“Sudah lebih baik?” tanya Aruna saat bersama Ansel di kamar.Ansel menganggukkan kepala, lantas berbaring di ranjang.Aruna ikut berbaring miring agar bisa menatap wajah suaminya.“Besok aku akan menemui pria itu, aku tidak bisa membiarkannya terus membayangi kehidupan kita dan Emi,” ujar Ansel.Ansel merenung setelah bicara dengan Emily. Dia tidak ingin putrinya itu menjadi tempat meluapkan amarah karena emosi ke Emilio. Dia tak ingin sampai menyakiti hati putrinya itu.“Aku temani,” ucap Aruna.“Tidak usah. Aku ingin bicara berdua dengannya sebagai pria,” tolak Ansel karena tak ingin Aruna terlibat.“Tapi, Ans. Aku takut kamu melakukan hal-hal di luar batas. Jika emosimu meluap, siapa yang akan menahanmu?” tanya Aruna cemas.“Aku pergi bersama Rio, jadi kamu jangan cemas. Ada Rio yang bisa mengingatkanku untuk tetap menjaga batasan,” jawab Ansel menjelaskan agar Aruna tak ikut.“Apa kamu yakin?” tanya Aruna masih tak percaya.“Percayalah kepadaku,” balas Ansel meyakinkan.Aruna mena
“Apa yang kamu katakan? Katakan dengan jelas!” Emilio membentak karena tak percaya dengan yang didengar. “Nyonya pergi dari rumah sejak beberapa jam lalu, Tuan. Kami benar-benar tidak tahu kalau dia pergi,” ucap pelayan Emilio dari seberang panggilan. Emilio pun mulai panik karena tak biasanya Grace pergi saat check up. Ansel pun menerima panggilan dari Aruna. Dia mendengar istrinya itu menangis. “Apa kamu yakin? Kamu sudah pastikan, mungkin dia ke kamar kecil atau bermain di halaman sambil menunggumu datang,” ujar Ansel bicara sedikit menjauh dari Emilio. “Aku sudah mencarinya, Ans. Wanita itu membawa Emi, kamera Cctv di sekolah merekam wanita itu mengajak Emi pergi.” Ansel meradang mendengar ucapan Aruna, satu telapak tangannya mengepal erat mendengar Emily dibawa pergi. “Aku akan segera ke sana,” ujar Ansel masih bersikap tenang saat bicara dengan Aruna. Ansel mengakhiri panggilan, tapi setelah itu dia langsung memukul Emilio yang baru saja mengakhiri panggilan. Emilio te
“Bibi tidak bohong, kan? Kemarin Bibi bohong, ga izin ke Papi. Papi jadi marah,” ucap Emily sambil menatap Grace yang sedang menyetir. “Ga bohong. Nanti Mami dan Papi juga pasti nyusul. Sekarang Emi pergi dulu sama bibi,” jawab Grace memastikan. Emily sedikit cemas, tapi Grace tadi mengatakan jika kedua orang tuanya akan menyusul. Emily pun diam sambil berdoa Grace tidak berbohong lagi. Grace mengajak Emily ke sebuah restoran bintang lima. Di sana dia mengajak gadis kecil itu masuk ke private room yang ada di sana. “Kenapa sepi?” tanya Emily saat melihat tidak ada siapa pun di ruangan yang dipesan Grace. Grace tersenyum sambil masih menggandeng tangan Emily. “Ya, karena hanya Emi yang datang merayakan bersama Bibi,” kata Grace sambil mengajak Emily masuk. Dia juga dengan sengaja mengunci ruangan itu agar tak ada yang mengganggu. Emily bingung kenapa Grace mengajaknya ke sana, belum lagi di sana ada kue ulang tahu juga hiasan ruangan yang penuh dengan balon. “Emi, Emi tiup lilin
Emilio duduk dengan cemas menunggu orang suruhannya memberi kabar. Bahkan dia mengabaikan rasa sakit di seluruh wajah karena pukulan Ansel. [Saya sudah menemukannya, Tuan.] Emilio akhirnya mendapat pesan dari orang suruhannya yang melacak mobil Grace. Mobil sang istri memang diberi pelacak untuk memudahkannya mencari jika Grace tiba-tiba tak bisa dihubungi. [Awasi tempat itu, jika Grace tampak pergi dari sana, segera hubungi! Aku akan segera ke sana.] Setelah mengirimkan pesan ke orang suruhannya, Emilio pun pergi begitu saja dari ruangannya untuk menemui sang istri yang diyakini membawa kabur Emily. Emilio berjalan menuju lift dengan terburu-buru. Dia lantas mengetik pesan ke nomor asisten Ansel yang didapatkannya dari orang suruhannya. [Aku menemukan di mana istriku, jika bosmu percaya kepadaku, datang ke sini.] Emilio mengirim pesan sambil memberikan alamat restoran tempat Grace kini berada. Emilio pergi bersama sopirnya. Dia duduk dengan gelisah sambil menatap layar ponseln
“Grace.” Emilio mendekati Grace dengan perlahan. Grace memeluk Emily semakin erat. Dia terlihat takut kalau suaminya itu mengambil Emily darinya. “Mau apa? Dia anakku, jangan ambil dia.” Grace mencoba menyembunyikan Emily dari suaminya. Aruna menggenggam erat tangan Ansel. Dia takut kalau Grace melakukan sesuatu ke Emily, apalagi sekarang gadis kecil itu tak bergerak sama sekali membuatnya begitu cemas. “Tidak, aku tidak akan mengambilnya,” ujar Emilio membujuk. Emilio menoleh ke kue yang sudah bercampur lilin, lantas menatap Grace yang sedang membelai Emily. “Dia ulang tahun hari ini, kan?” tanya Emilio mencoba mengalihkan perhatian Grace agar bisa mendekat. “Iya, kamu lihatkan aku menyiapkan kue, balon, juga hadiah untuknya,” jawab Grace mau menanggapi ucapan Emilio. Emilio tersenyum agar Grace merasa tenang. Sikap Grace yang seperti sekarang ini, sama dengan enam tahun lalu setelah satu bulan kehilangan calon anak mereka. “Kuenya cantik, pasti Emi senang, kan?” tanya Emili
“Emi, bangun.” Ansel menepuk pipi Emily untuk membangunkan saat mereka sudah berada di mobil. Emily tak bereaksi sama sekali, membuat Ansel semakin cemas. “Kenapa Emi tidak bangun? Biasanya Emi mudah dibangunkan,” ucap Ansel sambil menatap Aruna dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan dari tatapan matanya. “Kita ke rumah sakit, ada kemungkinan Emi diberi obat tidur. Kamu dengar tadi wanita itu bilang kalau dia membuat Emi tidur karena terus rewel,” balas Aruna yang juga cemas. Ansel pun berpikir demikian. Dia pun meminta Rio untuk mengantar mereka ke rumah sakit tempat Sashi bertugas. Ansel menatap Emily sambil mengusap kening putrinya itu. Dia begitu takut jika terjadi sesuatu dengan Emily. Rio mengemudikan mobil menuju rumah sakit. Saat sampai di sana, Sashi dan perawat sudah menunggu di IGD karena Aruna sudah menghubungi lebih dulu sambil menjelaskan kondisi Emily. “Baringkan di sini,” ucap Sashi saat mereka sampai di ruang IGD. Ansel membaringkan Emily perlahan, lanta
Grace berjalan keluar dari lift. Perutnya terlihat besar karena dia sedang hamil delapan bulan. Grace berjalan sambil sesekali mengusap perut, satu tangan menenteng paper bag berisi kotak makanan untuk suaminya. “Siang, Nona.” Staff Emilio menyapa Grace yang berpapasan dengannya. Grace mengangguk dengan senyum ramah. Dia terus mengayunkan langkah riang, meski perutnya besar dan mudah lelah saat berjalan. Grace sudah sampai di depan pintu ruangan Emilio. Dia tidak mengetuk pintu, tapi langsung membuka pintu itu. Namun, baru saja Grace membuka sedikit pintu ruangan itu, dia berhenti mendorong saat mendengar percakapan suaminya dengan pengacara pribadi Emilio yang tak lain Citra. “Tidak bisa, kamu gugurkan kandungan itu. Grace hampir melahirkan, aku tidak mau jika dia sampai tahu soal hubungan kita.” “Kamu tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Kita melakukannya atas kesadaran kita, bagaimana bisa kamu sekarang lepas tanggung jawab!” “Bukankah aku sudah bilang, ini kesalahank
“Lalu maksudmu sekarang apa? Kamu tahu jelas jika itu salahmu. Kalau kamu bisa menahan perilakumu, kamu juga tidak akan terjebak masalah seperti ini.”Aruna mendengar suara Emilio, hingga dia keluar lantas mendengarkan cerita pria itu.“Kamu tahu istrimu sakit, tapi bagaimana bisa kamu membiarkannya pergi begitu saja sendirian. Bagaimana kalau dia melukai orang lain?” Aruna terus bicara untuk meluapkan kekesalannya.“Kupikir dia sembuh. Dia meminta agar bisa kembali menata hidupnya yang baru. Aku benar-benar tak menyangka kalau Grace ternyata mencari tahu soal Emily,” balas Emilio menjelaskan.“Meski kamu ayah kandungnya, tapi kamu tidak pernah berhak memilikinya,” ucap Ayana.Emilio menatap satu persatu orang di sana. Dia pun mengembuskan napas pelan.“Aku tidak pernah bermaksud mengambil Emi dari kalian. Aku menyadari kesalahanku sejak tahu Citra meninggal, aku tidak mungkin bisa membalikkan semuanya, meski aku sudah berusaha memperbaikinya,” ucap Emilio dengan ekspresi wajah penuh