Aruna menatap Ansel yang pergi lebih dulu. Dia melambaikan tangan saat mobil suaminya melaju meninggalkan kafe. Setelah mobil Ansel menghilang dari pandangan. Aruna memberhentikan taksi, lantas pergi dari tempat itu. Namun, Aruna tak pergi ke perusahaan melainkan menemui seseorang yang bisa menjawab rasa penasarannya. Aruna tidak yakin apakah ini benar, tapi dia tak ingin melewatkan kesempatan untuk tahu, kenapa dirinya diincar dan dicelakai. “Kupikir kamu tidak akan datang,” ucap Clay yang sudah menunggu Aruna. Aruna hanya menatap datar ke Clay. Dia mengamati sekitar dan tak ada siapa pun di sana. “Kamu bilang ada managermu bersama kita?” tanya Aruna karena baru menyadari jika Clay berbohong. Clay menoleh ke kanan dan kiri, lantas menatap Aruna. “Ah, ya. Aku lupa soal itu, dia mendadak ada urusan lain, jadi kita bisa bicara berdua saja,” ucap Clay lantas mempersilakan Aruna untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Aruna melirik kursi yang ada di hadapan Clay. Dia sedikit
Aruna menatap kesal ke Clay yang sedang makan. Dia benar-benar tak sabar menunggu pria itu makan, hingga berpikir jika pria itu hanya mempermainkannya saja. “Sepertinya memang salahku berada di sini. Seharusnya sejak awal aku tak menganggap sama sekali kebaikanmu sebagai sebuah niat baik, itu hanya kebetulan, seharusnya aku tak acuh akan hal itu!” geram Aruna karena Clay sepertinya memanfaatkan sesuatu darinya saja. Clay mengunyah makanan yang masuk mulut. Dia lantas menatap Aruna yang baru saja bicara. “Padahal aku muncul karena kasihan, kenapa kamu menyesal sudah aku tolong?” Clay bicara sambil menatap Aruna. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Kamu muncul bukan karena sebuah kesengajaan, kan?” Aruna sudah mencurigai Clay sejak ditolong waktu itu. Aruna merasakan hal yang janggal ketika Clay menarik tangannya. Pria itu tak jatuh, tapi sengaja menjatuhkan diri. Dia bisa merasakan betapa kerasnya benturan yang menghantam pinggulnya sampai membuatnya keguguran. Semua kecurigaannya
“Lacak ponsel Aruna, cepat!” perintah Ansel saat tak menemukan Aruna di ruangan itu, tapi ada bekas peralatan makan di meja. Ansel berjalan cepat keluar dari restoran, Rio sendiri buru-buru menghubungi orang kepercayaannya untuk melacak keberadaan ponsel Aruna. “Apa kalian tidak melihat mobil keluar dari restoran?” tanya Ansel saat menemui dua orang suruhannya yang berjaga di depan. Dua pria itu terkejut mendengar pertanyaan Ansel. Mereka saling tatap hingga mengingat mobil yang keluar dari restoran sebelum Ansel datang. “Ada, mobil silver tipe SUV melintas sebelum Anda datang,” jawab salah satu pria. Ansel mengetatkan gigi mendengar penjelasan orang suruhannya. Dia langsung masuk mobil dan duduk di belakang kemudi. Rio sangat terkejut dengan yang dilakukan Ansel. Dia pun langsung masuk dan duduk di samping kursi kemudi. Dua pria suruhan Ansel pun masuk mobil mereka. Ansel mengambil jalan ke kiri sedangkan dua orang tadi ke kanan agar bisa menemukan mobil yang dimaksud. “Mereka
Ansel menginjak pedal rem sambil membanting stir ke kiri agar tidak menabrak mobil SUV yang terbalik di tengah jalan. Sepinya jalan itu, membuat tak banyak mobil yang melintas ketika kecelakaan itu terjadi. Ansel langsung keluar dari mobil karena begitu cemas dengan keadanan Aruna. Jantungnya bahkan berdegup dengan cepat, pikirannya terus berkata jika Aruna baik-baik saja meski tak memungkiri kemungkinan terburuk. Di mobil SUV. Aruna merasa kepalanya pusing karena terluka. Dia yang tak memakai sabuk pengaman, tentunya mengalami cidera parah karena tubuhnya menghantam kabin mobil beberapa kali. Dia berbaring di atas kabin atap sambil memegangi kepala yang berdarah. “Runa, kamu mendengarku.” Ansel sudah berlutut sambil membungkuk untuk melihat apakah benar Aruna ada di dalam mobil itu. Aruna berusaha mengangkat kepala saat mendengar suara Ansel. Hingga dia melihat suaminya ada di luar. “Ans.” Aruna merasakan kepalanya yang sangat sakit. Dia berusaha mengulurkan tangan keluar dengan
Ansel menggeser posisinya dengan Aruna saat melihat Clay siap menarik pelatuk. Dia dan Aruna berada di posisi miring ke Clay, lantas Ansel mengeluarkan tangan yang sudah memegang senjata. Ansel sengaja menjatuhkan diri bersama Aruna ke aspal sambil menarik pelatuk ke arah Clay dengan sasaran kaki agar pria gila itu bisa dilumpuhkan. Peluru yang diarahkan ke Ansel melesat begitu saja di udara, sedangkan peluru Ansel melesat ke arah kaki Clay dan meleset hingga hanya melukai tanpa bersarang di kaki. “Agh!” Clay memekik karena kakinya terkena peluru. Ansel jatuh ke aspal, punggungnya membentur aspal dengan posisi Aruna di atasnya. Clay berniat kembali melesatkan peluru, tapi Rio dengan cepat berlari ke Clay lantas menghantamkan pukulan ke wajah, hingga membuat Clay tersungkur di aspal. Rio menendang pistol Clay yang terlepas dari tangan dan jatuh ke aspal. Dia pun buru-buru membekuk agar Clay tidak melakukan hal gila lagi. “Lepaskan! Dia harus membayar semuanya! Dasar pembunuh!” t
“Kamu pikir bisa melakukan segalanya karena uangmu?” Ansel menatap Clay yang sedang menatap bengis ke arahnya. Dia melihat tatapan penuh kebencian dari mata Clay. Ansel sendiri masih bingung, kenapa Clay membencinya sedangkan dia sama sekali tak pernah merasa jika menyinggung Clay. “Kalau kamu memang merasa punya masalah denganku, hadapi aku tanpa melibatkan orang-orang di sekitarku,” ucap Ansel tegas sambil menatap tajam ke Clay. Clay tertawa terbahak mendengar ucapan Ansel. Dia terus tertawa seolah apa yang dikatakan oleh Ansel adalah sebuah lelucon. Ansel memasang ekspresi datar melihat Clay tertawa. Kini Ansel yakin jika Clay memang gila. “Kamu sudah membuat nyawa orang lain melayang, hingga orang sekitarnya menderita. Sekarang kamu berkata seperti itu? Kamu berpikir sudah menjadi orang yang bijak dengan mengatakan itu?” Clay tersenyum miring, tapi dari tatapan matanya tampak sebuah kepedihan. Ansel hanya diam mendengar ucapan Clay karena memang tak tahu apa-apa soal yang di
“Runa, kamu sudah bangun.” Bintang terlihat begitu lega saat melihat Aruna mulai menggerakkan mata. Ayana dan yang lain langsung mendekat saat mendengar Bintang bicara. Mereka sangat bersyukur karena akhirnya Aruna bangun. Aruna berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Kepalanya pun masih sangat sakit, membuatnya meringis kesakitan. “Mana yang sakit, hm?” Bintang sangat cemas ketika melihat Aruna meringis. Aruna berusaha membuka kelopak mata karena mendengar suara Bintang, hingga dia akhirnya bisa melihat sang mommy. “Mommy,” lirih Aruna karena masih lemas. “Syukurlah.” Bintang sangat lega karena Aruna mengingat serta menyebut namanya. Semua orang memberi jeda agar Aruna bisa mendapatkan kesadaran sepenuhnya. “Di mana Ans?” tanya Aruna sambil mengedarkan pandangan perlahan ke seluruh ruangan tapi tak mendapati suaminya di sana. “Ans sedang ke kantor polisi. Mungkin sebentar lagi dia datang,” ujar Ayana menjelaskan. “Apa ada yang sakit?” tanya Bintang karena Aruna se
Aruna sudah bisa duduk. Dia dan Ansel duduk melihat berita tentang kasus sabotase dan penculikan Aruna. Manager Clay membuat klarifikasi soal perbuatan Clay. “Depresi? Dia bilang modelnya depresi? Mudah sekali berucap untuk lolos, sedangkan dia tak tahu ada hati yang sakit karena perbuatannya.” Aruna geram melihat berita yang mengatakan jika Clay mengalami depresi berat karena tekanan yang didapat setelah ayahnya meninggal sehingga melakukan tindakan yang tak terduga. “Bukankah seharusnya kita tak perlu terkejut jika ada pertanyaan seperti itu? Agensinya tentu tak mau ikut terseret ke dalam kasus Clay, karena itu mereka membuat pernyataan untuk menyelamatkan diri mereka, tanpa memikirkan perasaan korban,” ujar Ansel menjelaskan, lantas menoleh Aruna. Aruna masih menatap layar televisi. Dia tampak kesal karena bagaimanapun, sengaja atau tidak, Clay sudah membuat impian Aruna menimang bayi harus tertunda. Ansel meraih remote televisi, lantas mematikan benda elektronik itu. “Kenapa
Aruna dan yang lain buru-buru pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar jika Winnie mau melahirkan, tapi siapa sangka saat masuk ruangan malah melihat Hanzel juga, membuat semua orang bingung.“Hanz, kenapa kamu di sini?” tanya Aruna bingung.“Milea melahirkan,” jawab Hanzel.“Lah, bukannya ini kamar Winnie?” tanya Aruna bingung.“Ya, mereka berdua di sini. tuh!” Hanzel menunjuk ke dalam.Ternyata Bumi dan Hanzel setuju jika istri mereka satu kamar agar bisa saling bantu menjaga.Aruna, Ansel, dan kedua orang tuanya terkejut mendengar ucapan Hanzel. Mereka buru-buru masuk untuk melihat apakah yang dikatakan Hanzel benar.“Kalian benar-benar janjian. Hamil dan melahirkan bisa barengan,” cerocos Aruna sangat tak menyangka.“Kebetulan saja, aku masuk duluan baru Winnie,” balas Milea.Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia, belum lagi setelah itu datang keluarga Hanzel dan Milea karena ingin menyambut cucu mereka.“Anak kalian seperti kembar.” Aruna dan yang lain memandang
“Mama, tadi Emily bantu gambar ini, lho.” Kai memperlihatkan gambar yang dibawanya.“Mana coba lihat.” Milea mengambil buku gambar dari tangan Kai.Milea sudah ambil cuti melahirkan karena usia kandungannya memasuki sembilan bulan. Dia fokus dengan kesehatan kehamilan dan Kai yang sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar.“Yang mewarnai siapa?” tanya Milea sambil memperhatikan gambar itu.“Kai dong. Kai pintar ‘kan?” Kai menjawab dengan bangga.“Iya, pintar,” balas Milea.Kai sangat bangga dapat pujian dari sang mama, hingga melihat Milea yang meringis.“Mama kenapa?” tanya Kai sambil menggenggam telapak tangan Milea.“Tidak kenapa-napa,” ucap Milea sambil tersenyum meski perutnya mendadak kencang.“Mama yakin?” tanya Kai yang cemas.Belum juga Milea menjawab, dia merasa kalau perutnya semakin sakit seperti mengalami kontraksi, tentu saja hal itu membuat Kai cemas.“Bibi! Mama sakit!” teriak Kai karena di rumah itu hanya ada dirinya, kedua orang tuanya, dan pembantu.Milea dan Han
“Pernyataanmu tadi, apa bisa aku anggap benar?”Jean tertegun hingga menoleh Raja yang duduk di belakang stir. Dia mengulum bibir menunjukkan kalau sedang dalam kondisi panik dan bingung.“Aku tidak tahu harus menyebutmu apa? Adik tidak mungkin, teman terlalu aneh.”Jean mencoba sedikit mengelak dari pengakuannya ke Milea.“Berarti memang bagus pacar. Jadi, apa bisa jadi pengakuan untuk seterusnya?” tanya Raja lantas menoleh Jean.Jean benar-benar salah tingkah mendengar pertanyaan Raja. Dia memberanikan diri menoleh ke pemuda itu.“Jangan berharap banyak kepadaku. Aku memiliki banyak kekurangan termasuk mungkin takkan bisa memberikan cinta yang sempurna untukmu,” ucap Jean takut Raja kecewa.“Kamu tahu, tidak ada yang namanya cinta sempurna. Yang ada, saling melengkapi kekurangan masing-masing. Asal kamu mengizinkan, aku akan menerima semua kekurangan itu.”Raja menatap Jean penuh harap. Dia menyadari jika Jean seperti tidak tertarik dengan sebuah hubungan percintaan, tapi dia pun ta
“Apa kamu tidak merasa aneh jalan denganku?”Jean mengamati sekitar, banyak remaja memperhatikannya yang sedang jalan dengan Raja.“Kenapa aku harus merasa aneh?” tanya Raja balik dengan santai.“Karena kamu jalan dengan wanita yang layak jadi kakak, tante, mungkin mama.”Jean menjawab sambil menoleh Raja.Raja tertawa mendengar ucapan Jean, lantas membalas, “Untuk apa memikirkan pandangan orang yang tidak ada habisnya. Yang menjalani aku, kenapa mereka yang repot?”“Lagi pula sekarang kita hanya jalan, kalau kamu menerima perasaanku, aku malah akan menggandeng tanganmu lantas memberitahu mereka kalau kamu kekasihku, bukan kakakku, tanteku, atau mamaku,” ujar Raja lagi memberi clue ke Jean untuk merepon perasaan yang diungkapkan sebelumnya.Jean langsung berdeham mendengar ucapan Raja, bahkan mengulum bibir sambil memalingkan muka.Raja menoleh Jean yang memalingkan muka darinya, dia pun lantas kembali berkata, “Apa kamu yakin belum mau memutuskan? Tapi kalau belum juga tidak apa, aku
“Jean,” panggil Ive saat melihat putrinya sedang menuruni anak tangga.Jean yang sedang ingin ke dapur mengambil minum, akhirnya berbelok ke ruang keluarga untuk menghampiri sang mama dan papa.“Ada apa, Ma?” tanya Jean.“Duduklah sini,” pinta Ive sambil menepuk sofa di sampingnya.Jean menuruti ucapan sang mama, lantas menatap kedua orang tuanya bergantian.“Apa ada masalah, Ma?” tanya Jean agak cemas karena tak biasanya kedua orang tuanya memanggil sambil memperlihatkan ekspresi serius seperti itu.“Apa kamu sebelumnya menolak kencan buta karena sudah punya pacar dan pacarmu itu yang tadi pagi jemput?” tanya Ive memastikan sebelum bicara ke pembahasan lebih lanjut.Jean sangat terkejut mendengar pertanyaan Ive, membuatnya gelagapan karena bingung harus menjawab apa.Ive dan Alex saling tatap, mereka pun semakin yakin kalau memang benar pria yang menjemput Jean adalah pacar putrinya.“Sebenarnya, asal kamu suka, tidak masalah kamu mau pacaran sama siapa, mau nikah sama siapa. Mama da
“Lain kali jangan mendatanginya dengan alasan kamu merasa bersalah! Bukankah kamu seharusnya merasa bersalah karena mendekati kekasih adikmu sendiri.”Raja baru saja sampai rumah saat sang kakak juga sampai di rumah. Dia memperingatkan kakaknya itu agar tak mendekati Jean lagi.Saat Arthur hendak membalas ucapan Raja, Amanda sudah lebih menegur mereka berdua.“Kenapa kalian bersitegang lagi?” tanya Amanda sambil menatap kedua putranya itu.Raja dan Arthur menoleh bersamaan ke Amanda. Raja terlihat tak senang karena menyadari jika sang mama pasti akan membela kakaknya.Amanda menatap Arthur yang hanya diam, hingga tatapannya tertuju ke Raja.“Raja, mama mau bicara denganmu sebentar, bisa?” tanya Amanda dengan suara halus agar putranya tak salah paham kepadanya.Raja menatap sang mama, lantas mengangguk karena tak bisa menolak permintaan wanita itu.Raja pun mengikuti sang mama yang berjalan lebih dulu di depannya. Dia mengikuti hingga sang mama masuk ke ruang kerja ayahnya.“Mama mau b
“Yang ini nanti kamu kirim ke bagian marketing. Jangan lupa minta untuk dicek ulang,” perintah Jean ke sekretarisnya.“Baik, Bu.” Sekretaris Jean mengangguk.Jean memberikan berkas yang baru dicek. Dia lantas kembali mengurus berkas lainnya yang bertumpuk di mejanya.Saat sedang fokus ke berkas, tiba-tiba saja telepon kabel di mejanya berdering, membuat Jean menjawab panggilan itu lebih dulu.“Selamat siang Bu Jean, ada seseorang yang ingin menemui Anda tapi belum membuat janji. Anda ingin menemuinya atau tidak?” tanya staff resepsionis dari seberang panggilan.Jean mengerutkan alis mendengar pertanyaan resepsionis.“Siapa?” tanya Jean penasaran hingga dia terdiam mendengar nama yang disebutkan resepsionis.Jean menutup panggilan itu, lantas memilih keluar dari ruangannya untuk menemui orang yang mencarinya.Jean pergi ke lobi, hingga melihat pria yang berdiri membawa sebuah paper bag.“Mau apa kamu menemuiku?” tanya Jean sambil menatap Arthur yang datang menemuinya.Arthur membalikka
Raja tersenyum melihat Jean keluar memakai celana. Dia tidak menyangka kalau wanita itu mau berganti pakaian hanya karena dirinya memaksa ingin mengantar.“Besok aku akan membawa mobil,” ucap Raja sambil menyodorkan helm ke Jean.“Kamu tidak perlu menjemputku setiap hari,” balas Jean sambil menerima helm dari Raja lantas memakainya.Siapa sangka Raja mendekat ke Jean, lantas membantu memasang tali pengaman helm.Jean cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Raja, tapi dia berusaha untuk tenang.“Aku suka melakukannya,” balas Raja setelah selesai memasang tali helm sambil menatap Jean.Jean mengalihkan pandangan dari pemuda itu, bahkan menggeser posisi agar tak terlalu dekat dengan Raja.“Bisa kita berangkat sekarang?” tanya Jean karena mulai salah tingkah melihat tatapan Raja.Raja hanya mengulum senyum, lantas naik ke motor disusul Jean. Pemuda itu pun melajukan motor meninggalkan rumah Jean.Di rumah, ayah Jean keheranan karena mobil putrinya masih di garasi.“Jean ke kantor naik ap
[Jill, jika ada yang menyukaiku, tapi tak sesuai ekspektasiku. Apa yang harus aku lakukan?]Jean mengirimkan pesan ke Jill karena tak tahu harus bagaimana mengatasi masalah yang sedang dialaminya.Jean duduk di kasur sambil menatap pesan yang baru saja dikirimkan ke Jill. Hingga beberapa saat kemudian pesan itu dibaca sepupunya itu.[Fokus pada keinginan awalmu, Jean. Baru kamu bisa memutuskan apa yang kamu inginkan.]Jean membaca pesan dari Jill, memang tak banyak membantu tapi setidaknya itu bisa membuatnya tenang. Dia pun mengirimkan balasan terima kasih ke sepupunya itu, lantas mengembuskan napas kasar.Hari berikutnya, Jean sarapan bersama kedua orang tuanya seperti biasa.Ive terlihat menatap Jean yang makan tanpa bicara, banyak perubahan yang membuat wanita paruh baya itu sedih.“Akhir minggu ini, bagaimana kalau kita Me Time bersama, Jean?” tanya sang mama ingin kembali mempererat hubungan keduanya.Jean memandang sang mama, lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis.