"Anak?"Liam berbalik, menatap curiga pada Bella. Wanita yang berstatus istrinya ini tiba tiba saja membahas seorang anak, sama seperti berita Alesya yang tengah mengandung. "Kenapa kamu baru terpikirkan untuk memiliki anak, sekarang?"Liam sungguh tak mengerti. Ingatannya kembali pada empat tahun yang lalu. Dulu, Liam begitu menginginkan anak dari Bella tapi dia menolaknya dengan alasan jika dia masih ingin bersenang senang. Jika mempunyai anak, kehidupan nya tak akan lagi bebas."Itu… karena aku pikir sudah saatnya aku menjadi dewasa dengan memiliki anak. Ya, menjadi ibu yang baik.""Lupakan!"Liam bergegas pergi ke kamarnya."Liam!?"Bella berteriak memanggil suaminya namun tak ada tanggapan dari Liam. Bella sungguh kesal, menghentakkan kaki dan berkacak pinggang. "Awas saja kamu, Liam!"Bella segera masuk kamar, memikirkan rencana yang bisa digunakan untuk menjerat Liam. Dirinya menyadari jika Liam sudah berubah. Liamnya yang dulu sudah pasti akan mengungkung habis habisan disaat
"Bagaimana kehidupanku, menurutmu? Apa aku terlihat menyedihkan?" tanya Liam sekali lagi."Apa Anda bicara seperti itu, Tuan?""Karena… kamu tentu tahu kehidupan rumah tanggaku. Istri pertamaku kembali namun aku tak ada rasa berdebar lagi terhadapnya sedangkan istri keduaku pergi membawa rahasia besar yang aku tidak tahu kebenarannya. Namun, hari ini aku sudah tahu semua faktanya. Alesya dengan jelas membohongiku," jelas Liam membuat Edo turut sedih, memikirkan masalah bosnya yang begitu rumit."Tuan, bagaimana jika kita kembali menguntit kehidupan Nyonya Alesya disana?"Liam menggeleng pelan, "tidak perlu. Aku sudah tak memperdulikan dia.""Tapi Tuan, berita terbaru dari anak buah kita yang ada di sana, mereka semakin dekat layaknya sepasang kekasih?!""Biarkan saja."Liam mengambil coffe yang hampir dingin, meminumnya sekali teguk. "Ayo kita berangkat ke lokasi." Mereka pun berangkat bersama.Butuh waktu hampir dua jam, Liam tiba di lokasi pembukaan kantor cabang baru. Ia ingin sege
Nama id pemanggil di ponsel Liam adalah Alesya. Ya, dia mencoba menghubungi Liam karena Edo mengirim pesan jika Liam dalam bahaya. Alesya tak dapat berfikir secara jernih mengingat betapa dia mencintai Liam, dia takut sekali."Mengapa Liam tak bisa dihubungi?" guman Alesya."Ada apa Alesya?" tanya Zidan mendekat. Dia tadi melihat Alesya sudah tertidur pulas namun mengapa dia bangun saat ini?Alesya tak menanggapi, sibuk dengan gawainya. Terus berdoa untuk keselamatan Liam, bahkan air mata sudah jatuh membasahi pipi dari tadi. Hal itu sukses membuat Zidan cemburu. Mendekati Alesya dan memegang pundaknya. "Ale, dengarkan aku dulu.""Tidak, Zidan. Liam dalam bahaya, dia tak angkat panggilanku. Bahkan sekarang sudah tak terhubung panggilannya. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?""Dengar Ale, Liam tidak pernah peduli padamu. Jadi kamu juga jangan peduli padanya. Jangan pikirkan Liam lagi. Fokuslah pada janin yang kamu kandung saja. Mengingat Liam semakin membuatmu sakit, mengerti!"
"Mungkinkah?"Liam segera mengecek Cctv sebelum dia pulang namun tak ada rekaman disana, seperti ada pemotongan di bagian itu. "Pasti Bella yang melakukan ini," nilai Liam tak suka. Istrinya itu bisa saja melakukan hal gila untuk mendapatkan sesuatu.Dalam kebingungannya, Liam mengambil ponselnya dan menghubungi Edo, berharap mendapatkan jawaban mengenai apa yang terjadi semalam."Edo, aku baru saja terbangun dan ada sesuatu yang aneh. Aku benar-benar tak ingat apa yang terjadi semalam setelah kita pulang dari perusahaan. Apakah aku minum sesuatu yang mencurigakan?" tanya Liam dengan nada khawatir.Edo terdiam sejenak sebelum menjawab, "kita hanya minum kopi bos. Tunggu… saat mengantarmu pulang tadi malam, kita memang sempat berpapasan dengan seorang pengantar minuman. Aku ingat ada tulisan 'plus serbuk menggugah selera' di paket yang dipegangnya. Aku sempat curiga, tapi tak menyangka hal ini akan terjadi."Mendengar penjelasan Edo, Liam semakin yakin jika semua ini ulah Bella. Ia tel
Matahari mulai terbenam ketika Edo datang ke rumah Liam dan menemukannya sedang duduk santai di teras. Liam tampak terkejut melihat Edo tiba-tiba muncul di hadapannya. "Ada berita apa, Edo?""Ada berita terbaru, boss. Ini tentang Nyonya Alesya," ujar Edo sambil memasang muka serius. "Dia pergi ke klinik tadi pagi ditemani Zidan. Mungkin berita jika Nyonya Alesya hamil itu benar, Tuan."Mendengar kabar itu, wajah Liam langsung berubah. Sepertinya dia tidak suka mendengar berita tersebut, bahkan terlihat tangan Liam mengepal erat. Edo, yang menyadari perubahan ekspresi wajah Liam tak bisa menahan diri.Edo sedikit menggoda, "Wah, sepertinya Anda cemburu ya, Tuan? Apa karena Alesya pergi bersama Zidan?"Liam berusaha menampik perasaannya, "Aku tidak cemburu! Aku hanya khawatir dengan kondisi Ayah Marco. Dia kenapa sampai saat ini belum sadar juga?"Edo tersenyum lebar, membenarkan jika Liam benar benar cemburu. "Saya membahas Nyonya Alesya tapi Anda malah membahas Ayahnya, kentara sekali
Liam membelalakkan mata saat menonton video yang ditunjukkan Bella tentang kedekatan Alesya dan Zidan. Namun detik berikutnya bersikap biasa saja dihadapan Bella."Pada video itu, Alesya terlihat tak tahu malu. Dia pergi darimu untuk menggaet lelaki lain," pancing Bella."Lalu?!""Lalu, katamu?" Bella heran dan tak habis pikir dengan suaminya itu. "Mereka berselingkuh, Liam. Kenapa kamu tak marah? Lalu, saat aku…"Liam menatap Bella tajam membuat wanita itu tak ingin meneruskan kalimatnya. Padahal menurut Bella, Alesya patut dihukum atas sikapnya ini.Dalam hati Liam, dia merasa ada yang aneh. Seolah- olah rasa cemburu mulai menyelinap, ada juga rasa sakit, sama seperti saat Bella berselingkuh dengan lelaki lain, namun dia berusaha keras menepis perasaan itu dan bersikap seolah- olah tak ada yang terjadi. Mata Liam terus memperhatikan layar ponsel Bella yang menampilkan Alesya dan Zidan sedang tertawa bersama, terlihat begitu bahagia. Alesya tak pernah sebahagia itu selama dengannya.
Liam berlari tergesa-gesa menuju kamar Marco saat mendengar kabar ayah mertuanya tersebut siuman dari koma. Sesampainya di kamar, Liam menemukan Marco telah duduk di tempat tidur, "Ayah Marco!""Liam, kamu disini.""Ayah, syukurlah!" Marco memeluk sang mertua dan disambut hangat oleh Marco. Tak lama, dilepas pelukan dan mata sedang mencari-cari seseorang."Ada apa, Ayah?" tanya Liam bingung."Dimana Alesya?" tanya Marco dengan nada cemas, mencari keberadaan anak keduanya itu.Sesaat Liam bingung untuk menjawabnya. "Alesya telah pergi," jawab Liam dengan gugup.Mendengar jawaban itu, Marco langsung memarahi Liam dengan keras, "Bagaimana bisa kamu melepaskan Alesya begitu saja? Dia adalah satu satunya wanita yang sangat mencintaimu!"Liam terdiam, merasa tertohok dengan kata-kata Marco. Wajahnya tampak pucat dan menundukkan pandangannya. Dia sadar betul telah kehilangan sosok Alesya yang berharga dalam hidupnya, tapi rasa harga diri yang tinggi juga mempengaruhi Liam untuk menahan diri,
"Miom akan membesar dan mendorong janin, sehingga janin tidak dapat menempel pada dinding rahim. Kondisi ini terjadi pada trimester pertama. Akibatnya, risiko terjadinya keguguran semakin besar. Jika miom berkembang semakin membesar, miom dapat mendesak janin sampai plasenta yang tumbuh di bawah rahim. Kondisi ini dapat mengakibatkan pendarahan saat persalinan.Bila miom tumbuh menghalangi saluran janin, pertumbuhan janin akan terganggu karena kekurangan makanan dan oksigen. Kondisi ini dapat berujung pada kematian janin," jelas Dokter."Ya Tuhan!"Alesya tak menyangka jika efeknya akan separah ini. Tak bisa menahan lagi, air mata berhasil mengucur deras dari sudut matanya."Alesya tenanglah. Kita pasti bisa melalui semua ini. Pasti kita bisa menyembuhkan janinmu sehingga Miom lah yang akan sirna," jelas Zidan memberi kekuatan.Alesya hanya bisa mengangguk pasrah, berdoa yang terbaik untuk dirinya dan janin yang dikandung. Mereka memutuskan untuk pulang setelah Dokter meresepkan beb
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d