"Gimana?" tanya Mella, wanita paruh baya itu sedari tadi menunggui putrinya.Tania menggeleng, ia sendiri juga bingung. "Aku nggak tahu Raka bisa diharapakan atau nggak, Bu. Dia kayak santai saja tadi, bahkan nggak tanya gimana kondisiku. Raka malah menyalahkanku!"Tania berteriak tanpa takut karena alat penyadap yang ada di kamarnya sudah dibuang, ia yakin Darren tidak akan tahu kelakuannya.Mella tidak kalah gusar. Wajahnya merah padam dengan kedua tangan terkepal. "Semuanya hancur! Padahal tinggal beberapa bulan lagi, tapi malah gagal."Tania tidak menyahut, kakinya mondar-mandir di dalam kamar sambil memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang.Kalau hanya mengandalkan black card pemberian Darren, jelas kurang. Ia ingin foya-foya dan menikmati hidup, sementara kebutuhan anaknya nanti pasti banyak."Aku nggak mungkin minta Mas Darren, Bu. Nomorku saja diblokir, aku nggak bisa menghubunginya. Aku juga nggak bisa menuntut apa-apa, ini bukan anaknya dan aku nggak mendapatkan bagian har
Tania diambang kebuntuan, dia terus berpikir keras agar anaknya nanti dapat hidup dengan layak. Tania tidak akan membiarkan anaknya hidup menderita karena kekurangan harta. Tania menggigit bibirnya, tak kehabisan akal untuk terus berpikir sampai menemukan solusi. Ia berdecak kesal sembari meraup wajahnya dengan gusar. Tania buntu, meski ada beberapa ide, Tania tak yakin dengan idenya itu. "Kamu mikirin apa sih, Tania? Stress bisa mempengaruhi kandungan," kata Mella pada putrinya. Lamunan Tania buyar ketika Mella datang sambil mengguncang bahunya. Bagaimana Tania tidak stress jika keadaan sulit seperti ini. "Gimana aku gak stress, Bu, aku bener-bener pusing harus gimana sekarang," keluh Tania benar-benar kebingungan. Mella menghembuskan napas kasar, dia memijat pangkal hidungnya. Ia jadi ikut pening memikirkan putrinya. "Suruh saja si Raka tanggung jawab, enak banget pergi gitu saja setelah dapat enaknya. Jangan bego, dong, jadi wanita, Tania. Kamu harus tegas, lagian si Rak
Toni berdehem pelan, membuat dua orang di ruangan pun langsung menengok ke arah sumber suara. Di ambang pintu ada Toni yang tengah berdiri, entah kapan pria paruh baya itu masuk. Mungkin karena saking asiknya berdua, keduanya tak menyadari ada kehadiran Toni di sini. "Ayah? Eh ... sini masuk, sejak kapan Ayah datang?" tanya Nadia sedikit salah tingkah melihat senyuman di bibir ayahnya. Dia menunduk, mungkinkah Toni memperhatikan perbincangan keduanya tadi? Ah, sepertinya iya. Nadia bisa melihat dari senyuman Toni yang seakan tengah menggodanya. "Baru saja, kok. Kirain kamu sendirian. Ayah ganggu kalian nggak?" tanya Toni. Rupanya dia datang di waktu yang tidak pas. Andai saja dia tahu jika Nadia bersama Darren, mungkin dia tidak akan masuk ke dalam. Toni merasa jadi merusak momen kebersamaan mereka. "Nggak kok, kami senang Ayah datang. Nadia rewel, dia tidak mau makan. Giliran ku paksa baru nurut," sahut Darren mengadu pada ayahnya. Toni menoleh pada putrinya, untung ada
Setelah menginap di rumah sakit selama beberapa minggu, Tania diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah stabil. Kandungannya baik-baik saja setelah menjalani pengawasan ketat dari Dokter Raisa. "Kandungannya dijaga dengan baik, ya, Bu. Mulai sekarang setiap tiga minggu sekali Anda harus datang untuk kontrol, mengingat sempat ada masalah dan terancam keguguran," kata Dokter paruh baya itu. Tania memutar bola matanya malas, kemudian menyahut acuh, "kandunganku seperti ini juga karena Anda, Dok. Kalau saja Anda tidak menuruti ucapan suamiku waktu itu, maka kandunganku tidak akan komplikasi."Wanita itu menyambar resep obat dan vitamin, lantas bangkit dari duduk. "Tidak usah sok perhatian dengan saya, Dok. Kalau bukan ibu saya yang mau bawa ke sini, saya juga tidak mau bertemu dengan dokter. Setelah ini saya akan pindah dokter, saya tidak sudi diperiksa oleh dokter penipu seperti Anda!"Tania melenggang pergi keluar dari ruangan, menyisakan Dokter Raisa yang hanya mampu menatap nanar
Tania baru pulang dari mengambil obat pelemah saraf otak, wanita itu langsung memberikannya kepada Mella."Kata temenku paling bagus kasih di malam hari, Bu. Tapi kalau mau kasih di pagi juga, nggak papa. Mungkin ... lebih banyak lebih baik," kata Tania.Mella memperhatikan sebotol kaca kecil berisi beberapa kapsul obat, bibirnya tersenyum senang membayangkan rencana balas dendam."Tapi nggak bikin mati 'kan? Ibu takut kalau ayahmu overdosis, terus mati. Kita bisa gagal, dong, Tan." Mella mengerutkan kening, menatap bingung ke arah putrinya."Oh, iya, ya ... nanti malah bikin jantung berdebar-debar. Ya sudahlah, Bu. Dikasihin setiap malam saja," kata Tania."Iya, lebih baik begitu. Pokoknya kita harus membuat ayahmu mengubah sendiri surat wasiatnya. Ibu 'kan nggak bisa ubah ke kuasa hukum, kita masih membutuhkan ayahmu."Tania menarik tangan ibunya untuk duduk di sofa, kemudian berbisik lirih, "Ibu tenang saja. Semuanya akan berjalan baik sesuai keinginan kita."Mella mengangguk setuj
[Pak Toni dibawa ke rumah sakit oleh Bu Mella, Pak. Saat ini saya sedang ada di lorong rumah sakit, mengawasi mereka dari jauh. Bu Mella membawa Pak Toni ke dokter umum, sepetinya Pak Toni lagi nggak sehat.]Darren mengerutkan kening membaca pesan dari orang suruhannya, dia merasa aneh dengan ayah mertuanya yang tiba-tiba sakit."Stamina Ayah sangat bagus, beliau jarang sakit meskipun sering lembur. Apa jangan-jangan ada salah makan, ya?" gumam Darren.Pria itu segera membalas pesan dan mengatakan untuk terus mengawasi Toni, sementara dirinya di sini harus fokus kepada Nadia."Kasihan Nadia kalau tahu ayahnya sakit, pasti dia bakal kepikiran." Darren berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, memikirkan alasan yang tepat saat Nadia bertanya tentang sang ayah.Hari ini ada jadwal meeting penting dengan Pak Anton, pria paruh baya itu jauh-jauh datang dari luar kota untuk menemuinya. Mustahil Darren membatalkan begitu saja. Darren berpamitan kepada Ara, dia berpesan kepada kekasih sahaba
Tania pulang membawa kekesalan yang membuncah di dalam dadanya, wanita itu berteriak saat baru masuk rumah dan membuat ibunya panik."Ada apa, sih, Tan?! Ayahmu lagi tidur, bisa gawat kalau sampai bangun gara-gara mendengar suaramu.""Ibu sekarang lebih perhatian ke ayah dari pada aku?" tanya Tania, netranya membelalak tidak percaya."Kamu mikir apa, sih? Kita 'kan memang berencana membuat ayahmu sakit. Jadi kamu tahan dulu kalau marah-marah, nanti ayahmu kaget dan malah jantungan," kata Mella.Wanita hamil itu mendengus kesal. "Aku lagi kesel, Bu!" ketusnya seraya mendudukkan diri di sofa ruang tamu."Kenapa?"Mella ikut duduk di samping putrinya, menatap lekat wajah yang sangat mirip dengannya itu dan mendengarkan cerita Tania dengan saksama."Terus sekarang gimana? Nggak mungkin kalau dilahirkan paksa," sahut Mella setelah Tania selesai mengeluarkan semua uneg-unegnya."Ya nggak mungkin, Bu. Aku bisa mati kalau begitu caranya. Kalau aku mati, aku juga yang rugi. Raka masih bisa car
"Siapa, sih, telepon-telepon terus?!" ketus Tania.Wanita itu sedang maskeran, tetapi gendang telinganya merasa terganggu dengan ponsel yang terus berdering."Loh, Raka? Mau ngapain dia?" gumamnya saat baru saja mengambil ponsel.Tania menggeser icon hijau lantas menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya. "Halo, Rak?""Tan, kamu sudah lihat akun palsu yang mengatasnamakan aku di media sosial? Akun itu juga memakai fotoku untuk foto profil, dan aku lihat dia mengikutimu," jelas Raka yang sontak membuat Tania terperanjat kaget.Dia belum sempat membuka media sosial karena fokus maskeran sejak tadi. "Aku belum lihat apa-apa, Rak. Sebentar!" Tania membuka semua akun media sosialnya, saat itu juga kedua matanya melotot hampir keluar lantaran mendapati foto Raka bersama wanita lain. "Wanita ini siapa? Dia wanita berbeda dari yang kulihat saat melakukan video call bersama Raka dulu," gumamnya.Tania menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar, kemudian berkata, "oh ... kamu mau
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka