“Setelah ini tugas apa lagi, Pak?” tanya Nayara sembari mengelap kaca.
“Kita pergi ke hotel,” jawab Elkan tegas.“Ap—apa? Ke hotel?!”“Ya.”“Jangan bercanda, Pak!”Elkan menatap wajah Nayara yang terlihat panik, pembalasan dendam akan dimulai sebentar lagi.“Apa saya kelihatan bercanda?”Nayara sontak gelisah, dia tidak mungkin menuruti perintah Elkan yang satu itu kan?“Tapi ... tapi buat apa kita ke hotel, Pak?” tanya Nayara terbata.“Untuk membuktikan ucapan kamu yang tadi.”“Ucapan ...? Ucapan yang mana sih, Pak? Kapan?”“Jangan pura-pura lupa kamu, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mau ajak saya ke hotel biar bisa tidur di ranjang yang mewah?”Nayara langsung mematung dengan bibir terkatup rapat.“Sa—saya ....”“Kamu juga bilang kalau kamu yang akan membayar tarif hotelnya, jadi saya tagih janji kamu setelah pulang kerja.”Mampus aku! Tubuh Nayara terasa panas dingin, dia terkena serangan panik yang luar biasa.“Itu tadi ... hanya ... itu ....”“Hanya apa? Itu apa?”Nayara menelan ludah. Kalau di luar tadi dia bisa bersikap layaknya singa yang sedang murka, maka sekarang ini Nayara lebih terlihat seperti ayam kesakitan di hadapan Elkan.“Itu hanya salah paham saja, Pak! Saya minta maaf!” Nayara terpaksa memohon-mohon. “Saya akan mengerjakan apa saja yang Bapak suruh, tapi jangan bawa-bawa hotel ....”“Besar omong juga kamu ya, menyedihkan.” Elkan menarik napas. “Tapi sayang sekali, saya ini orangnya pendendam. Kamu sudah mempermalukan saya di depan umum, kamu juga mencaci maki saya seenak jidat kamu, sok-sokan pula nyuruh saya pergi ke hotel dan kamu yang bayar tarifnya ....”“Saya akui saya salah, Pak. Saya minta maaf, sungguh.”“Kata maaf kamu tidak akan bisa mengembalikan nama baik saya yang sudah kamu permalukan, jadi kita akan tetap ke hotel dan kamu yang bayar tarifnya seperti yang kamu sombongkan tadi.”“Tapi, Pak ....”“Tidak usah banyak alasan, atau kamu pilih dipecat saja? Banyak kok yang antre kerja di sini.”Nayara meremas jemarinya. Sebentar lagi dia jadi janda, tidak ada lagi yang akan memberinya nafkah per bulan. Kalau dia dipecat, dia mau makan apa ke depannya?“Jangan dipecat, Pak. Saya sudah lama kerja di sini sama atasan yang sebelumnya ....”“Memangnya saya peduli? Itu sama sekali bukan urusan saya,” tukas Elkan kejam.Nayara menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.“Baik, Pak. Nanti ... saya akan bayar tarif hotelnya, pilih hotel yang dekat-dekat sini saja, yang harganya juga terjangkau.”“Enak saja, mana level saya hotel murah begitu. Biar saya sendiri yang akan pilih hotelnya, kamu tinggal siapkan dompet kamu saja.”Nayara tidak memiliki daya sedikit pun untuk melawan, secepat itu situasi di antara mereka berbalik drastis seperti ini.Tadi saja dia bisa menginjak-injak nama baik Elkan tanpa ampun, tapi kini gantian Elkan yang menindasnya tanpa belas kasihan.“Ya sudah deh, Pak. Saya yang akan bayar hotelnya,” kata Nayara mengalah, dia memang tidak memiliki pilihan lain kan?“Bagus, memang sudah seharusnya seperti itu. Jangan hanya besar omong saja,” sahut Elkan enteng. “Bereskan peralatan kamu, balik sana ke tempat di mana seharusnya kamu berada.”Nayara menarik napas lega meskipun nada suara Elkan terdengar jelas sekali mengusirnya. Dia sudah tidak betah berada di ruangan yang sama dengan atasan baru itu lebih lama lagi, bisa-bisa meledak isi kepalanya.“Nay, apa kamu baik-baik saja?”Kalisa menyambut ketika Nayara kembali ke tempat mereka.“Apa aku kelihatan baik-baik saja, Lis?”“Eh ...?”Kalisa mengerutkan keningnya saat Nayara terduduk lesu di kursinya.“Kamu nggak dikasih surat peringatan kan?”“Enggak sih.”“Syukurlah, aku kira kamu disuruh pulang lebih cepat atau apa. Terus tadi Pak Elkan suruh kamu ngapain saja, kok lama banget baliknya?”Nayara mengeluh. “Aku banting setir jadi OB tadi, disuruh bersih-bersih ruangan ... Padahal aku lihat sudah bersih dan rapi semua, kayaknya Pak Elkan memang sengaja ngerjain aku deh, Lis.”“Kamu sih, kenapa nggak perhatikan saat Pak Elkan pidato?”“Aku kan nggak ngapa-ngapain, Lis! Aku tuh diam, nggak ribut, nggak tidur juga, aku cuma diam saja. Eh, malah dikerjain kayak begini.” Nayara menggerutu. “Untung saja aku lagi butuh duit, kalau enggak kan aku pilih berhenti dari kantor ini.”“Ya jangan dong, mungkin saja Pak Elkan memang begitu karakternya. Bukan berarti dia jahat sama kamu kan, Nay?”“Kok kamu malah bela Pak Elkan?”“Bukan begitu juga, aku cuma berpikir kalau karakter orang kan beda-beda. Mungkin saja Pak Elkan memang nggak suka kalau dicuekin, itu maksud aku.”Nayara menghela napas. “Apes banget sih hidup, punya atasan baru yang galaknya melebihi Pak Ryan, aku mau ikut Pak Ryan saja ....”Kalisa geleng-geleng kepala, baru kali ini dia melihat Nayara mengeluh dan meratapi kehidupan sampai separah itu.“Dengar-dengar Pak Ryan ambil cuti panjang untuk pengobatan, jadi mana bisa kamu ngikut! Sudahlah, mungkin saja kita cuma perlu membiasakan diri sama karakter Pak Elkan. Disiplin bukan berarti jahat kan?”Nayara tidak menjawab, entah akan seperti apa suasana kantor kelak di bawah kepemimpinan Elkan.Yang pasti bagi Nayara, itu adalah mimpi buruk sepanjang sejarah hidupnya.Ketika jam kerja sudah berakhir, Nayara terlihat ogah-ogahan pergi meninggalkan kantor.“Kamu kenapa sih, Nay? Biasanya paling semangat kalau jam pulang kantor kayak begini,” komentar Kalisa yang sudah selesai beres-beres meja.“Nggak apa-apa kok, kamu duluan saja.”“Yakin nih?”“Yakin lah ....”“Jangan gantung diri tapi.”“Sialan kamu Lis!”Hampir saja Nayara menimpuk kepala Kalisa menggunakan gunting yang ada di atas meja, beruntung Kalisa langsung kabur meninggalkan ruangan sambil tertawa-tawa.Dengan wajah lesu, Nayara menjadi pegawai terakhir yang meninggalkan ruang kerja. Dia memang sengaja tidak muncul jika bukan Elkan yang memanggilnya keluar.Syukur-syukur atasan barunya itu lupa dan langsung pergi meninggalkan kantor.“Betapa merdekanya diriku,” gumam Nayara sambil mempercepat langkahnya.“Siapa bilang kamu sudah merdeka dari saya?”Suara bariton di belakangnya membuat jantung Nayara serasa melompat dari tempatnya, dia berbalik dan melihat Elkan yang berwajah masam.“Eh, lho ... Bapak belum pulang?” Nayara meringis seraya melontarkan basa-basi kepada atasan barunya.“Kalau saya sudah pulang, saya tidak mungkin berdiri di hadapan kamu sekarang ini.”“Oh iya!”“Kamu biasanya pakai apa kalau pulang pergi ke kantor?”“Taksi, Pak.”“Bagus, kalau begitu kamu bisa numpang mobil saya.”“Ki—kita ... maksud saya, Bapak jadi pergi ke ho—hotel?”Elkan menyipitkan matanya setelah mendengar pertanyaan Nayara.“Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?”“Jangan nuduh, Pak!”Elkan tersenyum sinis. “Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?”Bersambung—"Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?""Jangan nuduh, Pak!"Elkan tersenyum sinis. "Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?"Nayara jelas tidak dapat berkutik lagi, diam-diam dia mengutuk mulutnya yang tidak pernah bisa direm setiap kali dalam keadaan emosi."Saya ... duduk di belakang saja ya, Pak?" kata Nayara ketika dia dan Elkan sampai di parkiran."Kamu pikir saya sopir?""Bukan begitu, tapi ....""Sudah jangan banyak alasan, cepat masuk."Nayara mati kutu, biarlah dia ikuti apa maunya atasan galak ini. Daripada dipecat, kehidupan justru akan lebih buruk setelah dia resmi menyandang gelar janda."Menurut kamu, hotel di sana bagus tidak?" tanya Elkan sembari menyebut salah satu hotel di kota besar."Jangan, Pak! Mahal, yang lain saja ....""Kalau hotel di dekat gedung olahraga?""Itu kelasnya para artis, Pak. Dompet saya bisa langsung kritis ini ...." Elkan berdecak sembari mengemudi."Hotel y
Nayara tidak menjawab, melainkan kembali mendatangi resepsionis tadi.“Mbak, katanya tidak bisa pesan kamar. Kok bisa saya bisa sih?” Petugas resepsionis itu menatap Nayara, kemudian ganti menatap Elkan.“Maaf Bu, tapi ....”“Pasti bos saya ini nyogok kan? Laporkan saja ke pemilik hotel ini, Mbak!”Petugas resepsionis itu menatap ke arah Elkan sebentar, lalu ekspresi wajahnya berubah.“Apa sih? Jangan nuduh sembarangan!” sentak Elkan.Namun, Nayara telanjur dikuasai emosi.“Mbak kalau kerja yang benar dong!”“Maaf, Ibu ....”“Tadi bilang sama saya katanya pesan kamar tidak bisa dadakan, tapi kenapa bos saya bisa dapat kamar kalau tidak nyogok?”“Bukan begitu, Bu ....”“Jangan begitu lah, Mbak. Saya ini juga pegawai, tapi saya mana mau dapat sogokan. Kasihan nanti pemilik hotel ini kalau dikasih uang panas, Mbak! Bisa sakit nanti, kan?”“Oke, terima kasih ya!” ucap Elkan sambil buru-buru mendorong Nayara untuk menjauh dari meja resepsionis.“Bapak apa-apaan sih, malu ya
“Siapa yang cari suami, Mas? Bukankah kamu yang bujuk aku supaya mau jadi istri kamu?” balas ibu dengan nada keberatan.Nayara melengos, dia memang sudah lama curiga kepada ayah tirinya itu. “Lho, apa bedanya? Toh aku sama kamu saling membutuhkan.”“Dulu aku kira begitu, sebelum akhirnya aku merasakan sendiri. Punya suami seperti nggak punya suami ....”“Istri sukanya nuntut ya kalau penghasilan suami sedikit? Harusnya bersyukur kek.”“Aku akan bersyukur kalau kamu setiap hari rajin banting tulang untuk menafkahi aku, Mas. Ini apa?”Tangan Nayara mengusap lembut lengan ibunya, dia memang tidak tahu menahu bagaimana kehidupan rumah tangga sang ibu bersama suaminya yang baru.“Sayang ....”Sementara itu di apartemen, Lika sedang melabuhkan kepalanya di pelukan Andika.“Sayang?” panggil Lika untuk kesekian kali karena Andika tidak kunjung merespons.“Apa sih, Yang? Aku ngantuk ini ....”“Dih, selalu saja begitu. Kamu serius nggak sih sama aku?”“Serius lah.”“Terus kapan ka
“Sudah, kamu tidak usah ngeles. Andika sudah cerita semuanya, coba kalau selingkuhan kamu itu bukan sepupu dia, kami pasti sudah melaporkan kamu atas tuduhan perzinahan.”Tenggorokan Nayara yang baru saja menelan makanan kini tercekat sepenuhnya karena mendengar tuduhan dari calon mantan ibu mertua.“Kenapa?” Ibu bertanya ketika Nayara menyerahkan ponsel itu ke tangannya.“Biasa, dikata-katain.”“Dikatain gimana?”“Katanya aku tukang selingkuh, ngancem mau melaporkan aku dengan tuduhan pasal perzinahan.”Mata ibu langsung melotot tajam. “Mertua kamu bilang begitu, Nay?”“Calon mantan mertua, Bu.”“Iya, calon. Dia serius bilang begitu sama kamu?”“Iya ....”“Kok kamu nggak lawan sih?” tuntut ibu seolah kecewa. “Lawan dong kalau memang kamu nggak salah, enak saja.”Nayara menghela napas.“Percuma Bu, Andika itu ternyata licik banget. Sudah dia fitnah aku selingkuh, dia juga ngomong yang enggak-enggak sama kakak sepupunya itu. Dia bilang kalau aku adalah istri yang nggak bisa
Kalisa melirik ke arah belakang kepala Nayara. “Nay, dicari tuh!” “Siapa? Pak Elkan?” “Ih, kok ngarep banget—bukan, si Andika!” “Ngapain dia ke sini?” Meskipun Kalisa memberi kode kepadanya berulang kali, tapi Nayara tidak mau repot-repot menoleh. “Nay, aku mau ngomong.” Andika sudah tiba di hadapan mereka. Kalisa melirik Nayara yang tidak mempedulikan keberadaan Andika. “Nay, jangan sombong. Sudah mau jadi janda juga ...” celetuk Andika semena-mena. “Aku nggak ganggu kan, Lis?” Kalisa menggeleng. “Aku sih enggak, tapi ....” “Kalau begitu kamu pindah meja dulu sebentar, aku mau bicara penting sama Naya.” “Ih, ya nggak bisa begitu dong.” “Sebentar saja, Lis.” Nayara menatap Andika dengan sorot mata permusuhan. “Enak saja suruh-suruh orang, sana kamu sendiri yang pergi.” “Aku datang baik-baik lho, Nay.” “Yang kayak begini kamu bilang baik-baik? Lagian kamu mau ngomong apa lagi sih, Ndik? Besok-besok juga kita ketemu di pengadilan kan?” “Justru itu ....” “Ya sudah, ngapai
“Argh! Sialan banget sih?”Lika terlonjak ketika mendengar suara raungan tertahan dari ruangan Andika.“Sudah sore, kamu nggak pulang?”Andika menoleh ke arah pintu dengan wajah kusut.“Ini mau pulang ....”“Kenapa tadi teriak-teriak?”Andika berdecak kesal. “Ini, si Naya. Dia nggak datang di sidang cerai kami.”“Bagus dong, kok kamu malah marah sih?”“Gimana aku nggak marah? Dengan dia nggak datang, maka orang-orang jadi berpikir kalau Naya juga menginginkan perceraian ini, Lika.”“Ya terus?”“Aku gengsi lah, mediasi juga percuma kalau dia nggak hadir. Padahal aku mau bikin dia mati kutu dengan bukti perselingkuhan itu,” kata Andika menggebu-gebu. “Aku juga berencana untuk mengucap ikrar talak di hadapan majelis hakim, biar Naya tahu rasa karena sudah main-main sama aku.”Lika memainkan ujung rambutnya sembari berpikir.“Justru ketidakhadiran Naya bisa kamu manfaatkan untuk merusak nama baiknya, lagian dia yang selingkuh kan? Jadi biarkan saja dia nggak datang, setahu aku
“Apa-apaan ini?”Nayara tiba di rumah dan langsung disambut oleh gerutuan ayah tirinya.“Apanya yang apa-apaan, Yah?”“Ini, surat dari pengadilan.”Nayara menerima amplop itu dan seketika wajahnya menjadi cerah.“Syukurlah, aku resmi jadi janda!”Ayah tiri Nayara membelalakkan matanya.“Anak edan, jadi janda kok bangga!”Nayara berhenti bersorak, kemudian menatap ayah tirinya dengan sorot mata permusuhan. Anak edan, katanya?“Ayah bilang apa tadi? Ayah ngatain aku?”“Itu kan sesuai sama tingkah laku kamu, perempuan mana coba yang senang saat dirinya jadi janda?”“Aku!” Ibu mendadak muncul dari belakang Naya. “Aku juga akan bahagia seandainya jadi janda jauh lebih baik daripada punya suami yang sudah nggak cinta lagi.”Nayara membusungkan dada ketika ibu nyata-nyata membelanya.“Ngomong apa sih kamu, jangan ngawur!” Ayah tiri Nayara terlihat tidak terima.“Kamu yang ngawur! Kamu ngatain anakku gila, itu sama saja artinya dengan kamu bilang ibunya juga gila. Aku nggak terima ya anakku d
“Apa hak kamu membanding-bandingkan saya sama Pak Ryan?”“Saya cuma kasih tahu saja, Pak. Ya sudah, keputusannya saya akan tetap cuti karena pak kepala sudah kasih izin.”“Kamu berani sekali membantah saya, ya ....”“Kalau Bapak sampai mempersulit ini, saya jamin pak kepala jadi tahu tingkah Bapak dan tidak mungkin pegawai lain juga akan tahu. Pikirkan jabatan Bapak yang baru seumur jagung di perusahaan ini, permisi.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Elkan, Nayara berbalik pergi meninggalkan ruangan.“Berani sekali sih dia?” Elkan geleng-geleng kepala.“Gimana, Nay? Dapat?”“Dapat nggak dapat,” sahut Nayara sembari tersenyum kepada Kalisa yang sedari tadi menunggunya.“Jadi nekat nih?”“Nekat lah, kan urusannya sama pak kepala. Nggak ada sangkut pautnya sama Pak Elkan.”“Ya sudah, yuk pulang? Aku butuh istirahat, kamu sih enak mau cuti ....”Nayara nyengir dengan wajah puas. Kerja keras dengan status sebagai janda tanpa anak, buat apa lagi uangnya kalau bukan untuk memb
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak