“Tapi kan kamu belum mapan ....” “Buktinya aku bisa bayar perawatan kamu, kan? Apa lagi yang bikin kamu ragu?” Lika tidak segera menjawab. “Mau ya nikah sama aku? Aku kurang apa lagi sih, Yang? Aku juga sudah pisah sama Naya, itu kan yang kamu mau?” Lika mengangguk. “Tapi ... kamu nggak berhasil ambil uang dari dia kan?” “Memangnya kenapa? Kamu kan sekarang yang satu-satunya bisa menikmati uangku, bukan Naya. Soal uang nafkah itu, biar saja lah. Hitung-hitung sedekah selama aku jadi suami dia ....” “Tuh kan kamu itu terlalu baik jadi orang, Yang!” “Sudah tahu aku ini orang baik, kenapa kamu nggak mau nikah sama aku secepatnya sih?” “Iya iya, kita pasti bakalan nikah kok. Masa kita sudah sampai sejauh ini, tapi nggak maju-maju ke jenjang yang lebih serius?” “Makanya itu, sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita.” Lika menggelengkan kepala. “Mempercepat bukan berarti buru-buru, Yang. Memangnya kamu sudah punya uang buat sewa gedung, jatering, baju pengantin dan cetak undan
Nayara mengetuk pintu dan cepat-cepat masuk ke ruangan Elkan. “Permisi, Bapak sakit?” “Menurut kamu?” sahut Elkan dengan suara sengau, dia mengenakan masker warna hitam yang membuatnya semakin terlihat misterius dan menarik. “Kenapa tidak libur saja sih, Pak?” “Karena tidak ada yang bisa menggantikan saya.” “Masalahnya Bapak tidak punya sekretaris sih, ya?” komentar Nayara sambil meletakkan setumpuk dokumen yang baru saja dia cetak. “Setidaknya saat Bapak sakit, dia bisa meng-handle pekerjaan di sini.” Elkan tidak menjawab, melainkan dia langsung memeriksa dokumen yang Nayara serahkan. “Sudah minum obat belum, Pak?” tanya Nayara lagi ketika melihat Elkan yang berulang kali menyeka matanya yang berair. “Sudah minum kopi tadi ....” “Kok minum kopi sih Pak, Seharusnya kan Bapak minum obat.” “Saya minum kopinya sekitar dua jam yang lalu,” kilah Elkan. “Tetap saja kopi itu bukan obat, itu bapak masih kuat kerja kan?” Elkan lagi-lagi tidak menjawab. “Saya kembali ke ruangan tim
Apa aku lepas saja ya maskernya biar dia bisa bernapas? Nayara mengulurkan tangannya dengan ragu, sebelum dia sempat menyentuh ujung masker itu ..... Tiba-tiba saja Elkan membuka mata dan menangkap pergelangan tangan Nayara. “Kamu mau ngapain?” “Maaf, Pak!” Elkan memaksa dirinya untuk bangun dengan susah payah. “Saya ke sini karena ... tumben telepon interkom tidak berbunyi, jadi saya cek dan ... Bapak memangnya tidak engap pakai masker sambil tidur begitu?” “Yang namanya sakit mana ada nyaman, sih?” “Terus ini Bapak maunya ... pulang atau ...?” “Carikan saya obat, dan minuman hangat ...” pinta Elkan sambil membelakangi Nayara. “Ambilkan kotak tisu di meja saya.” “Baik, Pak!” Nayara dengan sigap mengambil barang yang Elkan inginkan. “Saya keluar sebentar, nanti biar OB yang siapkan teh dan obatnya. Bapak biasanya minum yang merek apa?” “Saya obat apa saja cocok, yang penting stok tersedia. Tidak perlu mencari yang tidak ada ....” “Kalau begitu tunggu sebentar ya, Pak!” Naya
Nayara mengangguk mengerti dan segera mengambil obat yang dinilai paling cocok untuk gejala yang dialami Elkan. “Diminum yang ini, Pak.” “Oke, habis ini saya bisa langsung sembuh kan?” Nayara menggeleng. “Kalau bisa sebaiknya Anda tidur dulu dan istirahat yang cukup, baru setelah itu kondisi tubuh pasti akan lebih baik lagi. Jangan memaksakan diri kalau memang sedang sakit.” Elkan tidak bicara sampai dia selesai meminum obatnya. “Sepertinya saya memang butuh sekretaris,” ujar Elkan sambil meletakkan bungkus obat yang sudah kosong. “Bukanlah saya sudah bilang dari jauh-jauh hari?” “Dan kamu adalah orang yang paling cocok untuk menjadi sekretaris saya.” “Apa, Pak?” “Nanti kita akan bicara lagi kalau saya sudah benar-benar lebih baik, sekarang saya mau tidur dulu.” Nayara bengong. “Kamu boleh kembali ke ruangan tim kamu, tapi sebaiknya kamu cek ke sini setiap satu jam sekali.” Nayara menarik napas. Elkan memang sudah sering bertingkah semenjak mereka bertemu, tapi tingkahnya k
Pria itu mengembuskan napas berat. “Tidak sih, tapi ....” “Tunggu apa lagi? Loloskan mereka, biarkan mereka ikut masa percobaan seperti pegawai lainnya sebelum tanda tangan kontrak resmi. Kalau hasil kerja bagus, kita bisa gunakan uang ini. Kalau ternyata kurang memuaskan, kita kembalikan uang ini dengan potongan sekian persen. Gimana, Pak?” “Kamu benar-benar bikin saya dalam situasi sulit.” “Tidak ada yang sulit kalau Anda mau bekerja sama, Pak!” Lagi-lagi pria itu bimbang, tapi Andika terus memaksa dengan gigih. Hingga akhirnya kata setuju itu meluncur keluar dari bibirnya dan Andika bersorak gembira. “Tapi kamu harus pastikan kalau tidak ada orang lain yang mengetahui tentang hal ini ....” “Anda tenang saja, Pak. Yang tahu soal ini cuma saya dan Bapak saja,” sahut Andika sambil terkekeh. “Suruh mereka yang sudah kamu incar itu untuk menghadap saya, kita harus benar-benar melakukannya dengan rapi.” “Baik, Pak. Saya mengerti, kita lakukan bertahap saja.” Pria yang selama ini
“Sini, bantu saya untuk menjelaskan protes dari calon pegawai tetap lain yang merasa lebih berpotensi!” Andika mengacak rambutnya, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. “Begini, kami sudah melakukan tes dari berbagai macam aspek sejak awal penerimaan pegawai baru. Jadi meski kalian berpotensi di beberapa aspek dan ada aspek lain yang belum memenuhi syarat, kami tentu punya penilaian tersendiri untuk menolak atau tetap menerima kalian.” Andika menjelaskan, berusaha kelihatan berwibawa supaya mereka percaya dengan apa yang dia katakan. Nggak apa-apa manipulatif sedikit, batin Andika dalam hati. “Terus apa yang kami dapatkan selama masa percobaan di sini?” “Betul, kami sudah mengeluarkan tenaga dan juga pikiran kami.” Andika dan Mantyo saling pandang. “Jangan khawatir, kalian akan tetap mendapatkan hak kalian. Gaji, uang makan dan bensin. Untuk kontrak kerja, mohon maaf sekali karena nama kalian tidak masuk dalam daftar kami. Semoga ke depan kalian menemukan tempat yang sesuai deng
“Tidak juga, saya hanya ada urusan sedikit.” Nayara tidak lagi bicara dan lebih memilih untuk melihat-lihat jalanan yang dilalui mobil Elkan. Sepintas tidak ada hal yang aneh, tapi lama kelamaan .... Aku kok kayak kenal rute jalan ini ya, pikir Nayara sambil menegakkan tubuhnya. “Ngapain kamu?” tanya Elkan yang merasa terusik. “Pak, ini kita ke kantor mana kalau boleh tahu?” “Nanti kamu juga lihat sendiri, tenang saja.” Nayara akhirnya diam dengan memendam sejuta pertanyaan di dalam kepala. Hingga akhirnya mobil yang dikemudikan Elkan memasuki pelataran parkir sebuah gedung yang tentunya sudah tidak asing lagi di mata Nayara. Altavisioner, perusahaan tempat Andika bekerja. “Ayo turun, kenapa kamu diam saja?” sentak Elkan sembari membuka pintu mobilnya. “Saya harus ikut Bapak masuk? Gimana kalau saya ke kantin dan makan siang duluan?” “Tidak sopan, kamu makan duluan di saat bos kamu masih kerja ....” “Lagian kenapa Bapak memilih jam makan siang untuk kuker sih?” “Apa kuker
Andika memilih duduk di meja yang sudah dibersihkan, kemudian masih terngiang-ngiang dengan keberadaan Elkan dan juga Nayara beberapa saat yang lalu. Kok bisa mereka berdua muncul bersama? “Kenapa sih kamu nggak pernah mau memperkenalkan Elkan sama aku?” protes Lika lagi. “Tadi itu kesempatan yang bagus untuk kita saling mengenal, nanti kalau kita punya bisnis kan dia bisa jadi target pertama kita.” Andika menggelengkan kepalanya. “Sebentar dulu, Yang. Aku masih bingung sejak kapan Elkan jadi atasan Naya, setahu aku Pak Ryan itu nama bosnya.” Lika terdiam, ekspresi wajahnya memperlihatkan kebingungan yang sama. “Ya sudahlah, nggak penting juga. Yang penting adalah gimana caranya kita akrab sama Elkan, kelihatannya dia bukan orang sembarangan. Pengusaha atau apa?” “Entahlah, jujur aku nggak terlalu kenal sama Elkan. Dia sepupu jauh, setahu aku dia sudah mapan sih.” “Terus kenapa mantan istri kamu bisa jadi pegawainya Elkan?” “Itu yang aku belum tahu, satu-satunya kemungkinan ad
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak