“Bagaimana tadi?” tanya Ansel saat baru saja pulang. “Lancar,” jawab Aruna lantas membantu Ansel melepas jas seperti biasa. “Lancar bagaimana?” tanya Ansel penasaran. Aruna menatap sang suami yang penasaran hingga membuatnya tersenyum kecil. “Ternyata kamu juga penasaran dengan hubungan Bumi dan Winnie,” ucap Aruna lantas mencolek pipi Ansel. Ansel semakin penasaran mendengar ucapan Aruna. Dia menoleh istrinya yang kini berjalan menuju keranjang baju kotor. “Bumi benar-benar menerima kondisi Winnie. Bahkan dia bisa membujuk Winnie agar mau melakukan terapi, itu bagus untuk Winnie,” ujar Aruna menceritakan yang tadi terjadi. “Syukurlah, aku juga yakin jika Bumi bukanlah pria egois jika sudah mendapatkan seseorang yang disukainya,” balas Ansel. “Iya. Lagi pula, kurasa dia memang sulit membuka hatinya, sehingga saat sudah dibuka untuk satu wanita, tampaknya dia tak mau membukanya untuk wanita lain,” ucap Aruna menambahi ucapan Ansel. “Sekarang tinggal menunggu saja, apakah nasib
“Hari ini kamu jadi mengantar Winnie?” tanya Anta saat melihat putranya baru saja turun dari lantai dua. “Iya,” jawab Bumi, “Winnie tidak mau ke dokter jika aku tidak menemaninya,” imbuhnya. Anta mengangguk-angguk mendengar ucapan Bumi. Dia pun menepuk pelan pundak putranya itu. “Papa senang kamu tidak lari saat mengetahui kondisi Winnie seperti ini. Jadilah berguna untuk orang lain, terutama untuk orang yang kamu sayangi,” ujar Anta menasihati. Bumi mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan Anta. “Doakan saja dia cepat sembuh, agar segera bisa jadi menantu Papa,” seloroh Bumi. “Kamu ingin segera menikah?” tanya Anta terkejut mendengar ucapan Bumi. “Doakan saja yang terbaik,” balas Bumi sambil melebarkan senyum. Dia pun pamit karena harus menjemput Winnie agar bisa segera ke rumah sakit. Bumi menjemput Winnie dua jam sebelum waktu yang ditentukan untuk konsultasi dengan dokter. Selain perjalanan ke rumah sakit yang butuh waktu, mereka juga nantinya masih harus melakukan pro
“Kamu yakin mau berangkat kerja? Bagaimana kalau tiba-tiba kamu pingsan atau kelelahan? Kondisi tubuhnya belum pulih sempurna, Runa.” Ansel kembali mencoba membujuk agar Aruna tak berangkat kerja. “Aku sudah sehat, Ans. Kalau aku kelamaan di rumah, yang ada aku tambah sajit,” balas Aruna, “kamu sudah janji mengizinkanku kerja lagi, ga boleh ingkar!” Aruna mengingatkan ucapan Ansel sebelumnya. Ansel mengembuskan napas kasar mendengar ucapan Aruna. Aruna mendekati Ansel yang hanya berdiri menatapnya. Dia pun berjalan mendekat lantas merapikan dasi suaminya itu. “Aku janji akan baik-baik saja. Aku benar-benar bosan di rumah, Ans.” Aruna meyakinkan agar Ansel tak mencegahnya. “Baiklah, tapi jika sampai kamu kenapa-napa, aku menarik janjiku mengizinkanmu berangkat kerja,” ujar Ansel dengan sedikit nada ancaman. Aruna melebarkan senyum, lantas mengangguk-anggukan kepala. Aruna dan Ansel keluar dari kamar bersama. Mereka pergi menuju ruang makan untuk sarapan bersama yang lain. “Tum
Aruna berlari keluar lift yang baru saja terbuka di lobi. Dia memegang ponsel yang menempel di telinga karena sedang menghubungi Ansel. “Ans.” Aruna bicara dengan ekspresi wajah panik saat panggilan itu akhirnya dijawab Ansel. “Ada apa, Runa? Maaf aku baru selesai breafing,” ucap Ansel dari seberang panggilan. “Ans, Emi jatuh. Gurunya bilang kepalanya terluka dan sekarang sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.” Aruna bicara dengan suara gemetar. Bahkan kepanikan begitu kentara di wajahnya. “Kamu sekarang di mana?” tanya Ansel dari seberang panggilanm. Suara pria itu juga terdengar panik. “Aku sudah di lobi mencari taksi. Aku akan segera ke rumah sakit, kamu langsung ke sana saja.” Aruna pergi dengan terburu-buru sampai tak berpikir minta tolong sopir ayahnya untuk mengantar. Setelah mendapat jawaban dari Ansel. Aruna mengakhiri panggilan. Dia pun berlari keluar perusahaan mencari taksi yang biasa mangkal di dekat perusahaan, bersyukur ada taksi yang sedang berhenti. “Pak, tolo
“Papi, jangan marahin Miss. Kasihan, soalnya Miss ga tahu. Aku yang tadi lari-larian,” ucap Emily saat Ansel hendak mengajaknya pulang. Ansel menatap dahi kiri Emily yang tertutup perban, lantas mencoba tersenyum di depan putrinya itu. Aruna sendiri memperhatikan, tapi tak banyak bicara. “Iya, papi tidak marahin. Papi hanya minta Miss hati-hati lagi lain kali, karena tak semua anak kuat seperti Emi,” balas Ansel. Emily mengangguk pelan karena kepalanya masih terasa pusing. “Kita pulang sekarang,” ajak Ansel lantas menggendong Emily. Emily merangkul leher Ansel saat digendong, mereka pun keluar dari ruang penanganan. Guru Emily masih di sana karena mencemaskan kondisi Emily. Wanita itu langsung menemui Ansel dan Aruna yang baru saja keluar dari ruang penanganan. “Maaf sudah merepotkan Anda, Miss. Sekalian izin mungkin Emi tidak berangkat sekolah beberapa waktu sampai kondisinya membaik,” ujar Aruna sopan ke guru Emily. “Tentu, Bu Aruna. Saya sangat menyesal dan minta maaf setu
Satu minggu berlalu. Hari itu Aruna dan Ansel ke rumah sakit untuk mengecek kondisi luka di kening Emily.“Lukanya sudah kering, saya akan melepas jahitannya,” ucap perawat yang menangani Emily.“Apa nanti sakit lagi?” tanya Emily cemas.Perawat itu tersenyum, lantas memberikan satu permen ke Emily.“Tidak sakit, rasanya hanya seperti digigit semut,” jawab perawat itu.Emily memegang permen yang diberikan perawat, lantas menatap Aruna yang menemaninya di ruangan itu.“Digigit semut juga sakit,” ucap Emily ke Aruna.“Emi ‘kan anak hebat. Kemarin waktu diobati tidak sakit, sekarang pun pasti tidak sakit,” balas Aruna meyakinkan agar Emily tidak tegang.Emily diam sejenak, lantas menatap permen yang diberikan perawat. Dia pun mengangguk seolah siap untuk diambil jahitannya.Aruna berdiri di samping ranjang menemani Emily. Dia menggenggam tangan gadis kecil itu saat pengambilan benang jahitan yang ada di dahi, hingga akhirnya pengambilan itu selesai dengan cepat.“Tidak sakit, kan?” tanya
“Waktu itu aku ketemu Milea, dia bilang buka toko roti di sekitar daerah sini. Bagaimana kalau kita pergi ke sana?” tanya Aruna saat dalam perjalanan dari rumah sakit. “Tentu, apa nama tokonya?” Ansel mengiakan keinginan Aruna. Aruna menyebutkan nama toko roti milik Milea, mereka pun menemukan tempat itu yang berada di pinggir jalan besar dan memiliki halaman cukup luas. Ansel, Aruna, dan Emily pun masuk ke toko itu. Ternyata di sana ada Milea yang sedang melayani pembeli. “Hai.” Milea langsung menyapa saat melihat Aruna dan Ansel datang. Milea keluar dari belakang meja kasir untuk menemui Aruna. “Kalian dari mana bisa sampai sini?” tanya Milea. “Tadi habis kontrol di rumah sakit, lalu mampir ke sini,” jawab Aruna. “Kontrol? Siapa yang sakit?” tanya Milea terkejut. “Aku, Bibi. Kepalaku sakit karena jatuh,” jawab Emily sambil memegang kepalanya. Milea terkejut hingga langsung berjongkok untuk melihat luka di kening Emily. “Pasti sakit, ya?” tanya Milea memberi perhatian ke Em
“Kamu masih berhubungan dengan pria itu? Siapa namanya? Iparnya si Ans?” tanya Jean saat bertemu dengan Jill. “Hanz,” jawab Jill dengan santainya. “Ah, iya. Kenapa kamu mau dekat dengan pria itu? Bukankah dia menghubungimu jika ada butuhnya saja? Kenapa aku merasa dia hanya memanfaatkanmu saja?” tanya Jean. Jill hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jean, hingga kemudian membalas, “Pikiranmu penuh dengan hal negatif. Jangan suka menuduh orang sembarangan, lagian mau memanfaatkan atau tidak, aku juga tidak keberatan.” Jean langsung mengerutkan alis mendengar ucapan Jill. Dia benar-benar bingung dengan sepupunya itu. “Kamu ini aneh, dimanfaatkan kok mau?” tanya Jean menatap aneh. Belum juga Jill membalas pertanyaan Jean, ponsel Jill berdering hingga membuatnya langsung melihat nama yang terpampang di layar. “Lihat, baru juga dibicarakan dia sudah menelepon. Pasti dia mau memintamu menemaninya. Padahal ga ada hubungan apa pun, tapi dia selalu saja merepotkanmu,” cerocos Jean yang t