Share

Bucin

Author: YuRa
last update Last Updated: 2022-10-14 16:54:29

"Dek, Kak Arya suka cerita apa sama kamu?" tanyaku pada Adiva.

Aku sengaja ke kamar Adiva, alasanku ingin menemaninya belajar.

"Cerita apa, Bu?" tanya Adiva.

"Apa sih yang suka kalian bicarakan berdua?" sahutku lagi.

"Cerita tentang lagu, film juga tentang teman sekolah. Juga sering bercerita tentang masa depan."

"Pernah nggak cerita tentang Ayah atau Ibu?"

"Pernah."

"Cerita apa?" 

"Ayah yang suka marah-marah."

"Terus?"

"Ayah yang selalu sibuk, nggak ada waktu untuk kami lagi. Kalau di rumah sibuk main hp."

"Memangnya Ayah sekarang seperti itu, ya?" tanyaku penasaran.

"Iya. Sekarang Ayah sudah jarang mengajak kita makan diluar. Jarang ngobrol juga. Terlalu sibuk atau pura-pura sibuk ya, Bu?"

"Kok kamu ngomongnya kayak gitu?"

"Habis Ayah memang seperti itu sekarang."

"Menurutmu, hubungan Ayah dan Mas Arya gimana?"

"Entahlah Bu. Kayaknya sekarang Mas Arya sering sekali dimarahi oleh Ayah. Padahal hanya masalah sepele. Ayah sekarang sensi, kayak perempuan saja."

Ternyata bukan aku saja yang merasakan perubahan pada Mas Fahmi. Anak-anak juga merasakannya. 

Keluargaku merupakan keluarga yang bahagia. Kami sangat dekat dengan anak-anak. Anak-anak pun sangat patuh kepada kami. Mereka hampir tidak pernah membuat masalah yang besar. Nilai-nilai mereka juga memuaskan. Tapi aku tidak pernah memasang target, bahwa anak-anak harus jadi ranking kelas. Nilai mereka diatas standar saja sudah membuatku sangat bahagia. Mereka juga mau membantu pekerjaan rumah. Jadi kami tidak memerlukan ART.

Tapi sepertinya semua ini akan menjadi kenangan. Karena sang kepala keluarga, Mas Fahmi sudah mulai menjadi asing bagi kami. Bukan lagi sebagai ayah yang penyayang tapi sekarang sering marah hanya masalah sepele.

Semoga ini hanya kerikil kecil dalam keluargaku. Yang nantinya kami mampu berjalan diatas kerikil itu, untuk menuju ke jalan yang mulus yaitu kebahagiaan.

"Kok Ibu malah melamun? Ibu mikirin apa? Jangan terlalu serius berpikirnya, Bu. Nanti malah kambuh vertigo Ibu," kata Adiva mengagetkanku. Aku gelagapan sendiri.

"Enggak, kok. Hanya memikirkan kalian, ternyata kalian sekarang sudah mulai dewasa. Nanti kalau sudah kuliah, rumah ini menjadi sepi, hanya ada Ayah dan Ibu saja," jawabku.

Adiva mendekat dan memelukku.

"Ibu, walaupun nantinya kami jauh, tapi hati kami tetap bersama Ibu. Atau nanti Adiva kuliah disini saja?" sahut Adiva.

"Eh jangan, kuliah di tempat yang kamu inginkan. Walaupun kalian mati jauh dari Ibu, kalian tetap anak-anak Ibu."

Aku sangat terharu. Gadis kecilku sudah mulai remaja dan ternyata bisa berpikir dewasa. Waktu terasa cepat sekali berlalu.

"Ngapain pakai pelukan segala?" celetuk Arya yang muncul di kamar Adiva.

"Biasa, Kak, Ibu suka baperan, hihi…." jawab Adiva.

"Ibu sangat bahagia dan bangga memiliki kalian. Semoga kalian nanti sukses dengan kehidupan kalian masing-masing," kataku pada Arya dan Adiva.

"Amin, doa Ibu yang akan mengantarkan kesuksesan pada kami nantinya. Arya juga bangga memiliki Ibu." Kata-kata Arya membuatku terharu.

"Terus, Kak Arya nggak bangga ya memiliki Ayah," goda Adiva.

"Ish kamu ini," kata Arya sambil pura-pura mau menjitak kepala Adiva.

"Bu, lihat tuh, Kak Arya nakal," adu Adiva padaku.

"Kalian harus tetap akur seperti ini ya? Sampai dewasa nanti, meskipun Ayah dan Ibu sudah tidak ada," kataku.

"Ibu kok ngomong seperti ini sih? Arya jadi sedih," ucap Arya.

"Umur manusia tidak ada yang tahu. Ibu hanya mengingatkan, bahwa kalian itu bersaudara sampai kapanpun. Jadi harus selalu rukun."

"Iya, Bu."

Terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Pasti itu Mas Fahmi.

"Ayah sudah pulang, Ibu mau menemui Ayah dulu," ucapku pada Arya dan Adiva.

Aku segera keluar dari kamar Adiva. Benar dugaanku, Mas Fahmi baru pulang dari kantor. Wajahnya tampak sangat lelah.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku basa-basi.

"Iya," jawab Mas Fahmi sambil berjalan masuk ke kamar. Segera aku buatkan teh untuk menyegarkan tubuhnya yang letih.

"Mas, sudah aku buatkan teh," kataku pada Mas Fahmi di kamar. Mas Fahmi sedang mengganti bajunya.

"Iya, makasih. Aku mau mandi dulu, biar segar," kata Mas Fahmi sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Kebetulan kamar yang aku tempati ada kamar mandi di dalamnya.

Drtt...drtt

Suara hp Mas Fahmi berbunyi, sebuah panggilan masuk dari Pak Yanuar.

"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika menerima panggilan telepon itu.

Mas Fahmi memang memperbolehkanku mengangkat panggilan di hpnya. Aku mau menerima panggilan telepon, jika aku kenal dengan orangnya.

"Waalaikumsalam, eh Bu Fahmi. Pak Fahminya ada?" jawab Pak Yanuar.

"Ada, Pak. Sedang mandi, baru pulang dari kantor."

"Baru pulang? Bukannya Pak Fahmi sudah pulang dari jam dua tadi?"

Deg! Jantungku berdetak tidak karuan mendengar ucapan Pak Yanuar. Bagaimana bisa pulang jam dua tadi? Kalau memang Mas Fahmi pulang jam dua, setidaknya jam setengah tiga atau jam tiga sudah sampai di rumah. Lha ini sampai di rumah sudah jam lima lewat. Kemana ya Mas Fahmi? Jangan-jangan… aku segera menepiskan pikiran buruk tentang Mas Fahmi.

"Oh, mungkin ada kerjaan diluar yang harus dilakukan, Pak."

"Oh, mungkin juga. Nanti Pak Fahmi suruh menelpon saya ya Bu?"

"Iya, Pak. Nanti saya sampai."

Pak Yanuar menutup panggilan.

"Siapa yang menelpon, Bu?" tanya Mas Fahmi yang baru keluar dari kamar mandi.

"Oh, Pak Yanuar. Mas disuruh menelponnya," ucapku.

"Ya Nanti, aku mau pakai baju dulu."

Aku masih bertanya-tanya dalam hati, kemana mas Fahmi pergi, ya? Semakin hari kok Mas Fahmi semakin mencurigakan. Atau aku yang terlalu berlebihan, terlalu paranoid, ketakutan akan terjadi sesuatu yang mengancam rumah tanggaku? 

Berpikir yang jernih, Hanum. Selidik apa yang sesungguhnya terjadi, kamu pasti bisa. Aku menyemangati diriku sendiri.

***

Selesai makan malam dan beres-beres meja makan, anak-anak sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Kulihat Mas Fahmi duduk di ruang keluarga dan sangat asyik dengan hpnya. Hingga ia tidak menyadari kalau aku sudah ada di depannya.

"Ehem," aku sengaja berdehem.

Mas Fahmi kaget dan wajahnya tampak pucat seperti orang yang sedang kepergok.

"Segitunya melihat hp, sampai nggak tahu kalau aku ada di depan mata," ucapku sambil duduk di sampingnya.

"Eh, Ibu ngagetin saja," ucap Mas Fahmi menutupi kegugupannya. Ia segera menutup hpnya.

"Ada apa sih di hp itu?" tanyaku lagi.

"Nggak ada apa-apa, kamu itu kok terlalu curiga sih? Apa kamu pikir aku selingkuh, gitu?" ketus Mas Fahmi menjawab pertanyaanku.

Aku kaget sekali mendengar ucapan Mas Fahmi yang seperti membentak. Ya Allah, aku kan hanya bertanya saja. Kok dia seperti itu? Benar kata Adiva kalau Mas Fahmi sekarang sensi.

Aku segera beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke kamar Adiva. Ternyata ia tidak ada dikamarnya. Aku menuju ke kamar Arya. Kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka dan terlihat Adiva tiduran di kasur. Aku segera masuk.

"Boleh Ibu masuk?" tanyaku.

"Boleh dong, Bu," sahut Arya.

"Ngapain kamu disini, Dek? Sudah belajar?" tanyaku pada Adiva.

"Sudah, Bu. Tadi siang sudah ngerjain tugas. Bosan di kamar. Mau gangguin Kak Arya saja," jawab Adiva sambil cengengesan.

Arya langsung menjawil pipi Adiva. 

"Ih, gemes sama pipi kamu, Dek," kata Arya menggoda Adiva.

"Kak Arya ngapain sih, jawil-jawil pipiku. Nanti pipiku lecet," balas Adiva.

"Halah, lebay," cibir Arya.

Kelakuan mereka berdua menjadi pelipur laraku, disaat Ayah mereka mengabaikan ku. Semoga aku selalu sehat, bisa mendampingi dan mengantarkan mereka sampai sukses.

"Ibu kenapa? Kok kelihatannya sedih?" tanya Adiva.

"Ah enggak kok. Siapa yang sedih? Ibu terharu melihat ulah kalian. Sering bercanda membuat Ibu tertawa," kataku menutupi kesedihanku. 

Andai kalian tahu, Nak, hati Ibu sedang terluka. Tapi lebih baik kalian tidak tahu dan aku pun tidak boleh menampakkan kesedihanku di hadapan mereka.

Kami bercerita banyak hal. Tertawa dan bercanda bersama mereka membuatku lupa akan kesedihanku. 

"Ibu mau ke kamar, sudah mengantuk," pamitku pada mereka.

Aku berjalan menuju ke pintu, tapi tidak segera pergi. Aku berusaha menguping pembicaraan mereka.

"Kak, kok Ibu akhir-akhir ini sering melamun ya? Sejak Ibu pingsan waktu itu, aku sering melihat Ibu termenung. Sepertinya Ibu sedang banyak masalah. Walaupun Ibu berusaha menutupinya, tapi aku lihat Ibu menyimpan kesedihan," kata Adiva. Aku meneteskan air mata.

"Mungkin memang banyak yang dipikirkan sama Ibu. Masalah kerjaan di kantor atau masalah lain. Kita doakan saja semoga Ibu selalu sehat dan bahagia," ucap Arya. Ternyata Arya sudah dewasa dalam berpikir.

Aku tak sanggup lagi mendengar obrolan mereka. Aku segera berjalan menuju ke kamar. Sayup-sayup aku dengar Mas Fahmi sedang berbicara di depan rumah. Aku mengintip dari balik horden di ruang tamu. Ternyata sedang ngobrol dengan Pak Malik, tetangga depan rumah. 

Aku segera masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Mencoba memejamkan mata, tapi masih terngiang-ngiang ucapan anak-anak. Ternyata mereka sudah dewasa, sudah bisa mengamati dan menganalisa apa yang terjadi pada ibunya. 

Kudengar langkah kaki masuk ke dalam kamar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Mas Fahmi merebahkan tubuhnya di sebelahku. Kemudian memelukku dari belakang. Sambil menc'um tengkuk, membuatku berdebar-debar.

"Maafkan aku," bisiknya di telingaku. Hatiku langsung meleleh mendengar ucapannya. Memang benar kalau aku terlalu bucin pada Mas Fahmi. Aku benar-benar takut kehilangan dia. Semoga apa yang aku takutkan akhir-akhir ini, tidak pernah menjadi kenyataan.

Mas Fahmi masih memelukku, pelukan yang sangat nyaman. Sepertinya ia tertidur dan rasa kantuk mulai menyerangku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
punya anak laki2lemah dan pengecut punya suami ngatai istrinya lugu,bodoh dan bucin. dan ternyata si suami benar klu istrinya begitu. ksdi wajar diselingkuhi suami.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Sebuah Rencana

    Pulang dari sekolah aku sengaja mampir ke rumah Bapak. Dengan mengendarai motor, aku mampir ke toko kue dan toko buah. Membelikan makanan dan buah kesukaan Bapak dan Ibu.Aku bekerja di sebuah TK, dibawah naungan sebuah yayasan pendidikan. Sebenarnya aku merupakan seorang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Aku pernah mengajar di sebuah SMP swasta. Setelah aku hamil anak kedua, yaitu Adiva, aku mengundurkan diri dari SMP tersebut. Karena mengurus dua anak yang terpaut usia dua tahun sangat merepotkan. Aku tidak sanggup membagi waktu antara pekerjaan sekolah dan keluarga. Mas Fahmi mendukung keputusanku.Setelah Adiva berumur dua tahun, aku mulai bosan di rumah. Atas bantuan Opik, aku dipercaya memegang dan mengelola TK yang baru saja didirikan. Dengan kemampuan yang ada, aku berusaha semangat mengajar di TK. Arya termasuk siswa angkatan pertama di TK yang aku kelola. Aku bekerja sambil mengasuh dua anak. Untung saja pihak yayasan tidak mempermasalahkannya. Saat itu hanya ada tiga orang

    Last Updated : 2022-10-14
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Puber Kedua

    Azan subuh berkumandang, aku terbangun dari mimpiku. Kulihat Mas Fahmi masih tidur di sebelahku. Segera aku bangun dan bersiap untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Aku menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Anak-anak juga sudah bangun. Mereka melakukan aktivitas wajib, yaitu membantuku membersihkan rumah. Arya menyapu dan mengepel lantai. Adiva mencuci pakaian. Kulihat Mas Fahmi juga sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menyiapkan kopi untuknya. Masih dalam kondisi diam tidak bertegur sapa, aku memberikan segelas kopi di meja. Aku melanjutkan lagi aktivitas pagi ini. Anak-anak sudah selesai melakukan tugasnya, mereka mandi bergantian. Aku pun mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Sarapan pagi kami lalui seperti tadi malam, tanpa ada percakapan. Benar-benar sepi dan sunyi rumah ini. "Bu, kami berangkat, ya?" pamit Adiva. "Iya, hati-hati ya?" jawabku. Arya sudah di atas motor bersiap mengantarkan Adiva sekolah, baru kemudian ia be

    Last Updated : 2022-11-10
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Jangan Ikut Campur

    Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Adiva."Benar, itu Bude Hani," kataku pelan. Aku shock melihat Mbak Hani ada di restoran ini, karena ia bersama dengan Kak Rizal. Kak Rizal adalah mantan kekasih Mbak Hani waktu kuliah. Mereka merupakan pasangan yang sangat serasi waktu itu, tapi aku tidak tahu mengapa mereka sampai berpisah. Mbak Hani menikah dengan Mas Kevin dan Kak Rizal menikah dengan perempuan bernama Renita. "Dengan siapa Bude Hani Itu, Bu?" tanya Adiva. "Oh, mungkin temannya." "Kok hanya berdua saja, apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Kata Ibu, perempuan yang sudah menikah itu harus menjaga pergaulannya. Apalagi Bude Hani sedang bermasalah rumah tangganya. Nanti malah memperkeruh keadaan." Adiva tetap nyerocos saja. "Sudah, Dek. Nggak usah banyak komentar. Itu bukan urusan kita. Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih, makanya kamu berpikiran seperti itu." Arya yang tadi diam, akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Iya, benar kata Kak Arya." Mas Fahmi juga

    Last Updated : 2022-11-11
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Fahmi Kemana

    "E...e...mungkin saja. Aku cuma menebak," jawab Mas Fahmi dengan gugup. "Kalau menurut Mas, seandainya ada perempuan bersuami dan laki-laki beristri, makan malam berdua di restoran, apakah mereka hanya teman saja? Adiva yang masih remaja saja sudah bisa berpikir kritis tentang Mbak Hani. Masa Mas yang sudah dewasa tidak bisa berpikir seperti itu? Aku bukannya tidak percaya dengan Mbak Hani. Tapi kondisi rumah tangga Mbak Hani kan sedang di ujung tanduk, nanti Mas Kevin bisa menuduh kalau Mbak Hani yang selingkuh." Aku menjelaskan panjang lebar. "Seandainya Wita seperti Mbak Hani, apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku. "Kok merembet ke Wita?" sahut Mas Fahmi. "Aku ingin tahu pendapat Mas, kalau misalnya Mas berada di posisiku. Apa Mas akan diam saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Mas tahu? Kalau Mbak Hani mendoakan suamiku direbut pelakor," kataku dengan kesal. Mas Fahmi tampak terkejut. "Masa Mbak Hani berbicara seperti itu?" tanya Mas Fahmi. Aku tunjukkan chat percakapanku

    Last Updated : 2022-11-11
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Berbohong

    Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. [Sakit? Aku sehat-sehat saja. Kami dari sebelum Magrib tadi menunggu Mas Fahmi, sampai sekarang belum pulang juga.] [Oh, kata Mas Fahmi, Mbak Hanum sedang sakit, makanya nggak bisa datang. Anak-anak menunggui ibunya. Mas Fahmi sudah disini setelah Magrib tadi. Makanya aku tanya sama Mbak Hanum, sakit apa.] Apa? Berarti Mas Fahmi sudah ke rumah Ibu? Kenapa ia nggak mengajak kami? Katanya kami diundang makan ke rumah Ibu. Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi. Ada apa sebenarnya dengan Mas Fahmi. [Ooo, ternyata Mas Fahmi mendoakan aku sakit. Padahal kami sudah menunggu, sampai anak-anak sangat kesal, ternyata Mas Fahmi sudah kesitu duluan ya? Mungkin Mas Fahmi sengaja nggak mau mengajak kami. Ya sudah, nggak apa-apa.] Wita pun tidak membalas pesanku lagi. Awas kamu, Mas. Aku menjadi sangat kesal dengan Mas Fahmi. Aku berbaring di tempat tidur, sambil bermain ponsel. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi. Apa maksudnya dia seperti itu? Aku

    Last Updated : 2022-11-11
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Jujur atau Berbohong?

    "Jadi kamu senang kalau aku dipecat?" sahut Mas Fahmi."Tentu saja aku senang! Biar Mas tahu rasa, mentang-mentang punya jabatan, malah seenaknya saja. Tidak peduli dengan keluarga!""Kamu…!" tangannya sudah mulai terangkat."Apa! Mau menamparku? Ayo tampar aku biar Mas puas!"Tangan Mas Fahmi diturunkan dan kami pun saling berdiam diri. Aku segera merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tidur. Mata terpejam tapi pikiran mengembara kemana-mana. ***Minggu pagi suasana rumah sedang tidak bersahabat. Aku masih marah dengan Mas Fahmi. Sepertinya anak-anak juga sangat kesal dengan ayahnya. Aku tetap menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Karena itu merupakan tanggung jawabku sebagai seorang istri dan ibu.Selesai semuanya, aku dan anak-anak segera makan. Aku sudah tidak mempedulikan Mas Fahmi lagi. Terserah ia mau melakukan apa.Dari sarapan tadi, kulihat Adiva sangat pucat wajahnya. Mungkin ia kurang istirahat atau karena sedang sakit."Dek, masih pusing?" tanyaku pada Adiva."Enggak

    Last Updated : 2022-11-26
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Apa Saya Salah?

    "Alhamdulillah, Pak. Semua baik. Hanya kadang-kadang sedikit berbeda pendapat."Padahal kami juga sedang tidak baik-baik saja. Kami sedang ada masalah, tapi aku tidak mau menambah beban pikiran Bapak dan Ibu."Beda pendapat itu biasa. Jangan sampai beda pendapat membuat kalian bertengkar, saling memaki dan saling menyumpahi. Kalau kalian sedang berselisih paham, jangan sampai anak-anak tahu.""Iya, Pak.""Pak, kalau menurut Bapak, semua yang dikatakan Mbak Hani itu benar atau tidak? Masalah keluarganya," tanyaku pada Bapak."Entahlah, Nok. Bapak nggak mau menduga-duga. Karena itu Bapak mau mendengar penjelasan dari Kevin. Semoga semua ini hanya kesalahpahaman saja.""Kalau menurutku sih janggal, Pak. Mas Kevin itu sepertinya tidak mungkin melakukan yang dituduhkan Mbak Hani. Tapi ya kita nggak tahu seperti apa aslinya. Benar kata Bapak, semoga hanya kesalahpahaman saja.""Belajar dari masalah keluarga Hani, jangan sampai kamu seperti itu. Kalau ada masalah antara kamu dengan Fahmi, se

    Last Updated : 2022-11-27
  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Marah-marah

    "Kamu nggak salah, kalau Bapak ada diposisimu pasti marah. Tidak ada laki-laki yang suka, jika istrinya selalu berhubungan dengan laki-laki lain. Kecuali kalau mereka ada hubungan pekerjaan, itu pun nggak mungkin hanya pergi berdua saja terus menerus," kata Bapak dengan bijak."Iya, Pak. Hani marah, katanya saya sangat mencampuri urusannya. Katanya saya mengekang pergaulannya. Padahal saya tidak melarang dia bergaul dan berteman dengan siapa saja. Tapi ya harus dibatasi, apalagi kalau berteman dengan laki-laki, yang dulu pernah punya rasa saling mencintai. Tidak tertutup kemungkinan mereka akan bersatu lagi. Ternyata ketakutan saya benar. Apa wajar mereka hanya berteman tapi sering jalan hanya berdua saja? Ini kan merendahkan harga diri saya sebagai laki-laki dan suaminya. Beberapa teman saya bahkan pernah melihat mereka berdua. Saya sangat malu, Pak," kata Mas Kevin lagi.Mas Kevin mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto kedekatan Mbak Hani dan Kak Rizal. Kalau melihat foto

    Last Updated : 2022-11-29

Latest chapter

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Baby Boy (Ending)

    Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Masih Sayang

    "Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Hamil

    "Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Memberi Dukungan

    Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Butuh Waktu

    Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Survivor Kanker

    Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Tidak Mau Membebani

    "Nggak ada, kok, Num. Memangnya ada apa?" kilah Mbak Hani."Mbak, nggak usah bohong. Aku sudah tahu semuanya. Aku kan pernah nanya sama Mbak Hani, apa Mbak Hani sakit. Tapi jawaban Mbak Hani, nggak apa-apa, hanya kurang tidur saja. Apa Mbak Hani mau cerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya?"Mbak Hani hanya diam saja."Mbak aku sering memperhatikan Mbak Hani. Aku merasa ada yang lain dari Mbak Hani. Kulihat Mbak Hani badannya menyusut dan terlihat tidak bercahaya. Mbak, aku sayang sama Mbak Hani, tidak mau terjadi apa-apa pada Mbak Hani. Karena itu aku mencari informasi tentang Mbak Hani. Apa Bapak dan Ibu tahu? Mas Hanif, tahu juga?"Mbak Hani menghela nafas panjang."Nggak ada yang tahu, Num. Aku nggak mau membebani mereka.""Bukannya membebani, Mbak. Tapi kalau mereka tahu mereka akan merasa dibutuhkan, bisa untuk saling bertukar pikiran. Aku yakin, mereka pasti akan kesal kalau sampai tahu dari orang lain.""Aku bingung mau memulai dari mana untuk menjelaskan pada mereka." "Bic

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Menemui Mbak Hani

    Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Mas Fahmi bersama Dinda dan anak mereka. Aku tersenyum."Mas Fahmi," sapaku sambil tersenyum ke arahnya. Dinda diam, tampak wajah yang tidak bersahabat. Memandangku tak berkedip."Apa kabar Hanum," kata Mas Fahmi."Kabar baik. Kenalin Mas ini suamiku," kataku pada Mas Fahmi."O ya. Fahmi, ini Dinda." Mas Fahmi memperkenalkan istrinya."Ray." Mas Ray mengulurkan tangannya."Kami duluan ya, Mas?" pamitku."Oh iya." Mas Fahmi menjawab dengan gugup.Aku dan Mas Ray pun masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan rumah makan."Kok diam saja?" tanya Mas Ray. Kamu memang hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku terasa buntu, banyak sekali yang aku pikirkan."Terus harus ngapain?" "Ngobrol kek, atau apa.""Mas yang ngomong, nanti aku dengar," kataku.Mas Ray hanya diam, kebetulan juga sudah sampai rumah. Aku turun dari mobil, kemudian membuka pintu pagar dan membuka pintu rumah. Meletakkan makanan yang tadi aku beli di meja makan.

  • Kakakku, Orang Ketiga Dalam Rumah Tanggaku    Pernah Membencinya

    Dokter Fajar menarik nafas panjang dan kemudian berkata padaku."Begini Mbak Hanum, Ibu Hanifah Zahira menderita penyakit hipertiroidisme.""Penyakit apa itu dokter?" tanyaku, karena memang aku kurang paham. Lebih baik aku bertanya daripada sok tahu."Penyakit hipertiroidisme adalah gangguan yang terjadi saat kadar hormon tiroksin dalam tubuh terlalu tinggi. Hormon tiroksin yang diproduksi oleh kelenjar tiroid ini memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh. Jika kadarnya berlebihan, maka proses metabolisme pun akan terganggu. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami gejala berupa: tremor,turunnya berat badan, mudah berkeringat,gangguan tidur, gugup, cemas, dan mudah tersinggung, jantung berdebar.""Yang saya tahu Mbak Hani itu berat badannya turun dan mengalami gangguan tidur." Aku berkata dengan pelan."Iya, Ibu Hanifah mengalami yang Mbak Hanum sebutkan tadi." Dokter Fajar menambahi."Apa penyakit ini bisa sembuh?" tanyaku lagi."Bisa, pengobatan rutin selama enam bula

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status