“Argh! Sialan banget sih?”Lika terlonjak ketika mendengar suara raungan tertahan dari ruangan Andika.“Sudah sore, kamu nggak pulang?”Andika menoleh ke arah pintu dengan wajah kusut.“Ini mau pulang ....”“Kenapa tadi teriak-teriak?”Andika berdecak kesal. “Ini, si Naya. Dia nggak datang di sidang cerai kami.”“Bagus dong, kok kamu malah marah sih?”“Gimana aku nggak marah? Dengan dia nggak datang, maka orang-orang jadi berpikir kalau Naya juga menginginkan perceraian ini, Lika.”“Ya terus?”“Aku gengsi lah, mediasi juga percuma kalau dia nggak hadir. Padahal aku mau bikin dia mati kutu dengan bukti perselingkuhan itu,” kata Andika menggebu-gebu. “Aku juga berencana untuk mengucap ikrar talak di hadapan majelis hakim, biar Naya tahu rasa karena sudah main-main sama aku.”Lika memainkan ujung rambutnya sembari berpikir.“Justru ketidakhadiran Naya bisa kamu manfaatkan untuk merusak nama baiknya, lagian dia yang selingkuh kan? Jadi biarkan saja dia nggak datang, setahu aku
“Apa-apaan ini?”Nayara tiba di rumah dan langsung disambut oleh gerutuan ayah tirinya.“Apanya yang apa-apaan, Yah?”“Ini, surat dari pengadilan.”Nayara menerima amplop itu dan seketika wajahnya menjadi cerah.“Syukurlah, aku resmi jadi janda!”Ayah tiri Nayara membelalakkan matanya.“Anak edan, jadi janda kok bangga!”Nayara berhenti bersorak, kemudian menatap ayah tirinya dengan sorot mata permusuhan. Anak edan, katanya?“Ayah bilang apa tadi? Ayah ngatain aku?”“Itu kan sesuai sama tingkah laku kamu, perempuan mana coba yang senang saat dirinya jadi janda?”“Aku!” Ibu mendadak muncul dari belakang Naya. “Aku juga akan bahagia seandainya jadi janda jauh lebih baik daripada punya suami yang sudah nggak cinta lagi.”Nayara membusungkan dada ketika ibu nyata-nyata membelanya.“Ngomong apa sih kamu, jangan ngawur!” Ayah tiri Nayara terlihat tidak terima.“Kamu yang ngawur! Kamu ngatain anakku gila, itu sama saja artinya dengan kamu bilang ibunya juga gila. Aku nggak terima ya anakku d
“Apa hak kamu membanding-bandingkan saya sama Pak Ryan?”“Saya cuma kasih tahu saja, Pak. Ya sudah, keputusannya saya akan tetap cuti karena pak kepala sudah kasih izin.”“Kamu berani sekali membantah saya, ya ....”“Kalau Bapak sampai mempersulit ini, saya jamin pak kepala jadi tahu tingkah Bapak dan tidak mungkin pegawai lain juga akan tahu. Pikirkan jabatan Bapak yang baru seumur jagung di perusahaan ini, permisi.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Elkan, Nayara berbalik pergi meninggalkan ruangan.“Berani sekali sih dia?” Elkan geleng-geleng kepala.“Gimana, Nay? Dapat?”“Dapat nggak dapat,” sahut Nayara sembari tersenyum kepada Kalisa yang sedari tadi menunggunya.“Jadi nekat nih?”“Nekat lah, kan urusannya sama pak kepala. Nggak ada sangkut pautnya sama Pak Elkan.”“Ya sudah, yuk pulang? Aku butuh istirahat, kamu sih enak mau cuti ....”Nayara nyengir dengan wajah puas. Kerja keras dengan status sebagai janda tanpa anak, buat apa lagi uangnya kalau bukan untuk memb
“Yang, bagi duit ya?” pinta Lika yang langsung mengambil ponsel milik Andika. Sebetulnya dia hanya modus karena ingin memeriksa aplikasi pesan instan kekasihnya itu, dan kebetulan dia melihat kontak Nayara muncul di pembaruan status.“Janda kamu banyak duit nih,” sinis Lika seraya menunjukkan status itu. “Jangan-jangan yang dia pakai adalah nafkah yang dulu kamu kasih.”Andika langsung menatap Lika dengan tidak mengerti.“Maksudnya gimana, Yang?”Lika berdecak dengan tidak sabar.“Kamu pasti rutin kasih nafkah sama Naya selama dia jadi istri kamu kan? Pasti uang itu yang dia pakai foya-foya seperti ini.”Mata Andika membulat ketika Lika menunjukkan pembaruan status milik Nayara.“Hotel Alteza? Naya menginap di sana?”“Lihat saja statusnya tuh, menyebalkan banget.”Lika mengulurkan ponsel itu ke tangan Andika yang langsung memeriksa status yang dimaksud.Benar saja, keterangan yang Nayara tulis seolah menampar Andika yang pernah berstatus sebagai suaminya sebelum bercerai.“Kok dia mam
Senyum itu, kemungkinan besar tidak akan bisa Elkan lupakan di masa yang akan datang.Nayara tidak mau ambil pusing dengan perjumpaannya bersama Elkan tadi, toh dia tidak melakukan pelanggaran kerja sama sekali.Hari ini adalah harinya untuk bersenang-senang, Nayara tidak akan mau diganggu oleh urusan pekerjaan sedikit pun.Di pinggir trotoar, kalau pagi-pagi begini sudah ramai orang yang membuka tenda jualannya. Meskipun harus berjalan cukup jauh, tapi Nayara tetap datang ke sana untuk memilih menu sarapan yang menggugah selera makannya.“Bubur ayam enak nih,” gumam Nayara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak sulit untuk menemukan penjual bubur ayam incarannya yang sudah dikerubungi banyak pembeli.Nayara mempercepat langkahnya dan menempati meja yang masih kosong.“Mbak, bubur ayam satu!” pinta Nayara kepada perempuan yang sedang lewat sembari membawa nampan kosong di tangannya.“Minumnya apa, Mbak?”“Lemon tea panas saja.”“Baik, silakan ditunggu.”Nayara
Sambil tersenyum kecut, Nayara berlalu pergi ke ruangan Elkan. Kira-kira perintah apa lagi yang akan dia berikan kepadanya?Kok aku agak deg-degan begini ya, batin Nayara.“Permisi, Pak?” Elkan mendongak ketika Nayara muncul dari balik pintu.“Ada apa Bapak memanggil saya?” “Tentu saja karena ada kerjaan untuk kamu, kalau tidak ada mana mungkin saya suruh kamu datang ke sini.”Nayara tidak menanggapi, dia berusaha tenang meskipun bibirnya gatal ingin menjawab.“Kenapa diam? Kalau ada orang bicara itu ditanggapi, bukan cuek seperti ini. Punya etika kan ....”“Kalau begitu apa pekerjaan saya hari ini, Pak?” tanya Nayara dengan kesabaran setipis tisu dibagi tiga.Elkan menyandarkan punggungnya yang tegak dan memandang Nayara lurus-lurus.“Jangan menyela kalau orang sedang bicara.”Nayara menarik napas. “Pak, tolong deh. Ini masih pagi, jangan bikin saya emosi.”“Bikin emosi kamu juga tidak membuat saya jadi kaya,” timpal Elkan tenang.“Pak El, cepat katakan untuk apa saya
“Aku nggak mau tahu, Nay. Aku minta kamu segera kembalikan uang itu, berapa pun jumlahnya.” “Uang apa sih, aku nggak ngerti!” “Alah, nggak usah pura-pura polos!” sentak Lika semena-mena. “Kalau kamu punya malu, seharusnya kamu kembalikan tuh uang bulanan yang sudah kamu tilep selama ini!” Nayara bengong, dia berani bersumpah bahwa dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang mereka ributkan. “Oh, jadi dia pelakor gitu?” “Kayaknya deh, soalnya yang dibahas dari tadi soal uang kan?” “Iya ya, pasti selama ini dia menguasai uang dari isper.” “Apaan isper? Gue tahunya casper ....” “Istri pertama, hih katro deh kamu!” Suara-suara sumbang mulai saling menyahut, membuat wajah Nayara terbakar oleh rasa malu. Untung saat itu sudah malam hari, tidak kebayang seandainya kejadian itu berlangsung saat siang hari .... “Tapi yang jadi isked juga nggak kalah cantik kok, natural gitu.” “Isked apalagi dah?” “Istri kedua, bambwang!” Nayara melirik ke arah Andika dan Lika yang terlihat puas
“Kalau kamu menuntut nafkah yang dulu kamu berikan supaya dikembalikan lagi, maka seharusnya kamu juga bisa mengembalikan mahkota Naya.”Andika mengepalkan tangan. Ingin sekali dia menjawab, “Heh, bego ya? Keperawanan yang sudah jebol, mana bisa bisa dibalikin lagi!”Enggan menyia-nyiakan kesempatan ini, Nayara balas merangkul pinggang pria itu.“Beb, bisa usir mereka dari kedai ini nggak?”Pria itu menatap Nayara dari balik maskernya.“Tentu saja, Sayang.”“Aku mau makan dengan tenang, tapi dari tadi mereka bikin selera makan aku jadi hilang.”Pria bermasker itu mengangguk, lalu menatap Andika dan Lika yang masih bersikap pongah.“Pak, tolong usir mereka berdua!” perintah pria itu tegas.“Heh, kami ini juga bayar ya?” protes Lika tidak terima.“Main usir saja, memangnya ini kedai punya bapakmu?” timpal Andika.“Aduh Mas, Mbak, tolong kasihani dagangan kami! Kami ini sedang cari rejeki, kalau mau ribut silakan pindah saja ....”“Mereka yang sejak awal bikin keributan kan?
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak