Arlan gugup dan keringat dingin. Dia tidak tahu harus menjawab apa."Ya sudah, kalau kamu tidak mau bicara. Mungkin kamu capek, lebih bagus istirahat saja terlebih dahulu."Sementara aku, masih tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak ingin pernikahan kedua ini kandas lagi atau pun lebih menderita. Aku duduk termenung di depan ruangan kamar Bu Aisyah. Pikirku melayang tidak terarah. Jiwaku nelangsa."Maafkan aku telah menoreh luka di hatimu."Aku mendongak lalu melihat ke asal suara itu. Setelah melihat raut wajahnya Arlan sedih, aku menunduk lalu menatap lantai."Aku tahu kamu masih merah padam samaku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Sudahi kesedihanmu! Aku mau kamu tersenyum seperti pertama kali aku melihatmu."Arlan menyodorkan tissu. Namun, aku tidak ada sama sekali menggubrisnya. Apakah aku terlalu egois dan tidak mau menerima perminta maafannya? Atau aku sudah tidak ada lagi rasa percaya kepada seorang pria yang ingin menjadikanku sebagai bidadari surganya? Akh! Aku
Arlan diam. Dia menunduk lalu mengusap lehernya. Merasa bersalah menghantui pikirannya."Kenapa kamu diam? Terlalu sadis ucapanku?" sindirku."Aa-anu ..., Kerongkonganku kering mau minum. Aku ke kantin dulu beli air mineral.""Dasar pengecut!"Arlan pergi begitu saja. Aku beranjak dari tempat duduk lalu masuk ke dalam kamar Bu Aisyah.****"Bagaimana kabar ibu?" sapaku sambil mencium keningnya.Aku kembali berdiri kemudian duduk di samping brangkar."Alhamdulillah sudah mulai membaik."Bu Aisyah menatap langit-langit kamar lalu meneteskan air mata.Aku sempat berpikir, kenapa beliau buang muka setelah aku datang? Tidak biasanya Bu Aisyah seperti ini.Aku beranjak lalu berjalan mengitari brangkar."Ibu kok sedih?" tanyaku lirih.Bu Aisyah memejamkan mata lalu menuang muka ke arah kiri.Ada apa gerangan? Apakah Arlan telah melukai perasaan ibu? Aku berpikir keras untuk mencari jawaban dari setiap gerak-gerik ibu mertuaku. Eh, salah deng. Maksudnya mantan ibu mertuaku.Hanya hening yang
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 46: Benda apa ini?Di ujung pojok, tepi ranjang. Lala masih malas untuk beraktifitas. Namun, Rusly sudah rapi untuk datang ke rumah sakit."Kamu kok masih rebahan?" celetuk Rusly. Dia sambil menyisir rambut. Ekor matanya sesekali melirik ke arah Lala."Ee-mangnya kita mau ke mana?" tanya Lala. Dia pura-pura lupa. Raut wajahnya heran seolah tidak tahu apa-apa."Masa kamu lupa?!" celetuk Rusly dengan menaikkan nada tidak seperti biasanya.Wajah tampan Rusly kini berubah kecut. Dia sangat kesal melihat Lala. Semenjak menikahi Lala ada sejuta rasa yang ingin dia gali. Terutama masalah kehamilan Lala. Dia memang pada saat itu khilaf. Itu sebabnya terpaksa melakukan hal yang tidak diinginkan. Masalahnya, masa cuma sekali khilaf, bisa seperti itu."Kamu kok diam?" bisik Lala tepat di daun telinga suaminya. Dia memeluk dari belakang. Spontan Rusly terkejut dan kaget."Ya ke rumah sakit lah!"Pertanyaan itu sangat menhantui pikirannya. Dia mulai berpikir
"Sayang buruan dong!""Iya."Rusly menunggu di atas ranjang sambil memainkan gawai miliknya. Tiba-tiba, ponsel milik Lala berdering.Rusly merasa heran dan penasaran. Perlahan dia bangkit lalu menghampiri ponsel itu. Dia melihat layar gawai itu tertulis Pak Eko memanggil. Rusly merasa curiga, dia menggeser tombol mirip gagang telepon ke arah kanan."Sayang, kamu kok nggak ada kabar?"Deg!Rusly merutuk, wajahnya memerah. Dia mengepalkan tangan ingin memukul pria yang berbicara di belahan bumi yang lain."Kamu kok, diam! Susunya Andri sudah habis total. Dia dari tadi menangis. Kapan kamu transfer uangnya? Aku tidak tahan mendengar suara Andri meraung terus."Suasana hening, Rusly bergeming. Dia menautkan satu alis ke atas."Pokoknya aku tidak mau tahu, segera transfer uangnya sesuai janjimu!"Rusly masih terus mendengarkan cloteh pria yang berada di ujung sebrang sana."Sayang, kamu bicara sama siapa? Bukannya itu gawaiku?" tanya Lala spontan.Tiba-tiba, Lala datang dengan pakaian handu
"Ya wajar dong, seorang paman minta uang samaku. Lagi pula, dia yang sudah merawat aku sejak kecil."Lala terpaksa berbohong. Dia takut kalau rahasianya terbongkar."Aku tidak percaya. Sini ponselmu!""Ka-kamu mau ngapain? Nggak usah telelepon pamanku.""Kalau kamu tidak mau jujur dan meneleponnya, berarti pria itu suamimu."Rusly menatap tajam, dia sudah mencoba sabar. Namun, Lala tetap berkelit dan menutupi kebohongannya.Mau tidak mau, Lala terpaksa memberikan gawainya kepada Rusly."Ii-ini."Lala terpaksa dan pasrah begitu saja.Rusly mengotak-atik ponsel milik istrinya. Namun, dia mengerutkan dahi."Sejak kapan ini dikunci?" tanya Rusly heran."Sejak lama.""Serius?""Ya.""Silakan buka kuncinya!"Lala bangkit lalu menerima gawai miliknya. Sebenarnya dia tidak mau melakukan itu. Akhirnya, dia pasrah begitu saja. Apapun itu nanti hasilnya."Sudah."Rusly menerima ponsel milik Lala lalu memanggil kontak Pak Eko. Namun, tidak dapat lagi dihubungi.'Kamu kira bisa menelponnya? Kamu t
'Aku harus mencari ide agar rencana Rusly gagal.'Akhirnya Lala diam dan pasrah. Namun, otaknya terus berpikir untuk melahirkan ide.Mau tidak mau, Rusly menarik paksa lengan istri ke tiganya. Padahal tadi, dia mau ke rumah sakit membesuk ibunya. Tidak tahu kenapa, semua berubah haluan."Sayang, yakin mau ke rumah pamanku?" tanya Lala.Dirinya kini seperti seekor kerbau yang ditarik paksa oleh tuannya."Ya.""Ke-kenapa harus ke sana? Hari ini 'kan jadwalnya mau ke rumah sakit. Terus nggak ke sana dulu besuk ibu.""Tidak."Tidak berapa lama, Rusly dan Lala sampai di halaman rumah. Rusly membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. Tidak buang-buang waktu, Rusly menyalakan mesin mobil. Setelah semua aman. Dia menyuruh Lala masuk ke dalam lewat pintu samping.Lala mengikuti perintah Rusly. Kali ini dia tidak berani membantah.****Sesampainya di depan rumah repot, Rusly menatap ke arah Lala."Apa benar ini rumahnya?" tanya Rusly parau."Ya."Kali ini Lala enggan membuka mulut. Apa yang ditan
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 47: Lala Pergi SelamanyaPak Eko lari sudah tidak berkutik. Tubuhnya dikunci kuat sama Rusly.Di samping mobil, Lala sudah meringkuk kesakitan. Dia terus minta tolong agar dirinya diselamatkan."To-tolong," ucap Lala lirih.Darah terus mengalir membuat Lala semakin lemah seolah tidak berdaya. "Dasar kamu sudah gila! Kamu lebih mementingkan aku dari pada istrimu! Cepat larikan Lala ke rumah sakit," sindir Pak Eko.Rusly melepaskan Pak Eko lalu berlari menghampiri Lala."Sayang, aku yakin kamu pasti kuat. Ayo kita ke rumah sakit."Rusly menggendong tubuh istrinya dengan sedikit kesulitan. Darah segar masih terus mengalir. Wajah Lala semakin pucat. Tangan kanannya dia lingkarkan ke leher Rusly dan tangan kirinya dia memegang perutnya yang kena tusuk."Maafkan aku, sayang. Aku sudah banyak salah selama ini. Tolong maafkan diriku yang sudah berdusta kepadamu."Kaki Rusly terhenti mendengar perkataan istrinya. Namun, dia tetap menggendong tubuh istrin
Seminggu setelah kepergian Lala, Rusly tidak mau makan, minum, mandi bahkan rambut dan kumisnya sudah tidak pernah dicukur. Kepergian Lala membawa malapetaka baginya."Kamu masih memikirkan Lala?" tanya Ririn.Ririn merasa senang atas kepergian Lala. Dia sekarang memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan harta kekayaan milik suaminya.Rusly masih saja bergeming sambil menatap lekat foto Lala. Ririn terbakar api cemburu melihat tingkah suaminya."Move on, Bang! Lala itu sudah tiada. Dia hanya kenangan pahit di masa lalu!" pekik Ririn.Rusly menoleh ke arah Ririn. Ririn merasa takut melihat sorot mata suaminya. Perlahan, Ririn bringsut dengan wajah takut. Dia tidak berhenti berdoa agar suaminya tidak melakukan hal yang aneh."Ini semua pasti gara-gara kamu, Rin!" bentak Rusly. Dia melempar figura yang dipegangnya ke sembarang tempat.Ririn terkejut dan merasa shock melihat keadaan yang ada."Pergi dari sini! Kamu sudah melenyapkan nyawa istriku!"Rusly mengacak-acak rambutnya s
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai