“Daddy akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Daddy tidak akan membiarkan orang yang ingin mencelakaimu bebas begitu saja.” Pagi itu Langit meminta Aruna datang menemui di kantin rumah sakit. Aruna sendiri datang bersama Ansel. “Bisa-bisanya dia ingin mencelakaiku, padahal aku pun tak pernah menuntut perbuatannya kepadaku!” geram Aruna begitu emosi. “Maksudmu, kamu mabuk malah itu karena pria itu?” tanya Ansel penasaran. Aruna dan Langit menatap Ansel bersamaan, lantas Aruna menjelaskan. “Iya, benar. Dia kesal aku tidak mau menemaninya minum karena memang aku tidak bisa minum alkohol. Lalu dia mengerjaiku dengan mencampur alkohol di jus jerukku,” jawab Aruna menjelaskan. “Dia sudah berani mengerjai Runa, kemudian malah berniat mencelakainya. Tentu saja daddy tidak akan membiarkannya,” ucap Langit. “Daddy juga mendapat informasi jika adanya penurunan harga saham, juga jumlah penjualan produk mereka yang membuat perusahaan mengalami kerugian karena tak bisa mencapai target penjua
“Makan yang banyak, ya.” Aruna baru saja memotong-motong daging untuk Emily. Aruna dan Ansel memang sengaja menjemput Emily, lantas mengajak gadis kecil itu makan siang bersama. “Apa Oma Bintang sudah sehat?” tanya Emily sambil menatap Aruna yang duduk di sampingnya. “Sudah, Oma Bintang hari ini juga sudah boleh pulang,” jawab Aruna sambil terus mempertahankan senyum. “Syukurlah,” ucap Emily penuh kelegaan. Aruna sampai terkejut melihat Emily yang berucap syukur seperti orang dewasa. Dia melirik Ansel yang hanya mengedikkan bahu. “Papi. Minggu depan ada acara market day di sekolah, apa Papi bisa datang?” tanya Emily sambil menatap ke Ansel penuh harap. “Papi belum tahu. Apa harus datang?” tanya Ansel setelah menjawab dengan tak pasti. Emily langsung menunduk dengan wajah sedih mendengar jawaban Ansel. Dia yakin jika ayahnya takkan bisa datang ke acara itu seperti biasa. Aruna melihat Emily yang sedih. Dia memandang ke Ansel, lantas merangkul pundak Emily. “Kalau Papi tidak b
“Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini, Bin?” Langit benar-benar sudah pusing menghadapi emosi Bintang yang benar-benar tak terduga. Bintang tak membalas ucapan suaminya. Dia hanya diam tanpa kata sambil duduk di tepian ranjang. “Aku tahu kamu sedih, kesal, dan marah. Tapi tidak bisakah sedikit saja kamu berusaha mengalah. Kita tidak tahu bagaimana nantinya masa depan Runa. Kita tidak tahu, apa rencana Tuhan untuk Runa. Jadi bisakah kamu sedikit saja menurunkan ego? Jika tak bisa menyukai Ansel, kamu hanya perlu membuat Runa bahagia? Kamu tidak ingat dulu juga pernah melakukan sama seperti Runa, menentang Papi demi mempertahanku yang begitu fatal menyakitimu.” Langit terus berusaha untuk membuat Bintang sedikit melunak. “Sekali saja pahami putrimu sendiri, Bin. Tak selamanya yang terlihat buruk itu buruk. Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya tak ingin keluarga kita terpecah. Apa kamu baru akan sadar saat Runa meninggalkan rumah ini?” Langit menatap Bintang yang masih d
Saat pagi hari. Bintang melakukan aktivitasnya seperti biasa di dapur menyiapkan sarapan bersama pembantu. Langit baru saja keluar kamar setelah bersiap-siap ke kantor. Dia berpapasan dengan Aruna yang juga sudah siap ke kantor. “Kamu sarapan dulu, kan?” tanya Langit untuk memastikan agar Aruna tak berangkat tanpa sarapan. Bukan apa-apa. Langit hanya tak ingin masalah antara Bintang dan Aruna semakin memburuk. Aruna terdiam sejenak mendengar pertanyaan Langit. Dia pun menganggukkan kepala. Keduanya berjalan menuju ruang makan sambil membahas soal pria yang menjadi dalang penyerangan Aruna. “Polisi sudah menangkap Gallen kemarin sore saat dia baru saja kembali dari luar negeri,” ucap Langit sambil berjalan. “Baguslah, pria brengsek seperti itu memang harus mendapat balasan. Dia pikir aku karyawan biasa yang sombong karena menolaknya. Dia pikir aku gampangan yang mudah dibujuk hanya dengan segelas minuman.” Aruna tersenyum miring mengejek pria itu. “Semoga dia mendapatkan hukuma
“Kamu sehat? Sudah makan?” Emily melebarkan senyum, lantas menjawab, “Aku sehat, hanya sedikit sedih. Aku belum makan siang.” Bintang memulas senyum mendengar jawaban Emily yang selalu saja menggemaskan. Dia memang sengaja datang ke sana sambil membawa makan siang. “Oma bawa makan siang, ada kue juga. Kamu mau makan bareng oma?” tanya Bintang sambil mengeluarkan kotak bekal makanan yang dibawa. Emily memandang Bintang yang terlihat biasa saja, hingga dia teringat dengan kesalahannya. “Oma Bintang sudah baca surat dariku? Apa Oma Bintang masih marah karena aku tidak jawab pertanyaan Oma?” tanya Emily dengan suara lirih karena takut. Bintang sedang meletakkan kotak bekal saat mendengar pertanyaan Emily. Dia memandang gadis kecil itu yang terlihat takut dan sedih. “Sudah, Oma sudah baca. Terima kasih, ya. Karena surat itu, Oma sembuh,” jawab Bintang sambil memulas senyum. “Oma Bintang tidak marah lagi? Aku minta maaf ya, Oma.” Emily memberanikan diri menatap Bintang. “Iya, Oma m
Aruna benar-benar penasaran, kenapa ekspresi wajah Ansel benar-benar seperti terkejut akan sesuatu. “Ada apa, Ans? Kenapa ekspresimu begitu?” tanya Aruna penasaran. Ansel menatap Aruna yang sedang penasaran. Dia lantas memperlihatkan apa yang didapatnya. Aruna pun mengambil ponsel Ansel, lantas ikut syok melihat apa yang ada di ponsel Ansel. “Bagaimana menurutmu?” tanya Ansel sambil menatap Aruna yang masih sangat syok. Aruna tak bisa berkata-kata. Dia menatap Ansel lantas memberikan ponsel pria itu. “Entahlah, apa itu memang benar?” tanya Aruna seperti tak percaya. “Semoga benar,” jawab Ansel sambil menggenggam telapak tangan Aruna. ** Saat sore hari. Ansel menjemput Aruna sesuai dengan permintaan kekasihnya itu. Namun, Aruna tak mau langsung pulang, dia mengajak Ansel pergi ke taman lantas duduk berdua di sana. “Kalau kamu pulang sangat terlambat, apa Daddy dan Mommy tidak akan cemas?” tanya Ansel tak ingin dianggap memengaruhi Aruna. “Daddy sudah tahu, jadi tak perlu cem
Sudah satu minggu Bintang dan Aruna tak ada yang mau saling bicara, meski mereka berada di satu rumah, makan pun bersama. Langit pun tak mau ambil pusing dengan diamnya mereka, yang penting tidak berdebat. “Kamu tidak sarapan dulu?” tanya Langit saat Aruna berpamitan. “Tidak, Dad. Aku harus mampir ke rumah Oma dulu buat ambil pesanan kueku, terus jempur Emi ke sekolah. Hari ini aku cuti buat nemenin dia di bazar sekolah,” jawab Aruna menjelaskan karena Langit lupa dirinya ambil cutoi. “Oh iya, daddy lupa,” balas Langit, “ya sudah, hati-hati di jalan. Salam buat Emi,” ucap Langit lagi. Aruna mengangguk lantas melangkahkan kaki untuk pergi, hingga langkahnya terhenti saat melihat Bintang sedang menyiapkan sarapan. Dia terdiam sejenak, tapi sedetik kemudian memilih segera pergi karena takut kesiangan. Aruna pergi ke rumah kakek dari sang mommy. Dia meminta tolong omanya untuk membuatkan kue yang biasa disukai anak-anak. “Oma, apa sudah siap?” tanya Aruna saat menemui sang nenek. “
“Kamu baik-baik saja?” tanya Ansel saat Aruna hanya diam menunggu Emily sedang bersiap-siap. Aruna langsung menoleh Ansel, kemudian menganggukan kepala. “Aku baik-baik saja,” jawab Aruna lantas tersenyum. Ansel pun percaya saja jika memang Aruna baik-baik saja. Aruna sendiri sedang memikirkan ucapan sang oma soal mommynya. Dia benar-benar tak menyangka kalau Bintang yang membuat kue itu, padahal tahu jika itu untuk acara Emily di sekolah. “Maaf harus merepotkanmu membantu Emi. Aku akan coba datang setelah rapatnya selesai,” ujar Ansel karena pagi itu ada rapat. “Iya, kamu tenang saja. Andai tidak bisa datang tak masalah, lagian Emi pasti sudah senang meski hanya aku yang datang,” balas Aruna. Ansel pun menganggukkan kepala mendengar balasan Aruna. “Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, segera hubungi aku,” ucap Ansel lagi. “Iya, kamu jangan cemas,” balas Aruna. Aruna pergi bersama Emily dan baby sitter. Mereka langsung ke sekolah, di sana ternyata sudah disediakan stand untu
Aruna dan yang lain buru-buru pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar jika Winnie mau melahirkan, tapi siapa sangka saat masuk ruangan malah melihat Hanzel juga, membuat semua orang bingung.“Hanz, kenapa kamu di sini?” tanya Aruna bingung.“Milea melahirkan,” jawab Hanzel.“Lah, bukannya ini kamar Winnie?” tanya Aruna bingung.“Ya, mereka berdua di sini. tuh!” Hanzel menunjuk ke dalam.Ternyata Bumi dan Hanzel setuju jika istri mereka satu kamar agar bisa saling bantu menjaga.Aruna, Ansel, dan kedua orang tuanya terkejut mendengar ucapan Hanzel. Mereka buru-buru masuk untuk melihat apakah yang dikatakan Hanzel benar.“Kalian benar-benar janjian. Hamil dan melahirkan bisa barengan,” cerocos Aruna sangat tak menyangka.“Kebetulan saja, aku masuk duluan baru Winnie,” balas Milea.Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia, belum lagi setelah itu datang keluarga Hanzel dan Milea karena ingin menyambut cucu mereka.“Anak kalian seperti kembar.” Aruna dan yang lain memandang
“Mama, tadi Emily bantu gambar ini, lho.” Kai memperlihatkan gambar yang dibawanya.“Mana coba lihat.” Milea mengambil buku gambar dari tangan Kai.Milea sudah ambil cuti melahirkan karena usia kandungannya memasuki sembilan bulan. Dia fokus dengan kesehatan kehamilan dan Kai yang sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar.“Yang mewarnai siapa?” tanya Milea sambil memperhatikan gambar itu.“Kai dong. Kai pintar ‘kan?” Kai menjawab dengan bangga.“Iya, pintar,” balas Milea.Kai sangat bangga dapat pujian dari sang mama, hingga melihat Milea yang meringis.“Mama kenapa?” tanya Kai sambil menggenggam telapak tangan Milea.“Tidak kenapa-napa,” ucap Milea sambil tersenyum meski perutnya mendadak kencang.“Mama yakin?” tanya Kai yang cemas.Belum juga Milea menjawab, dia merasa kalau perutnya semakin sakit seperti mengalami kontraksi, tentu saja hal itu membuat Kai cemas.“Bibi! Mama sakit!” teriak Kai karena di rumah itu hanya ada dirinya, kedua orang tuanya, dan pembantu.Milea dan Han
“Pernyataanmu tadi, apa bisa aku anggap benar?”Jean tertegun hingga menoleh Raja yang duduk di belakang stir. Dia mengulum bibir menunjukkan kalau sedang dalam kondisi panik dan bingung.“Aku tidak tahu harus menyebutmu apa? Adik tidak mungkin, teman terlalu aneh.”Jean mencoba sedikit mengelak dari pengakuannya ke Milea.“Berarti memang bagus pacar. Jadi, apa bisa jadi pengakuan untuk seterusnya?” tanya Raja lantas menoleh Jean.Jean benar-benar salah tingkah mendengar pertanyaan Raja. Dia memberanikan diri menoleh ke pemuda itu.“Jangan berharap banyak kepadaku. Aku memiliki banyak kekurangan termasuk mungkin takkan bisa memberikan cinta yang sempurna untukmu,” ucap Jean takut Raja kecewa.“Kamu tahu, tidak ada yang namanya cinta sempurna. Yang ada, saling melengkapi kekurangan masing-masing. Asal kamu mengizinkan, aku akan menerima semua kekurangan itu.”Raja menatap Jean penuh harap. Dia menyadari jika Jean seperti tidak tertarik dengan sebuah hubungan percintaan, tapi dia pun ta
“Apa kamu tidak merasa aneh jalan denganku?”Jean mengamati sekitar, banyak remaja memperhatikannya yang sedang jalan dengan Raja.“Kenapa aku harus merasa aneh?” tanya Raja balik dengan santai.“Karena kamu jalan dengan wanita yang layak jadi kakak, tante, mungkin mama.”Jean menjawab sambil menoleh Raja.Raja tertawa mendengar ucapan Jean, lantas membalas, “Untuk apa memikirkan pandangan orang yang tidak ada habisnya. Yang menjalani aku, kenapa mereka yang repot?”“Lagi pula sekarang kita hanya jalan, kalau kamu menerima perasaanku, aku malah akan menggandeng tanganmu lantas memberitahu mereka kalau kamu kekasihku, bukan kakakku, tanteku, atau mamaku,” ujar Raja lagi memberi clue ke Jean untuk merepon perasaan yang diungkapkan sebelumnya.Jean langsung berdeham mendengar ucapan Raja, bahkan mengulum bibir sambil memalingkan muka.Raja menoleh Jean yang memalingkan muka darinya, dia pun lantas kembali berkata, “Apa kamu yakin belum mau memutuskan? Tapi kalau belum juga tidak apa, aku
“Jean,” panggil Ive saat melihat putrinya sedang menuruni anak tangga.Jean yang sedang ingin ke dapur mengambil minum, akhirnya berbelok ke ruang keluarga untuk menghampiri sang mama dan papa.“Ada apa, Ma?” tanya Jean.“Duduklah sini,” pinta Ive sambil menepuk sofa di sampingnya.Jean menuruti ucapan sang mama, lantas menatap kedua orang tuanya bergantian.“Apa ada masalah, Ma?” tanya Jean agak cemas karena tak biasanya kedua orang tuanya memanggil sambil memperlihatkan ekspresi serius seperti itu.“Apa kamu sebelumnya menolak kencan buta karena sudah punya pacar dan pacarmu itu yang tadi pagi jemput?” tanya Ive memastikan sebelum bicara ke pembahasan lebih lanjut.Jean sangat terkejut mendengar pertanyaan Ive, membuatnya gelagapan karena bingung harus menjawab apa.Ive dan Alex saling tatap, mereka pun semakin yakin kalau memang benar pria yang menjemput Jean adalah pacar putrinya.“Sebenarnya, asal kamu suka, tidak masalah kamu mau pacaran sama siapa, mau nikah sama siapa. Mama da
“Lain kali jangan mendatanginya dengan alasan kamu merasa bersalah! Bukankah kamu seharusnya merasa bersalah karena mendekati kekasih adikmu sendiri.”Raja baru saja sampai rumah saat sang kakak juga sampai di rumah. Dia memperingatkan kakaknya itu agar tak mendekati Jean lagi.Saat Arthur hendak membalas ucapan Raja, Amanda sudah lebih menegur mereka berdua.“Kenapa kalian bersitegang lagi?” tanya Amanda sambil menatap kedua putranya itu.Raja dan Arthur menoleh bersamaan ke Amanda. Raja terlihat tak senang karena menyadari jika sang mama pasti akan membela kakaknya.Amanda menatap Arthur yang hanya diam, hingga tatapannya tertuju ke Raja.“Raja, mama mau bicara denganmu sebentar, bisa?” tanya Amanda dengan suara halus agar putranya tak salah paham kepadanya.Raja menatap sang mama, lantas mengangguk karena tak bisa menolak permintaan wanita itu.Raja pun mengikuti sang mama yang berjalan lebih dulu di depannya. Dia mengikuti hingga sang mama masuk ke ruang kerja ayahnya.“Mama mau b
“Yang ini nanti kamu kirim ke bagian marketing. Jangan lupa minta untuk dicek ulang,” perintah Jean ke sekretarisnya.“Baik, Bu.” Sekretaris Jean mengangguk.Jean memberikan berkas yang baru dicek. Dia lantas kembali mengurus berkas lainnya yang bertumpuk di mejanya.Saat sedang fokus ke berkas, tiba-tiba saja telepon kabel di mejanya berdering, membuat Jean menjawab panggilan itu lebih dulu.“Selamat siang Bu Jean, ada seseorang yang ingin menemui Anda tapi belum membuat janji. Anda ingin menemuinya atau tidak?” tanya staff resepsionis dari seberang panggilan.Jean mengerutkan alis mendengar pertanyaan resepsionis.“Siapa?” tanya Jean penasaran hingga dia terdiam mendengar nama yang disebutkan resepsionis.Jean menutup panggilan itu, lantas memilih keluar dari ruangannya untuk menemui orang yang mencarinya.Jean pergi ke lobi, hingga melihat pria yang berdiri membawa sebuah paper bag.“Mau apa kamu menemuiku?” tanya Jean sambil menatap Arthur yang datang menemuinya.Arthur membalikka
Raja tersenyum melihat Jean keluar memakai celana. Dia tidak menyangka kalau wanita itu mau berganti pakaian hanya karena dirinya memaksa ingin mengantar.“Besok aku akan membawa mobil,” ucap Raja sambil menyodorkan helm ke Jean.“Kamu tidak perlu menjemputku setiap hari,” balas Jean sambil menerima helm dari Raja lantas memakainya.Siapa sangka Raja mendekat ke Jean, lantas membantu memasang tali pengaman helm.Jean cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Raja, tapi dia berusaha untuk tenang.“Aku suka melakukannya,” balas Raja setelah selesai memasang tali helm sambil menatap Jean.Jean mengalihkan pandangan dari pemuda itu, bahkan menggeser posisi agar tak terlalu dekat dengan Raja.“Bisa kita berangkat sekarang?” tanya Jean karena mulai salah tingkah melihat tatapan Raja.Raja hanya mengulum senyum, lantas naik ke motor disusul Jean. Pemuda itu pun melajukan motor meninggalkan rumah Jean.Di rumah, ayah Jean keheranan karena mobil putrinya masih di garasi.“Jean ke kantor naik ap
[Jill, jika ada yang menyukaiku, tapi tak sesuai ekspektasiku. Apa yang harus aku lakukan?]Jean mengirimkan pesan ke Jill karena tak tahu harus bagaimana mengatasi masalah yang sedang dialaminya.Jean duduk di kasur sambil menatap pesan yang baru saja dikirimkan ke Jill. Hingga beberapa saat kemudian pesan itu dibaca sepupunya itu.[Fokus pada keinginan awalmu, Jean. Baru kamu bisa memutuskan apa yang kamu inginkan.]Jean membaca pesan dari Jill, memang tak banyak membantu tapi setidaknya itu bisa membuatnya tenang. Dia pun mengirimkan balasan terima kasih ke sepupunya itu, lantas mengembuskan napas kasar.Hari berikutnya, Jean sarapan bersama kedua orang tuanya seperti biasa.Ive terlihat menatap Jean yang makan tanpa bicara, banyak perubahan yang membuat wanita paruh baya itu sedih.“Akhir minggu ini, bagaimana kalau kita Me Time bersama, Jean?” tanya sang mama ingin kembali mempererat hubungan keduanya.Jean memandang sang mama, lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis.