Nayara membuka pintu kamar utama dan menarik napas panjang ketika dia mendapati ruangan dalam keadaan remang-remang.
“Pasti lampu utama belum diganti juga,” gumam Nayara lirih sekali, takut membangunkan Andika.Sore tadi Andika menelepon dan mengatakan jika badannya agak kurang sehat, karena itu Nayara diminta untuk tidak membangunkannya ketika dia pulang nanti.Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Nayara merebahkan diri di samping tubuh suaminya yang berbaring membelakanginya. Dia ingin sekali membangunkan Andika dan mengajaknya minum jahe panas, tapi tidak berani membangunkan suaminya yang selalu marah jika tidurnya diganggu.Karena itu Nayara memutuskan untuk menunggu Andika bangun sendiri sembari menyalakan televisi.Tidak berapa lama kemudian, terasa gerakan cukup keras di ranjang yang mereka tempati. Nayara pikir Andika akan bangun tidak lama lagi, sehingga dia bisa mengajaknya untuk makan di luar.“Mas?” panggil Nayara hati-hati. “Kita minum jahe di luar yuk? Biar badan kamu jadi fit lagi ....”Tidak ada sahutan, sehingga Nayara tidak ingin memaksakan diri. Dia tahu akhir-akhir ini Andika sering lembur di kantor milik keluarga besarnya, ditambah cuaca buruk yang tidak bisa diprediksi dengan pasti.Suara televisi yang tidak terlalu keras, ternyata membuat ranjang bergerak lagi.“Andika, itu kamu?”Suara bariton seorang pria membuat Nayara mematung di posisi duduknya. Bagaimana tidak, suara itu bukanlah suara Andika yang dia kenal.“Siapa itu?” Nayara melontarkan pertanyaan dengan jantung berdegup kencang. “Kamu rampok ya? Kamu mau maling di rumah ini?”Kata-kata Nayara meluncur cepat bagai desing peluru yang ditembakkan.“Siapa yang maling? Jangan asal bicara ya!”Sosok itu bangun dari posisinya dan berputar menghadap Nayara.Bagai disambar petir di tengah malam buta, Nayara terbelalak ketika dia mendapati jika sosok yang sedari menempati ranjang itu bukanlah suaminya, melainkan orang lain!“Kamu siapa? Apa yang kamu lakukan di kamar ini?” Nayara berseru garang ke arah pria bertubuh proporsional itu. “Kamu pasti penyusup yang punya niat jahat terhadap aku dan Andika!”Sebelum sosok itu menjawab, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Andika muncul.“Nay? Apa yang kamu lakukan di sini?” Dia menyipitkan matanya, berusaha meyakinkan diri jika Nayara betul-betul ada di hadapannya. “Kamu Elkan, ngapain kamu sama istri aku?”Sial, umpat Elkan dalam hati sambil buru-buru turun dari ranjang.“Sori, ini salah paham. Saat aku masuk dan tidur di sini, istri kamu belum ada.”Andika beralih menatap Nayara. Bahkan dalam sorot lampu remang-remang sekalipun, dia bisa melihat jika ekspresi wajah suaminya terlihat curiga.“Jadi kamu masuk saat kakak sepupu aku tidur di sini? Kamu nggak mikir perasaanku, Nay? Aku tuh lagi sakit, tapi kamu malah main gila begini ....”“A—aku nggak tahu kalau dia sepupu kamu, Mas! Aku pikir kamu yang sejak tadi tidur di sini.”Andika membanting satu kantong plastik berisi obat ke lantai.“Jangan mikir jelek dulu, ini cuma salah paham! Aku tidak ngapa-ngapain sama dia, sumpah!”“Sudahlah, El. Aku telanjur kecewa sama kalian berdua, apa yang aku saksikan tadi sudah cukup jelas. Kalian sudah tidur bersama di ranjang aku,” ucap Andika dengan tenggorokan tercekat, dia meringis menahan nyeri yang merambat di dadanya.“Mas, aku nggak tidur sama dia!” bantah Nayara dengan air mata merebak.“Alah, maling mana ada yang mau ngaku!” sentak Andika murka. “Jelas-jelas kamu sama Elkan ada di atas ranjang yang sama, apa lagi yang mau kamu jelaskan hah?”Elkan yang tidak tahu apa-apa, mencoba untuk menengahi supaya tidak didera oleh rasa bersalah karena kesalahpahaman itu.“Percaya sama aku, Dika. Aku tidak melakukan apa-apa sama istri kamu, dari tadi aku tidur sendirian.”“Cukup El, kamu nggak perlu ikut campur urusan aku sama Naya. Maaf, kalau sambutan aku kurang baik hari ini. Seharusnya sebagai tuan rumah, aku bisa menjamu kamu dengan sempurna ... Gara-gara kejadian ini, sori. Aku nggak kuat lagi ....”“Aku tidak jadi bermalam di sini, aku akan ke hotel saja.”“Aku nggak enak sama ibu kamu, kita juga sudah lama nggak ketemu kan? Urusan ini biar aku sama Naya yang selesaikan.”Nayara masih tergugu, dia tidak mengira jika Andika malah lebih mengutamakan untuk minta maaf kepada Elkan. Bukankah Nayara juga tidak tahu apa-apa?Soal kedatangan Elkan saja, dia tidak diberi tahu sama sekali.***“Kamu sudah bikin aku kecewa, Nay.”Andika menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas sofa, lalu menyangga kepalanya dengan sebelah tangan.“Mas, sumpah aku nggak ngapa-ngapain sama Elkan. Aku saja nggak tahu kalau dia sepupu kamu, dan lagi kenapa kamu nggak bilang kalau dia ada di kamar kita?”Andika mendengus.“Elkan itu kakak sepupu aku, dia tamu istimewa di sini. Aku suruh dia istirahat di kamar kita karena kamar tamu belum dibersihkan, tapi kamu bisa kan lihat-lihat dulu sebelum masuk kamar?”“Lampu utama kamar itu macet, Mas. Aku sudah sering bilang kan?”Nayara tidak bohong. Sudah berulang kali dia minta Andika untuk mengganti bola lampu di kamar mereka, tapi permintaannya itu tidak kunjung dipenuhi.“Kamu terbukti sudah berbuat tidak senonoh sama Elkan, jadi aku harus mengambil langkah tegas supaya kamu jera.”“Mas, aku minta maaf. Aku betul-betul nggak tahu,” ucap Nayara. Lagi-lagi dia mengalah sebagai istri, dia tidak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut hingga menghancurkan biduk rumah tangganya.“Kali ini aku nggak bisa menerima maaf dari kamu, Nay. Kamu bukan istriku lagi, Nayara Crystalia. Aku ceraikan kamu sekarang juga, jadi silakan kamu pergi dari hadapanku.”“Mas!” Air mata Nayara menitik satu per satu membasahi kedua pipinya. “Kamu menceraikan aku karena kesalahpahaman tadi? Elkan saja sudah bersumpah kalau nggak terjadi apa-apa di antara kami! Kenapa kamu tetap nggak percaya?”Napas Andika memburu karena amarah, baginya tangis Nayara tidak lebih dari tangis seekor buaya betina yang ingin dikasihani.“Aku betul-betul minta maaf, Mas. Aku mohon jangan ceraikan aku!”“Aku paling benci pengkhianatan, Nay. Dan hari ini, aku sudah selesai sama kamu. Aku ingin rumah tangga kita diakhiri sampai di sini, sekarang pergilah, kita akan bertemu lagi di pengadilan.”Nayara menangis sesenggukan, tidak mengira jika kesalahpahaman ini berbuntut fatal pada kelangsungan rumah tangganya dengan Andika.“Mana Elkan?” tanya Nayara sembari mengusap air matanya yang tertumpah.“Betul kan kalau kamu sudah sempat tidur sama kakak sepupuku, makanya sekarang kamu cari-cari dia? Gitu saja kok nggak mau ngaku ....”“Jangan banyak omong, mana Elkan?” sentak Naraya kasar, membuat Andika terbelalak.“Berani kamu sama ....”“Aku di sini,” sahut Elkan yang muncul dari balik tembok.Nayara langsung berlari untuk menyerangnya dengan frontal.Bersambung—Nayara langsung berlari untuk menyerangnya dengan frontal. “Puas kamu? Gara-gara kelancangan kamu masuk kamar sembarangan, Mas Andika jadi menceraikan aku! Tanggung jawab kamu!” Elkan terperanjat ketika Nayara berteriak-teriak histeris di depan wajahnya. “Itu benar, Dik?” Andika mengangguk, membuat Elkan termangu. Pria itu merasa bahwa keputusan adik sepupu yang menceraikan istrinya karena sebuah salah paham, merupakan keputusan yang berlebihan. Namun, sebagai orang lain, Elkan tidak ingin ikut campur dalam masalah rumah tangga mereka. “Apa kamu kamu tidak mau memikirkan ulang keputusan kamu ini?” tanya Elkan ketika Nayara sudah pergi meninggalkan mereka. “Aku nggak mau punya istri pengkhianat, El.” “Tapi kami tidak berbuat apa pun, aku bersumpah ....” “Kamu tidur kan tadi? Memangnya kamu tahu betul apa yang terjadi?” Elkan sontak diam, dia memang sempat tertidur sehingga tidak mengetahui dengan pasti kapan Nayara masuk kamar. “Daripada nanti kamu menyesal, Andika.” “Aku n
Mobil sang calon mantan suami sudah terparkir di garasi, sehingga Nayara langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, berharap tidak diusir lagi.“Mas Andika?” Nayara pergi ke dapur, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dia lantas menaiki tangga menuju kamar yang menjadi saksi bisu atas kesalahan besar yang tidak pernah dilakukannya.Begitu tiba, Nayara lihat kamar itu terbuka lebar dan terdengar suara-suara cekikikan yang membuat bulu kuduknya berdiri semua.“Nakal ih kamu ....”“... makanya jangan genit kamu ....”“Genit-genit begini, tapi kamu suka kan Yang?”“Iya, Yang ... Nambah lagi boleh?”Nayara mengerutkan kening, obrolan menjijikkan macam apa itu?Didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi, Nayara menerobos masuk ke dalam kamar utama dan matanya terbelalak sempurna.Jantung Nayara terasa seperti diiris-iris sebilah belati ketika dia menyaksikan dua insan berbeda jenis itu sedang saling membelit penuh gelora di hadapannya.“Andika!” teriak Nayara dengan suara yang memeka
“Sejak kapan perangai Andika seperti itu sama kamu, Nay?” “Sejak kedatangan kakak sepupunya itu, Bu.” “Sepupu yang mana?” “Nggak tahu juga, katanya sepupu jauh yang aku bahkan nggak pernah lihat dia sebelum ini.” “Kok aneh ....” “Biar saja, Bu. Aku muak sama perlakuan Andika kemarin, apalagi saat aku lihat dia sedang mesra-mesraan sama perempuan lain di kamar yang dulu kami pakai ... Rasanya jijik banget, Bu.” “Ya sudah, bercerai saja. Laki-laki kalau suka main tangan sama perempuan, susah sembuhnya.” Nayara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untung aku belum punya anak, pokoknya Ibu jangan pernah percaya kalau Andika atau keluarganya bilang aku selingkuh, itu fitnah kejam.” “Tentu saja Ibu nggak percaya, ibu yang lebih tahu kamu seperti apa. Sudah sana berangkat, keburu siang.” Nayara mengangguk, dia harus kembali bekerja dan tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi menangisi Andika yang telah melukai hati dan harga dirinya, Nayara tidak sudi. Ketika taksi yang ditu
Mati aku, batin Nayara. Jadi mulai sekarang Elkan adalah atasanku? Kesialan macam apa lagi ini? Degup jantung Nayara menjadi tidak terkendali, selama Elkan mengucapkan sepatah dua patah kata di hadapan para pegawai yang sebentar lagi akan dia pimpin. Telinga Nayara mendadak tuli, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap supaya Elkan tidak bisa melihat keberadaannya. ‘Apa aku minta pindah cabang saja ya?’ pikir Nayara dalam hati. Cabang yang ditempati Andika juga tidak masalah, toh sebentar lagi mereka akan bercerai. Dia lebih memilih satu kantor bersama calon mantan suami daripada jadi bawahan Elkan. Pria yang pernah dia maki-maki sesuka hati sebagai pelampiasan amarahnya karena keputusan sepihak Andika yang ingin bercerai. ‘Minta pindah saja deh ya,’ pikir Nayara lagi. Di saat para pegawai sedang fokus menatap Elkan yang berbicara dengan penuh kharisma serta ketegasan tinggi, dia malah sibuk sendiri dengan isi kepalanya yang semrawut. “... jadi paham sampai di sini?”
“Setelah ini tugas apa lagi, Pak?” tanya Nayara sembari mengelap kaca. “Kita pergi ke hotel,” jawab Elkan tegas. “Ap—apa? Ke hotel?!” “Ya.” “Jangan bercanda, Pak!” Elkan menatap wajah Nayara yang terlihat panik, pembalasan dendam akan dimulai sebentar lagi. “Apa saya kelihatan bercanda?” Nayara sontak gelisah, dia tidak mungkin menuruti perintah Elkan yang satu itu kan? “Tapi ... tapi buat apa kita ke hotel, Pak?” tanya Nayara terbata. “Untuk membuktikan ucapan kamu yang tadi.” “Ucapan ...? Ucapan yang mana sih, Pak? Kapan?” “Jangan pura-pura lupa kamu, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mau ajak saya ke hotel biar bisa tidur di ranjang yang mewah?” Nayara langsung mematung dengan bibir terkatup rapat. “Sa—saya ....” “Kamu juga bilang kalau kamu yang akan membayar tarif hotelnya, jadi saya tagih janji kamu setelah pulang kerja.” Mampus aku! Tubuh Nayara terasa panas dingin, dia terkena serangan panik yang luar biasa. “Itu tadi ... hanya ... itu ....” “Hanya apa? Itu
"Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?""Jangan nuduh, Pak!"Elkan tersenyum sinis. "Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?"Nayara jelas tidak dapat berkutik lagi, diam-diam dia mengutuk mulutnya yang tidak pernah bisa direm setiap kali dalam keadaan emosi."Saya ... duduk di belakang saja ya, Pak?" kata Nayara ketika dia dan Elkan sampai di parkiran."Kamu pikir saya sopir?""Bukan begitu, tapi ....""Sudah jangan banyak alasan, cepat masuk."Nayara mati kutu, biarlah dia ikuti apa maunya atasan galak ini. Daripada dipecat, kehidupan justru akan lebih buruk setelah dia resmi menyandang gelar janda."Menurut kamu, hotel di sana bagus tidak?" tanya Elkan sembari menyebut salah satu hotel di kota besar."Jangan, Pak! Mahal, yang lain saja ....""Kalau hotel di dekat gedung olahraga?""Itu kelasnya para artis, Pak. Dompet saya bisa langsung kritis ini ...." Elkan berdecak sembari mengemudi."Hotel y
Nayara tidak menjawab, melainkan kembali mendatangi resepsionis tadi.“Mbak, katanya tidak bisa pesan kamar. Kok bisa saya bisa sih?” Petugas resepsionis itu menatap Nayara, kemudian ganti menatap Elkan.“Maaf Bu, tapi ....”“Pasti bos saya ini nyogok kan? Laporkan saja ke pemilik hotel ini, Mbak!”Petugas resepsionis itu menatap ke arah Elkan sebentar, lalu ekspresi wajahnya berubah.“Apa sih? Jangan nuduh sembarangan!” sentak Elkan.Namun, Nayara telanjur dikuasai emosi.“Mbak kalau kerja yang benar dong!”“Maaf, Ibu ....”“Tadi bilang sama saya katanya pesan kamar tidak bisa dadakan, tapi kenapa bos saya bisa dapat kamar kalau tidak nyogok?”“Bukan begitu, Bu ....”“Jangan begitu lah, Mbak. Saya ini juga pegawai, tapi saya mana mau dapat sogokan. Kasihan nanti pemilik hotel ini kalau dikasih uang panas, Mbak! Bisa sakit nanti, kan?”“Oke, terima kasih ya!” ucap Elkan sambil buru-buru mendorong Nayara untuk menjauh dari meja resepsionis.“Bapak apa-apaan sih, malu ya
“Siapa yang cari suami, Mas? Bukankah kamu yang bujuk aku supaya mau jadi istri kamu?” balas ibu dengan nada keberatan.Nayara melengos, dia memang sudah lama curiga kepada ayah tirinya itu. “Lho, apa bedanya? Toh aku sama kamu saling membutuhkan.”“Dulu aku kira begitu, sebelum akhirnya aku merasakan sendiri. Punya suami seperti nggak punya suami ....”“Istri sukanya nuntut ya kalau penghasilan suami sedikit? Harusnya bersyukur kek.”“Aku akan bersyukur kalau kamu setiap hari rajin banting tulang untuk menafkahi aku, Mas. Ini apa?”Tangan Nayara mengusap lembut lengan ibunya, dia memang tidak tahu menahu bagaimana kehidupan rumah tangga sang ibu bersama suaminya yang baru.“Sayang ....”Sementara itu di apartemen, Lika sedang melabuhkan kepalanya di pelukan Andika.“Sayang?” panggil Lika untuk kesekian kali karena Andika tidak kunjung merespons.“Apa sih, Yang? Aku ngantuk ini ....”“Dih, selalu saja begitu. Kamu serius nggak sih sama aku?”“Serius lah.”“Terus kapan ka
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak