Liam berlari tergesa-gesa menuju kamar Marco saat mendengar kabar ayah mertuanya tersebut siuman dari koma. Sesampainya di kamar, Liam menemukan Marco telah duduk di tempat tidur, "Ayah Marco!""Liam, kamu disini.""Ayah, syukurlah!" Marco memeluk sang mertua dan disambut hangat oleh Marco. Tak lama, dilepas pelukan dan mata sedang mencari-cari seseorang."Ada apa, Ayah?" tanya Liam bingung."Dimana Alesya?" tanya Marco dengan nada cemas, mencari keberadaan anak keduanya itu.Sesaat Liam bingung untuk menjawabnya. "Alesya telah pergi," jawab Liam dengan gugup.Mendengar jawaban itu, Marco langsung memarahi Liam dengan keras, "Bagaimana bisa kamu melepaskan Alesya begitu saja? Dia adalah satu satunya wanita yang sangat mencintaimu!"Liam terdiam, merasa tertohok dengan kata-kata Marco. Wajahnya tampak pucat dan menundukkan pandangannya. Dia sadar betul telah kehilangan sosok Alesya yang berharga dalam hidupnya, tapi rasa harga diri yang tinggi juga mempengaruhi Liam untuk menahan diri,
"Miom akan membesar dan mendorong janin, sehingga janin tidak dapat menempel pada dinding rahim. Kondisi ini terjadi pada trimester pertama. Akibatnya, risiko terjadinya keguguran semakin besar. Jika miom berkembang semakin membesar, miom dapat mendesak janin sampai plasenta yang tumbuh di bawah rahim. Kondisi ini dapat mengakibatkan pendarahan saat persalinan.Bila miom tumbuh menghalangi saluran janin, pertumbuhan janin akan terganggu karena kekurangan makanan dan oksigen. Kondisi ini dapat berujung pada kematian janin," jelas Dokter."Ya Tuhan!"Alesya tak menyangka jika efeknya akan separah ini. Tak bisa menahan lagi, air mata berhasil mengucur deras dari sudut matanya."Alesya tenanglah. Kita pasti bisa melalui semua ini. Pasti kita bisa menyembuhkan janinmu sehingga Miom lah yang akan sirna," jelas Zidan memberi kekuatan.Alesya hanya bisa mengangguk pasrah, berdoa yang terbaik untuk dirinya dan janin yang dikandung. Mereka memutuskan untuk pulang setelah Dokter meresepkan beb
"Apa?"Mona syok mendengar jawaban lugas dari lelaki tampan di depannya. Tatapan beralih pada Alesya dan kembali berkata, "Ale, bagaimana bisa, kamu lakukan hal ini? Bukankah kamu sangat men–""Sudah cukup, Mona. Kamu sudah mengerti semuanya jadi cukup lihat saja kehidupanku. Jangan coba coba mencampuri urusan pribadiku," cerca Alesya membuat Mona bergidik ngeri. Tak biasanya Alesya bersikap seperti itu. Alesya yang dikenal dulu sangatlah lemah lembut dalam bertutur kata. Ditatap penuh kecurigaan lelaki yang kini menggandeng tangan Alesya. "Ayo kita pulang, Ale."Alesya mengangguk, memandang Mona sekilas dan berlalu pergi. Hatinya tak nyaman karena telah membentak sahabatnya itu. "Ale, tunggu! Dengarkan aku dulu. Ale?!"Alesya sama sekali tak menggubris panggilan Mona membuat wanita seksi itu menggerutu sebal. "Apa yang sebenarnya terjadi? Aku akan mencari tahu semua ini!"Mona memutuskan pergi menuju ruang Obgyn. Ya, kakaknya adalah seorang Dokter kandungan. Hanya butuh beberapa m
Bella menarik nafas dalam-dalam dan berkata pada Liam, "aku hamil.""Apa?!"Dengan gugup, Bella mengulurkan sebuah alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis merah kepada suaminya. "Ya Liam, aku hamil," ucap Bella pelan, hatinya berdebar kencang menunggu reaksi suaminya.Liam menoleh, melihat benda yang diberikan Bella. Matanya melotot tak percaya, lalu kembali menatap wajah Bella yang tampak cemas."Bagaimana bisa?" tanya Liam, masih dengan nada tak percaya.Bella mengangguk pelan, menahan air mata kebahagiaan yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ketika Bella memberitahu Liam tentang kehamilannya, ekspresi wajah Liam tidak menunjukkan kebahagiaan. Sebaliknya, seolah ada beban yang memikul hatinya. Hal itu kentara dengan ekspresi Marco. Dia juga tak menyangka Bella hamil. Anaknya itu selalu berfikir untuk kemolekan tubuhnya sehingga tak mau hamil bahkan mempunyai anak. Bagi Bella, mempunyai anak sangat merepotkan, dia tak punya waktu untuk bersenang senang dan dirinya akan ter
Zidan dan Alesya tiba di gereja dengan penuh semangat untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu pegawai mereka. Mereka berjalan beriringan sambil menggenggam tangan satu sama lain, menunjukkan betapa erat hubungan mereka. Sebelum pesta dimulai, mereka memutuskan untuk berdoa bersama, berlutut di depan altar dan merasakan kedamaian yang melingkupi gereja itu."Selamat atas pernikahan kalian," ucap Zidan pada Arkan, anak buahnya."Terima kasih boss. Aku harap Anda segera menyusul."Zidan mengangguk tak nyaman karena Alesya ada disampingnya, mendengar pembicaraan mereka. "Tentu. Nanti, disaat wanita yang kucintai sudah memahami pengorbananku sejauh ini sehingga dia akan memutuskan untuk bersamaku.""Oh, so sweet," puji mempelai wanita membuat Alesya semakin memerah, terasa jika orang disekitarnya memang memojokkan dirinya agar segera menerima Zidan sebagai suami."Sudahlah. Ayo kita mulai bersenang senang di pesta!" ucap Zidan."Lets go!"Pesta pernikahan berlangsung dengan meriah, pe
"Apa ini?!" tanya Liam sambil membuka tumpukan kertas dan amplop coklat.Mata tajam itu mulai membaca dengan seksama tulisan yang ada pada lembaran di tangannya. "Miom!" gumam Liam yang masih terdengar Mona."Benar, Alesya divonis mengidap Miom, penyakit yang bisa mempengaruhi janin di kandungannya," jelas Mona sambil melirik Liam. Mencoba mencari rasa khawatir di mata mantan suami Alesya itu namun sama sekali tak ada. Mengenai Alesya, dia bukan mantan Liam karena mereka belum bercerai.Liam menatap hasil pemeriksaan Alesya dengan wajah datar, berusaha menutupi kecemasan yang menggebu di dalam dadanya. Mona yang melihat Liam pun menggeleng pelan, mengawasi Liam dengan tatapan curiga."Kau tak perlu khawatir, Liam," ujar Mona lemah, mencoba memberi semangat kepada suami sahabatnya itu. Ucapan Mona terdengar seperti sindiran yang justru membuat Liam merasa semakin terpengaruh dan rapuh. Banyak sekali pertanyaan di benaknya yang belum juga terjawab. Dan sampai saat ini semua tanda tanya
Zidan dan Alesya mulai berpetualang dengan sepeda motor antik milik Zidan, melaju menuju perkebunan anggur yang terletak di sudut kota Amerika. Alesya masih ragu, namun rasa ingin memakan anggur begitu mendesak dirinya untuk ikut, terlebih tawaran Zidan untuk menemani perjalanan ini juga tak mampu ditolaknya."Kamu harus berpegangan erat, ya. Jalannya tidak mulus," ujar Zidan sambil menyalakan mesin motor yang mengeluarkan suara berdengung khas."Em, baik." Alesya pun mengangguk dan mulai melingkarkan tangannya di pinggang Zidan, berusaha menahan ketakutannya. Zidan tersenyum puas dan mulai melajukan motor.Sepanjang perjalanan, mereka melintasi jalan- jalan yang berliku dan bergelombang, membuat Alesya semakin erat memeluk Zidan, tampak ragu dan tak nyaman karena baru pertama kali melakukan hal yang diluar batas menurut Alesya. Perlahan tapi pasti, Wanita hamil itu mulai menikmati perjalanan tersebut, terpesona oleh pemandangan indah di sekitar mereka.Di tengah perjalanan, Zidan sese
Zidan dan Alesya tiba di kediaman Roderick. Mereka berdua melangkah perlahan mendekati rumah yang besar dan megah itu, namun terlihat sunyi. Zidan merasa takut jika mereka ketahuan datang ke sini, jadi dia mencoba memastikan dulu keberadaan Liam sebelum melanjutkan masuk kesana. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kantor Liam."Halo. Apakah saya bisa berbicara dengan CEO Liam?" tanya Zidan dengan hati-hati."Maaf, tapi Tuan Liam sedang ada rapat," jawab resepsionis di seberang sambungan telepon."Baiklah kalau begitu. Maaf mengganggu," ucap Zidan sebelum memutuskan sambungan.Mendengar kabar itu, Zidan merasa lega dan mengajak Alesya untuk melanjutkan rencana mereka. "Ayo masuk Ale!"Zidan memegang tangan Alesya, membawa menuju pintu rumah. "Tunggu, Zidan. Kita tak perlu masuk kediaman Liam. Kita bisa lewat samping karena anggur merah terletak di balkon kamarku.""Baiklah. Ayo kesana!"Mereka berjalan ke sisi rumah dan menemukan tangga yang mengarah ke balkon kamar Alesya. Deng
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d