"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Hua Lin sambil menatap Jing Ling dan Hua Fei secara bergantian. "Benar juga, ya?" Jing Ling menyahut. "Bagaimana cara melewatinya?" "Ini bagian tersulitnya." Hua Fei memang sudah menyadari sejak awal. "Menaklukan hati pamanku itu tak ubahnya seperti melelehkan es di musim dingin." "Lalu, bagaimana menurut kalian?" tanya Jing Ling sambil membaca ulang tulisan dalam kertas selebaran. "Selain hadiah tael emas yang sangat banyak ini, tujuan kita adalah belajar di akademi kekaisaran. Kita bisa belajar tanpa biaya selama tiga tahun penuh!" "Memang sangat menggiurkan. Tetapi bagaimana caranya agar pamanku menyetujui rencana kita?" Hua Fei menjadi bingung dibuatnya. Hua Lin tiba-tiba saja berseru, "Eeh, Ah Ling! Bagaimana kalau ...." Baru saja Hua Lin hendak mengutarakan gagasannya, pintu kamar secara tiba-tiba diketuk dari luar, pada saat mereka tengah sibuk memikirkan cara dan alasan untuk meminta ijin yang tepat agar direstui oleh Hua Yan. "Siap
Hua Fei tertegun. "Ular-ular itu ...." Hua Fei mau tidak mau harus berkata jujur tentang ular-ular tangkapan mereka yang semuanya telah mati tak tersisa satu pun yang hidup. Walau betapa sedihnya perasaan hati Jing Ling, tetapi ia tidak menyalahkan Hua Fei atas kejadian tersebut. "Sudahlah, Kak Fei. Sepertinya keberuntungan memang masih belum berpihak kepada kita," ujar Jing Ling dengan bisikan lirih, mengandung kesedihan. Tetapi ia juga tahu, kalau Hua Fei juga merasa sangat bersalah atas hal tersebut. Jing Ling lalu berbisik, "Kita adalah laki-laki yang tidak boleh meneteskan air mata hanya untuk menangisi binatang-binatang itu. Bukankah kita masih bisa menangkapnya di lain waktu?" "Benarkah kamu tidak apa-apa dengan matinya mereka?" Hua Fei masih meragukan ucapan Jing Ling dan takut jika itu adalah ucapan penghibur semata. "Iya, Kakak Fei. Aku sudah tidak apa-apa. Percayalah!" Jing Ling berusaha tersenyum hanya untuk membuat Hua Fei tidak merasa bersedih lagi. Jing Ling tidak
"Benar, kita memang harus melenyapkan anak itu dengan kemampuan kita," bisik Hua Fei dekat di telinga Jing Ling dan Hua Lin. "Kakak Fei, bukankah itu sangat kejam?" Jing Ling merasa terkejut mendengar ucapan Hua Fei yang sepertinya itu bukanlah kebiasaannya. "Memang sangat kejam!" Hua Fei tersenyum. "Tapi itulah cara agar dia mau mengerti kalau kita tidak bisa diremehkan dengan seenak hati." "Caranya?" bertanya Jing Ling dengan rasa penasaran. Hua Fei lalu menjawab sambil terus berjalan. "Hanya satu!" Hua Lin hanya mengeluarkan desah napas dan suara gumaman sembari menggelengkan kepalanya. Ia lebih memilih menjadi pendengar setia tanpa banyak bicara. "Cepat katakan, Kakak Fei! Mengapa kamu ini suka sekali mengulur waktu?" Jing Ling mulai tidak sabar menunggu ucapan Hua Fei yang bertele-tele. "Aaah, dasar kamu ini. Selalu saja tidak sabaran," ujar Hua Fei masih tetap dengan nada bicara tenang. "Caranya adalah, kita harus giat belajar dan tidak meladeni apa pun kelakuannya terha
Ketegangan jelas mencengkeram kuat dalam hati ketiga anak lelaki yang hanya bisa diam seribu bahasa. Debar jantung sudah mulai terasa lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka pun tak bisa berbalik pergi atau bersembunyi. Jika memang harus bertemu dengan Jing Yangxi, maka mereka pun bertekad akan menghadapinya. Jing Yue sudah meletakkan telapak tangan kanannya pada lingkaran logam kuningan yang dijadikan pegangan pada permukaan daun pintu. Ia hanya bisa mengulas senyum setipis kertas tanpa diketahui oleh anak-anak di belakangnya. "Semoga mereka terkejut kali ini," bisik Jing Yue sambil masih tersenyum diam-diam. Namun dengan wajah-wajah cemas mereka, wanita itu menjadi sangat heran. "Heeeehh!" Helaan napas panjang mengiringi gelengan kepala wanita tercantik di wilayah selatan. Ia berbisik dalam hati. "Apa yang dipikirkan oleh anak-anak itu?" Pintu ruangan dibuka secara perlahan dan langsung menampilkan seorang pria berjubah biru muda yang sudah mendahului duduk pada salah satu ku
Sedikit ketegangan mewarnai suasana hati ketiga lelaki muda berwajah manis tersebut. Mereka berusaha menyadarkan diri untuk mendengar apa yang akan disampaikan oleh Hua Yan. Walau mereka sangat ingin bertanya, tetapi tentu saja tidak memiliki secuil pun keberanian sama sekali. Hanya diam menunggu, mungkin itulah yang dapat dilakukan oleh ketiganya. Hua Yan bukan tidak mengetahui tentang apa yang selalu dipikirkan oleh anak-anak kesayangannya. Pria itu kemudian mengambil selembar kertas dengan bentuk, rupa dan warna yang sama persis dengan selebaran kompetisi tahunan. "Benda itu! Bukankah mirip dengan selebaran yang tadi aku dapatkan?" Hua Lin berseru sambil memerhatikan benda yang sekarang dipegang oleh kakak sepupunya. "Bagaimana ini?" Hua Lin bertanya dalam hati dengan perasaan cemas. Hua Yan meletakkan benda tersebut di atas meja. Suara tenang dan datarnya pun seketika terdengar. "Kalian sudah mengetahui tentang selebaran ini dan tentunya kalian juga sangat ingin mengikutinya."
"Tunggulah sampai kalian bertiga mampu menguasai Ilmu Dewa Petir, setidaknya mencapai tingkat kelima." Hua Yan menyambung ucapannya. "Tidak untuk tahun ini?" Hua Fei terkejut. "Dan mempelajari Ilmu Dewa Petir itu teramat sulit, Paman!" "Sampai menguasai Ilmu Dewa Petir hingga tingkatan kelima?" Jing Ling merasa ini terlampau berat. Ia terlalu sibuk menghitung dengan jemari kecilnya. "Ilmu Dewa Petir? Bukankah itu sangat sulit, Ayah?" "Benar. Itu memang sangat sulit, dan kalian harus mempelajarinya mulai dari sekarang. Satu tahun untuk satu tingkat sampai kalian bisa menguasai hingga tingkat terakhir." Jawaban Hua Yan sungguh membuat perasaan ketiganya semakin kecewa. "Apa? Bukankah itu artinya enam atau tujuh tahun lagi untukku dan Paman Kecil?" Hua Fei merasa sangat kecewa atas keputusan Hua Yan. "Dan sepuluh tahun lagi untuk Adik Ling." "Ayah, bukankah itu sama artinya kalau kami tetap tidak diijinkan untuk ikut kompetisi tahun ini sampai delapan tahun kemudian?" tanya Jing Li
"Tujuh belas tahun ini ... tentu dia sudah besar dan tumbuh hampir setinggi kakaknya. Dia juga pasti memiliki kemiripan denganku." Lelaki tampan bermata teduh berkata-kata sendiri sambil masih terus menatap rupa bulan dengan perasaan hampa. Namun, yang terbayang di matanya adalah kobaran api dan ceceran darah yang tertumpah di mana-mana. Telinganya bahkan masih dengan sangat jelas mendengar hiruk-pikuk jerit kesakitan, raung kemarahan dan erangan sekarat dari orang-orang yang tertusuk ujung mata tombaknya. "Aku seorang pendosa!" Pria itu merasa terhenyak hingga tubuhnya terhuyung, lalu jatuh berlutut di atas tanah, dan sedikit menimbulkan suara debuman kecil yang hanya terdengar oleh pendengarannya sendiri. Sepasang lututnya mungkin sakit dan memar, tetapi lebam dalam hati masih seratus kali lebih menyakitkan. Badan pria itu memang tampak gagah perkasa, tetapi jauh di lubuk sanubari dia merasa sangat rapuh. Tidak ada orang lain mengetahui akan beban beratnya, selain hanya dia send
"Tentu saja, tidak. Itu adalah kebenaran!" Yan Chao merasa sedikit cemas dan takut jika tuannya ini akan merasa tersinggung. "Semua yang saya katakan adalah benar." Yan Chao melirik kecil. Ada sedikit kecemasan jika Pangeran Han Yujie tidak senang dengan ucapannya. "Baiklah. Tetapi untuk dapat mengalahkan juara pertama tahun lalu, sepertinya aku harus tetap berusaha keras untuk berlatih." Pangeran Han Yujie meletakkan kuasnya di tempat dudukan kuas. "Pangeran pasti bisa melakukannya. Eh, maksud saya adalah ... Pangeran pasti bisa menjadi yang terbaik di kompetisi tahun ini." Yan Chao berkata memberi semangat. "Sepertinya kamu yakin sekali, Kakak Chao." Pangeran Han Yujie tersenyum tipis, sebelum senyum itu sirna akibat suara teriakan Han Yuze. "Kakaaak!" Han Yuze berlari-lari kecil sembari membawa tombak mainannya. Ia lalu menjatuhkan diri dan bersimpuh di samping Pangeran Han Yujie. "Kaaaak! Kakak mengabaikan aku sejak tadi. Ayolah, Kak. Temani aku bermaiiiin!" rengek Pangeran
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa