"Itu…"Zidan tersenyum kecut pada Alesya, mengingat bagaimana detik-detik mendebarkan yang baru saja ia alami. "Aku berhasil mengambil tiga biji anggur untukmu, Alesya," katanya pelan, menunjuk pada anggur di telapak tangan.Alesya kembali menatap intens tiga objek di tangannya, terkejut namun bersyukur. "Terima kasih banyak, Zidan. Aku tahu itu berbahaya. Kamu benar-benar berani melakukannya demi aku."Zidan mengangguk, wajahnya memerah karena malu dan bangga. "Ah, tidak apa-apa. Tapi tadi Bella, mengapa dia terlihat sangat marah saat melihat kita? Aku sungguh tak menyangka jika dia akan semarah itu."Alesya menarik nafas panjang, merasa cemas. "Jangan khawatir tentang Bella, Zidan. Semuanya akan jelas terungkap, jadi kamu tak usah takut padanya, Oke."Zidan terkekeh, "kamu ini bisa saja, Ale. Kenapa juga aku harus takut pada kakak tak tahu diri itu."Keduanya tadi sempat menyimpan rasa was was dan takut akan kemarahan Bella."Sekarang, makanlah! Bukankah kamu begitu menginginkannya.
Satu jam sebelumnya.Mona berjalan menuju kediaman Roderick dengan niat untuk bertemu Bella. Namun, di tengah perjalanan, dia terkejut melihat Alesya dan Zidan duduk berdua di pantai. Pasangan itu tampak begitu akrab, dimana Zidan menyuapi sesuatu pada Alesya. Mona merasa perlu untuk merekam kejadian tersebut dan mengirimkannya kepada Liam. Mona mengeluarkan ponselnya dengan hati- hati, dan mulai merekam adegan yang terlihat di depan matanya. Alesya dan Zidan tertawa bersama, berbicara dengan lembut satu sama lain, dan sesekali Zidan mengusap rambut Alesya yang diterpa angin pantai. Mona merasa marah dan kecewa menyaksikan kejadian itu, tapi dia yakin Liam perlu mengetahui apa yang terjadi.Setelah yakin cukup bukti yang direkamnya, Mona mengakhiri video dan segera mengirimkannya ke nomor Liam. "Liam, kamu harus melihat ini," tulis Mona di pesan singkatnya. Dia menunggu beberapa saat, merasa jantungnya berdegup kencang menunggu respon dari Liam.Mona merasa iba kepada Liam, namun dia
"Dijemput wanita lain yang lebih sexy dan memahami Anda? Siapa dia bos?" tanya Edo penasaran."Dia adalah Alesya. Aku ingin dia datang dan menjelaskan semuanya kepadaku? Tentang kepergiannya? Anak siapa yang dikandungnya? Apakah dia benar telah menikah dengan lelaki lain? Bukankah dia mencintaiku? Lalu, apakah dia telah melupakanku? Tak lagi mencintaiku?" cerca Liam pada Edo, mengutarakan semua pertanyaan yang mengganjal selama ini.Hampir satu jam, Edo menunggu Liam hingga bosnya itu pingsan. Dengan sedikit kewalahan, Edo membawa Liam pulang ke kediaman Roderick. Sesampai di rumah, Edo terpaksa menidurkan Liam di sofa bukannya ke kamar. Namun Liam malah berpindah tempat.Edo melihat Liam yang terkapar lemah di lantai dengan wajah pucat pasi, tangannya mencengkram bantal dengan erat sambil mengigau tak jelas. Matanya yang terpejam rapat seolah mencari sosok yang sudah lama hilang dari hidupnya, Alesya, istri yang pergi meninggalkannya beberapa bulan lalu. "Ale, pulanglah Ale."Liam t
"Apa yang kamu lakukan, Ale?" tanya Zidan membuat Alesya terjingkat dari duduknya."Emh itu… tidak, tidak ada apa apa," bohong Alesya sambil menyembunyikan ponselnya.Zidan tersenyum simpul, meletakkan segelas susu dan menghampirinya, "jangan sembunyikan apapun jika kamu ingin aku membantumu." Dielus pelan rambut Alesya, seketika membuat jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. "Minumlah susu untuk ibu hamil ini.""Ini..."Alesya menggantungkan kalimatnya antara bingung dan terharu."Tenang saja Ale, susu itu baik untuk kandunganmu. Aku sudah berkonsultasi dengan Dokter yang menangani kehamilanmu. Dia bilang, "Tuan Zidan, anda harus menjaga betul kondisi istri anda. Sang bayi harus sehat dengan berat badan terpenuhi agar bisa menekan miom sehingga miom tidak dapat berkembang lagi. Aku menyarankan untuk minum susu dan akan memberikan resepnya kepada anda."Zidan sungguh persis menirukan ucapan Dokter Sarah membuat Alesya tersenyum malu. Segera minum susu hingga tandas. Hal itu membua
"Dari aku."Bella mengaku jika dirinyalah yang memberi kotak bekal itu. Liam memandangnya sekilas, "terima kasih."Bella tersenyum lebar, merasa jika suaminya sangat pengertian, berbeda dengan Liam akhir akhir ini. Tak lama, Liam kembali keluar ruangan membuat Bella mengerucutkan bibirnya. "Liam Kenapa kamu tidak memakan sup anti pengarnya terlebih dahulu? aku sudah susah payah membuatnya untukmu tapi-""Aku akan memakan supnya setelah rapat," jawab Liam dingin, pergi meninggalkan Bella sendirian bersama Lia, sekretaris Liam.Bella berdecak dan mendekati Lia, "awas saja Lia! Jika kamu mengadu kepada Liam, akan aku pastikan kamu keluar dari perusahaan ini." Dirinya beranjak pergi meninggalkan kantor, sedangkan Lia hanya bisa mengangguk pasrah!Liam sendiri mempunyai rapat dan selesai siang ini. Selama meeting, semua berjalan dengan baik dan semua itu tak luput dari peranan Edo, sang asisten kepercayaan. Liam kembali ke ruang kerja, duduk di kursi, beristirahat sebentar setelah bekerj
"Edo haruskah aku menemui Alesya?" tanya Liam bingung.Edo tersenyum simpul dan menjawab, "silahkan tanyakan kepada hati kecil anda karena dia tak akan pernah berbohong."Liam mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan menyendiri dan memantapkan hati untuk menemuinya.""Menemui siapa?""Ah tidak ada Nyonya, kami sedang membicarakan perihal menemui klien nanti. Benarkan boss!" jawab Edo dengan tenang."Oh begitu. Baiklah," jawab Bella sekenanya dan duduk di sofa, merebahkan tubuh moleknya. Sebenarnya Bella mendengar semuanya. Setelah satu jam lamanya, Bella memutuskan untuk pulang. "Aku pulang ya Liam," ucap Bella sambil mencium bibir Liam saat lelaki itu masih sibuk dengan file filenya.Tiba tiba pintu ruang kerja Liam terbuka lebar, tampaklah sosok klien Liam, Bapak Hendra, yang dengan langkah mantap memasuki ruangan tersebut. Bella dan Liam seketika berdiri memberi salam. Setelahnya, Bella meninggalkan ruangan menyisakan dua orang di ruangan tersebut.Senyum lebar terukir di wajah Hendra
"Alesya?" panggil Liam pada wanita yang dipegang tangannya saat ini. Dari belakang, wanita itu mirip sekali dengan Alesya, istrinya yang telah lama meninggalkannya. Hati Liam berdebar kencang, tak menyangka akan bertemu sosok yang begitu mirip dengan Alesya di tempat ini. "Alesya, apa kau..?" Ucapnya dengan suara gemetar. Mendengar ucapan Liam, wanita itu menoleh, ternyata bukan Alesya. "Aku bukan Alesya."Wajah Liam langsung berubah pucat, "Maaf, aku salah orang," ucapnya dengan terbata.Wanita itu tampak kesal, namun dia hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan aktivitasnya, berlari meninggalkan Liam dan Bella. Liam masih berdiri di sana, menyesali tindakannya yang terburu-buru. Sementara itu, dari kejauhan, Bella menyaksikan kejadian itu dengan raut wajah marah.Bagaimana mungkin, pikir Bella, Liam bisa bersamanya namun masih terus memikirkan Alesya dan bahkan mengira wanita lain sebagai Alesya. Bella merasa jengkel dan cemburu, namun dia berusaha menahan amarahnya.Sesaat ke
"Apa yang kalian lakukan?" teriak Edo, berdiri di pintu masuk kedai, matanya terbelalak saat melihat sosok Alesya dan Zidan yang begitu dekat satu sama lain. Adrenaline Edo berpacu ketika ia menyaksikan Zidan mendekatkan wajahnya ke Alesya, hingga bibir mereka hampir bersentuhan.Alesya kaget, seketika menjauhkan diri dari Zidan, terlihat ragu dan gugup. Matanya berkilat dan pipinya memerah. Zidan memandang Edo dengan wajah tak suka. "Siapa dia, Ale?"Edo tahu betul bahwa Liam sangat mencintai Alesya, begitu juga sebaliknya dan ia merasa perlu melindungi kepercayaan majikannya. Dengan langkah cepat dan berani, Edo menghentakkan pintu dan masuk ke ruangan tersebut. "Nyonya Alesya, Pak Liam memerintahkan saya untuk mengantarkan dokumen ini," ujar Edo dengan suara keras dan tegas, sambil menyodorkan sehelai kertas pada Alesya."Dokumen?"Raut wajah Alesya terlihat bingung, sementara Zidan tampak kesal dengan kedatangan Edo yang tiba-tiba. "Terima kasih, Edo," sahut Alesya dengan suara ge
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d