermain ponsel. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi. Apa maksudnya dia seperti itu? Aku
"Jadi kamu senang kalau aku dipecat?" sahut Mas Fahmi."Tentu saja aku senang! Biar Mas tahu rasa, mentang-mentang punya jabatan, malah seenaknya saja. Tidak peduli dengan keluarga!""Kamu…!" tangannya sudah mulai terangkat."Apa! Mau menamparku? Ayo tampar aku biar Mas puas!"Tangan Mas Fahmi diturunkan dan kami pun saling berdiam diri. Aku segera merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tidur. Mata terpejam tapi pikiran mengembara kemana-mana. ***Minggu pagi suasana rumah sedang tidak bersahabat. Aku masih marah dengan Mas Fahmi. Sepertinya anak-anak juga sangat kesal dengan ayahnya. Aku tetap menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Karena itu merupakan tanggung jawabku sebagai seorang istri dan ibu.Selesai semuanya, aku dan anak-anak segera makan. Aku sudah tidak mempedulikan Mas Fahmi lagi. Terserah ia mau melakukan apa.Dari sarapan tadi, kulihat Adiva sangat pucat wajahnya. Mungkin ia kurang istirahat atau karena sedang sakit."Dek, masih pusing?" tanyaku pada Adiva."Enggak
"Alhamdulillah, Pak. Semua baik. Hanya kadang-kadang sedikit berbeda pendapat."Padahal kami juga sedang tidak baik-baik saja. Kami sedang ada masalah, tapi aku tidak mau menambah beban pikiran Bapak dan Ibu."Beda pendapat itu biasa. Jangan sampai beda pendapat membuat kalian bertengkar, saling memaki dan saling menyumpahi. Kalau kalian sedang berselisih paham, jangan sampai anak-anak tahu.""Iya, Pak.""Pak, kalau menurut Bapak, semua yang dikatakan Mbak Hani itu benar atau tidak? Masalah keluarganya," tanyaku pada Bapak."Entahlah, Nok. Bapak nggak mau menduga-duga. Karena itu Bapak mau mendengar penjelasan dari Kevin. Semoga semua ini hanya kesalahpahaman saja.""Kalau menurutku sih janggal, Pak. Mas Kevin itu sepertinya tidak mungkin melakukan yang dituduhkan Mbak Hani. Tapi ya kita nggak tahu seperti apa aslinya. Benar kata Bapak, semoga hanya kesalahpahaman saja.""Belajar dari masalah keluarga Hani, jangan sampai kamu seperti itu. Kalau ada masalah antara kamu dengan Fahmi, se
"Kamu nggak salah, kalau Bapak ada diposisimu pasti marah. Tidak ada laki-laki yang suka, jika istrinya selalu berhubungan dengan laki-laki lain. Kecuali kalau mereka ada hubungan pekerjaan, itu pun nggak mungkin hanya pergi berdua saja terus menerus," kata Bapak dengan bijak."Iya, Pak. Hani marah, katanya saya sangat mencampuri urusannya. Katanya saya mengekang pergaulannya. Padahal saya tidak melarang dia bergaul dan berteman dengan siapa saja. Tapi ya harus dibatasi, apalagi kalau berteman dengan laki-laki, yang dulu pernah punya rasa saling mencintai. Tidak tertutup kemungkinan mereka akan bersatu lagi. Ternyata ketakutan saya benar. Apa wajar mereka hanya berteman tapi sering jalan hanya berdua saja? Ini kan merendahkan harga diri saya sebagai laki-laki dan suaminya. Beberapa teman saya bahkan pernah melihat mereka berdua. Saya sangat malu, Pak," kata Mas Kevin lagi.Mas Kevin mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto kedekatan Mbak Hani dan Kak Rizal. Kalau melihat foto
"Makan dulu ya? Habis itu minum obat," kataku pada Adiva, ketika aku ada di kamar Adiva lagi."Nggak mau makan, mulut terasa pahit.""Kalau nggak makan terus malah semakin pahit. Makan sedikit saja ya? Atau makan roti?" tawarku pada Adiva."Iya, Bu. Roti saja.""Nih, makan rotinya," kataku sambil memberikan roti pada Adiva. Kupandangi ia, sepertinya ia memikirkan sesuatu."Kamu mikirin apa? Kok malah melamun?" tanyaku."Enggak kok, Bu. Hanya kepala pusing sekali," sahut Adiva sambil makan roti sedikit demi sedikit.Selesai makan roti, aku memberikan obat pada Adiva untuk diminum. "Sekarang istirahat saja, ya?" kataku sambil menyelimuti Adiva. Ia pun mengangguk.Aku keluar dari kamar Adiva menuju ke kamarku untuk berganti pakaian. Kulihat Mas Fahmi di kamar sedang sibuk dengan ponselnya. Aku hanya diam saja. Selesai berganti pakaian, aku menuju ke ruang makan untuk menyiapkan makan malam. Walaupun aku masih marahan dengan Mas Fahmi, tapi aku tetap menyiapkan segala keperluannya."Arya
Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.
"Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"
Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer
Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya
Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel
"Nggak ada, kok, Num. Memangnya ada apa?" kilah Mbak Hani."Mbak, nggak usah bohong. Aku sudah tahu semuanya. Aku kan pernah nanya sama Mbak Hani, apa Mbak Hani sakit. Tapi jawaban Mbak Hani, nggak apa-apa, hanya kurang tidur saja. Apa Mbak Hani mau cerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya?"Mbak Hani hanya diam saja."Mbak aku sering memperhatikan Mbak Hani. Aku merasa ada yang lain dari Mbak Hani. Kulihat Mbak Hani badannya menyusut dan terlihat tidak bercahaya. Mbak, aku sayang sama Mbak Hani, tidak mau terjadi apa-apa pada Mbak Hani. Karena itu aku mencari informasi tentang Mbak Hani. Apa Bapak dan Ibu tahu? Mas Hanif, tahu juga?"Mbak Hani menghela nafas panjang."Nggak ada yang tahu, Num. Aku nggak mau membebani mereka.""Bukannya membebani, Mbak. Tapi kalau mereka tahu mereka akan merasa dibutuhkan, bisa untuk saling bertukar pikiran. Aku yakin, mereka pasti akan kesal kalau sampai tahu dari orang lain.""Aku bingung mau memulai dari mana untuk menjelaskan pada mereka." "Bic
Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Mas Fahmi bersama Dinda dan anak mereka. Aku tersenyum."Mas Fahmi," sapaku sambil tersenyum ke arahnya. Dinda diam, tampak wajah yang tidak bersahabat. Memandangku tak berkedip."Apa kabar Hanum," kata Mas Fahmi."Kabar baik. Kenalin Mas ini suamiku," kataku pada Mas Fahmi."O ya. Fahmi, ini Dinda." Mas Fahmi memperkenalkan istrinya."Ray." Mas Ray mengulurkan tangannya."Kami duluan ya, Mas?" pamitku."Oh iya." Mas Fahmi menjawab dengan gugup.Aku dan Mas Ray pun masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan rumah makan."Kok diam saja?" tanya Mas Ray. Kamu memang hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku terasa buntu, banyak sekali yang aku pikirkan."Terus harus ngapain?" "Ngobrol kek, atau apa.""Mas yang ngomong, nanti aku dengar," kataku.Mas Ray hanya diam, kebetulan juga sudah sampai rumah. Aku turun dari mobil, kemudian membuka pintu pagar dan membuka pintu rumah. Meletakkan makanan yang tadi aku beli di meja makan.
Dokter Fajar menarik nafas panjang dan kemudian berkata padaku."Begini Mbak Hanum, Ibu Hanifah Zahira menderita penyakit hipertiroidisme.""Penyakit apa itu dokter?" tanyaku, karena memang aku kurang paham. Lebih baik aku bertanya daripada sok tahu."Penyakit hipertiroidisme adalah gangguan yang terjadi saat kadar hormon tiroksin dalam tubuh terlalu tinggi. Hormon tiroksin yang diproduksi oleh kelenjar tiroid ini memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh. Jika kadarnya berlebihan, maka proses metabolisme pun akan terganggu. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami gejala berupa: tremor,turunnya berat badan, mudah berkeringat,gangguan tidur, gugup, cemas, dan mudah tersinggung, jantung berdebar.""Yang saya tahu Mbak Hani itu berat badannya turun dan mengalami gangguan tidur." Aku berkata dengan pelan."Iya, Ibu Hanifah mengalami yang Mbak Hanum sebutkan tadi." Dokter Fajar menambahi."Apa penyakit ini bisa sembuh?" tanyaku lagi."Bisa, pengobatan rutin selama enam bula