Aruna berlari keluar lift yang baru saja terbuka di lobi. Dia memegang ponsel yang menempel di telinga karena sedang menghubungi Ansel. “Ans.” Aruna bicara dengan ekspresi wajah panik saat panggilan itu akhirnya dijawab Ansel. “Ada apa, Runa? Maaf aku baru selesai breafing,” ucap Ansel dari seberang panggilan. “Ans, Emi jatuh. Gurunya bilang kepalanya terluka dan sekarang sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.” Aruna bicara dengan suara gemetar. Bahkan kepanikan begitu kentara di wajahnya. “Kamu sekarang di mana?” tanya Ansel dari seberang panggilanm. Suara pria itu juga terdengar panik. “Aku sudah di lobi mencari taksi. Aku akan segera ke rumah sakit, kamu langsung ke sana saja.” Aruna pergi dengan terburu-buru sampai tak berpikir minta tolong sopir ayahnya untuk mengantar. Setelah mendapat jawaban dari Ansel. Aruna mengakhiri panggilan. Dia pun berlari keluar perusahaan mencari taksi yang biasa mangkal di dekat perusahaan, bersyukur ada taksi yang sedang berhenti. “Pak, tolo
“Papi, jangan marahin Miss. Kasihan, soalnya Miss ga tahu. Aku yang tadi lari-larian,” ucap Emily saat Ansel hendak mengajaknya pulang. Ansel menatap dahi kiri Emily yang tertutup perban, lantas mencoba tersenyum di depan putrinya itu. Aruna sendiri memperhatikan, tapi tak banyak bicara. “Iya, papi tidak marahin. Papi hanya minta Miss hati-hati lagi lain kali, karena tak semua anak kuat seperti Emi,” balas Ansel. Emily mengangguk pelan karena kepalanya masih terasa pusing. “Kita pulang sekarang,” ajak Ansel lantas menggendong Emily. Emily merangkul leher Ansel saat digendong, mereka pun keluar dari ruang penanganan. Guru Emily masih di sana karena mencemaskan kondisi Emily. Wanita itu langsung menemui Ansel dan Aruna yang baru saja keluar dari ruang penanganan. “Maaf sudah merepotkan Anda, Miss. Sekalian izin mungkin Emi tidak berangkat sekolah beberapa waktu sampai kondisinya membaik,” ujar Aruna sopan ke guru Emily. “Tentu, Bu Aruna. Saya sangat menyesal dan minta maaf setu
Satu minggu berlalu. Hari itu Aruna dan Ansel ke rumah sakit untuk mengecek kondisi luka di kening Emily.“Lukanya sudah kering, saya akan melepas jahitannya,” ucap perawat yang menangani Emily.“Apa nanti sakit lagi?” tanya Emily cemas.Perawat itu tersenyum, lantas memberikan satu permen ke Emily.“Tidak sakit, rasanya hanya seperti digigit semut,” jawab perawat itu.Emily memegang permen yang diberikan perawat, lantas menatap Aruna yang menemaninya di ruangan itu.“Digigit semut juga sakit,” ucap Emily ke Aruna.“Emi ‘kan anak hebat. Kemarin waktu diobati tidak sakit, sekarang pun pasti tidak sakit,” balas Aruna meyakinkan agar Emily tidak tegang.Emily diam sejenak, lantas menatap permen yang diberikan perawat. Dia pun mengangguk seolah siap untuk diambil jahitannya.Aruna berdiri di samping ranjang menemani Emily. Dia menggenggam tangan gadis kecil itu saat pengambilan benang jahitan yang ada di dahi, hingga akhirnya pengambilan itu selesai dengan cepat.“Tidak sakit, kan?” tanya
“Waktu itu aku ketemu Milea, dia bilang buka toko roti di sekitar daerah sini. Bagaimana kalau kita pergi ke sana?” tanya Aruna saat dalam perjalanan dari rumah sakit. “Tentu, apa nama tokonya?” Ansel mengiakan keinginan Aruna. Aruna menyebutkan nama toko roti milik Milea, mereka pun menemukan tempat itu yang berada di pinggir jalan besar dan memiliki halaman cukup luas. Ansel, Aruna, dan Emily pun masuk ke toko itu. Ternyata di sana ada Milea yang sedang melayani pembeli. “Hai.” Milea langsung menyapa saat melihat Aruna dan Ansel datang. Milea keluar dari belakang meja kasir untuk menemui Aruna. “Kalian dari mana bisa sampai sini?” tanya Milea. “Tadi habis kontrol di rumah sakit, lalu mampir ke sini,” jawab Aruna. “Kontrol? Siapa yang sakit?” tanya Milea terkejut. “Aku, Bibi. Kepalaku sakit karena jatuh,” jawab Emily sambil memegang kepalanya. Milea terkejut hingga langsung berjongkok untuk melihat luka di kening Emily. “Pasti sakit, ya?” tanya Milea memberi perhatian ke Em
“Kamu masih berhubungan dengan pria itu? Siapa namanya? Iparnya si Ans?” tanya Jean saat bertemu dengan Jill. “Hanz,” jawab Jill dengan santainya. “Ah, iya. Kenapa kamu mau dekat dengan pria itu? Bukankah dia menghubungimu jika ada butuhnya saja? Kenapa aku merasa dia hanya memanfaatkanmu saja?” tanya Jean. Jill hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jean, hingga kemudian membalas, “Pikiranmu penuh dengan hal negatif. Jangan suka menuduh orang sembarangan, lagian mau memanfaatkan atau tidak, aku juga tidak keberatan.” Jean langsung mengerutkan alis mendengar ucapan Jill. Dia benar-benar bingung dengan sepupunya itu. “Kamu ini aneh, dimanfaatkan kok mau?” tanya Jean menatap aneh. Belum juga Jill membalas pertanyaan Jean, ponsel Jill berdering hingga membuatnya langsung melihat nama yang terpampang di layar. “Lihat, baru juga dibicarakan dia sudah menelepon. Pasti dia mau memintamu menemaninya. Padahal ga ada hubungan apa pun, tapi dia selalu saja merepotkanmu,” cerocos Jean yang t
“Ini bagus, Hanz.” Jill menunjuk ke salah satu cincin di etalase. Hanzel mengamati cincin itu, lantas melihat jari Jill. “Kalau menurutku, cincin itu cocok untukmu. Mau kubelikan sekalian sebagai hadiah karena sudah menemaniku?” Jill sangat terkejut mendengar ucapan Hanzel. Belum juga dia membalas, tiba-tiba ada yang memanggil nama Hanzel. “Hanz, kupikir bukan kamu,” ucap Aruna saat menghampiri Hanzel dan Jill. Hanze dan Jill menatap ke arah Aruna juga Ansel yang menghampiri mereka. Jill langsung mengangguk menyapa Ansel dan Aruna. “Kalian sedang apa?” tanya Hanzel karena kebetulan bertemu dengan Aruna di sana. “Kamu sendiri juga sedang apa? Bukannya bantu mamimu mau punya acara, malah jalan-jalan,” ujar Aruna langsung menegur. “Ini juga mau nyari hadiah untuk Mami. Aku belum sempat membelikan sesuatu untuknya,” balas Hanzel. “Oh ….” Aruna mengangguk-angguk mendengar balasan Hanzel, lantas melirik Jill karena lagi-lagi wanita itu yang jalan bersama sang sepupu. “Sudah dapat
“Mami, Mami! Aku harus pakai yang mana?” tanya Emily saat masuk kamar sambil membawa dua gaun. Aruna terkejut mendengar suara Emily memanggil. Dia menoleh hingga melihat putrinya itu masih memakai bathrobe. “Bukannya tadi mau yang warna pink?” tanya Aruna sambil mengamati gaun yang dipegang Emily. Emily menatap bergantian dua gaun itu, hingga kemudian menjawab, “Iya, tapi yang biru juga cantik. Aku bingung mau pakai yang mana.” Aruna tersenyum melihat Emily bingung. Dia mendekat, lantas berjongkok di hadapan putrinya itu. “Mami tanya dulu sebelum memutuskan. Emi suka yang mana?” tanya Aruna. “Aku suka semua,” jawab Emily yang bingung. “Yang paling, paling, paling Emi suka yang mana, itu yang Emi pilih. Emi boleh memilih sesuatu yang disukai, yang terpenting itu sesuai dengan yang diharapkan Emi, juga yang baik,” ujar Aruna mencoba mengajari Emily untuk bisa menentukan pilihan sendiri. Emily menatap bergantian gaunnya, hingga kemudian berkata, “Yang biru bagus, aku mau pakai bir
“Kai!”Milea berteriak keras saat melihat putranya berlari kencang ke pintu toko. Hingga dia melihat Kai menabrak pengunjung yang baru saja akan masuk.Milea melihat putranya terjatuh, membuatnya buru-buru menghampiri.“Kan sudah mama bilang, benar jatuh, kan?” Milea membantu Kai berdiri karena putranya itu tampak ingin menangis.Milea belum menyadari, siapa yang ditabrak Kai.Jill terkejut melihat Milea. Dia ingat kalau Milea ada wanita yang ditatap Hanzel saat di acara pernikahan Aruna.Hanzel sendiri diam memandang Milea yang sedang membersihkan pantat bocah laki-laki itu. Dia tampaknya syok saat mendengar Milea menyebut kata mama.“Maaf kalau ….” Milea ingin meminta maaf karena ulah Kai, tapi dia berhenti bicara saat melihat siapa yang kini ada di hadapannya.Milea terkejut sampai tak bisa berkata-kata melihat Hanzel di sana, apalagi pria itu bersama seorang wanita.“Maafkan putraku jika menabrak kalian,” ucap Milea dengan suara lirih sambil menurunkan pandangan.Hanzel hanya mena