Aku mundur beberapa langkah saat tiba-tiba Mbak Ulfa tersungkur di kakiku seraya memohon mohon agar aku mengizinkannya menginap di rumah ini. Dan aku tetap pada pendirianku. Sekali tidak tetap tidak. "Aku mohon, Nes. Izinkan aku dan Zanna di sini sebentar saja."Embah kesambet setan apa kakakku ini. Dia yang biasanya angkuh tiba-tiba rela merendahkan diri seperti ini demi dapat izin inap. Yang lebih membuatku tercengang aku melihat bahunya naik turun. Dia menangis? Seingatku, selama 23 tahun aku tidak pernah melihatnya menitikkan air mata kecuali saat aku dapat ranking satu di kelas dan dia dapat ranking dua dari belakang. Dia yang masih memakai seragam merah putih itu menangis meraung-raung minta tukar ranking denganku. Ada-ada saja dia. Aku menghela napas. "Bukannya aku kejam, tetapi aku hanya takut Mbak Ulfa nggak bisa tidur dan akhirnya sakit? Siapa yang susah? Akuuuuu juga." Sayup-sayup terdengar azan Magrib dari masjid yang tidak jauh dari rumah kami. "Kamu dengar sendiri,
Pov UlfaSejauh apa pun kau melangkah pada akhirnya rumah tetaplah menjadi tempat yang paling nyaman terlepas dari segala masalah yang mendera. Aku sudah berada di rumah ibu selama beberapa hari dan rasanya kurang nyaman. Ibu yang selalu berteriak saat Zanna membuat ribut ketika baterai di ponselnya habis, ayah yang selalu uring-uringan karena tidak punya uang dan tidak bisa bekerja untuk sementara waktu menjadi alasan kenapa aku tidak betah lagi di rumah yang penuh kenangan itu. Selain itu, Zanna juga sering rewel akibat makanan yang tersedia berbeda jauh dengan yang ada di rumah Mas Romi. Selain makanan, tempat tidur juga berbeda. Anakku satu-satunya itu sudah terbiasa tidur di atas spring bed yang empuk tentu saja merasa kurang nyaman saat harus tidur di atas kasur biasa yang isinya kapas dan sudah mengeras sehingga selalu ada drama menjelang tidur dan aku capek menghadapinya. Di rumah Ines, aku juga kurang nyaman karena setiap saat mataku terasa sakit melihat kemesraan mantan k
Aku mengibaskan tangan yang baru saja terkena goresan pisau lalu berlari ke wastafel untuk mencucinya. "Ada apa, Nes?" tanya Bu Mila seraya mematikan kompor untuk sementara dan menghampiriku. Wanita berhati lembut itu pasti tidak mendengar ucapan Bu Nursih yang membuatku terluka ini. Suasana di dapur yang berisik dengan adanya suara orang memarut kelapa dan bunyi minyak panas yang meletup-letup saat saat Mbak Isna menggoreng ayam ditambah lagi wanita itu terus bersenandung menyanyi lagu dangdut membuat ibu tidak bisa ikut mendengar ucapan Bu Nursih."Nggak apa-apa, Bu. Hanya terkena pisau sedikit." Aku meringis. Meski luka itu tidak terlalu lebar tetapi rasanya tetap perih apalagi saat terkena getah bawang merah tadi. "Maafkan Ibu yang lupa memberi tahu untuk hati-hati. Pisau itu masih baru, tajam banget. Ya udah kamu istirahat aja biar nanti dilanjutkan sama Isna setelah selesai menggoreng ayam," kata Bu Mila. Wanita berjilbab instan ungu itu mengulurkan obat merah dan plaster
"Kandungan Bu Ines lemah. Akan saya beri vitamin penguat kandungan dan tolong istri bapak jangan sampai terlalu lelah. Harus banyak istirahat. Apalagi tensi darahnya juga agak tinggi." Kata-kata dokter waktu itu kembali terngiang di kepala. Aku tidak boleh sampai kelelahan jika ingin kandunganku baik-baik saja. Iya, bekerja menjadi pedagang bakso ini memang cukup menguras energi terlebih saat pelanggan ramai seperti ini meski bagianku hanya menjadi pembuat es jeruk dan es teh. Mas Ramzi terlihat kewalahan melayani pembeli karena biasanya dia dibantu Arjun, tetapi sekarang lelaki kepercayaan kami itu meng-handle minuman. Dalam hati aku bersyukur karena usaha kami semakin maju. Warung cabang yang baru buka sebulan yang lalu juga sudah mulai memiliki pelanggan. Semoga semakin hari semakin banyak. Seorang wanita yang baru saja turun dari mobil menghampiri Mas Ramzi yang sedang meracik bakso untuk pelanggan. Aku dapat melihat dengan jelas karena saat ini sedang berdiri tidak jauh dar
PoV Ramzi"Ramzi, apa yang kamu lakukan pada anakku sehingga dia pulang dalam keadaan menangis?" Aku terpelongo melihat kedatangan wanita yang sebenarnya usianya sudah tidak muda lagi, tetapi tidak mau disebut tua itu. Iya, wanita yang tengah menatap tajam padaku itu adalah Bu Ambar--ibunya Ririn. "Apa yang aku lakukan, Bu? Aku tidak melakukan apa pun. Kalau Ibu tidak percaya bisa tanya pada orang-orang yang ada di sini." Aku menatap para pelanggan yang sedang menikmati bakso buatanku. Bu Ambar mengamati dengan saksama suasana di dalam warung. "Tadi Ririn pamit akan datang ke sini dan saat pulang malah nangis. Apa yang kau lakukan? Apakah kau tidak khawatir dia bisa celaka saat mengendarai mobil dalam keadaan yang sedang tidak baik-baik saja?" Aku menghela napas perlahan. Sudah kubilang aku tidak melakukan apa pun dia masih saja bertanya. Aku memintanya untuk duduk agar bisa bicara lebih enak. Lalu kuambilkan minuman teh hangat. "Jadi, begini, Bu." Aku menjeda ucapanku sebentar
Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)[Bagaimana rasanya saat diusir dari tempatmu biasa berjualan? ]Ramzi mengerutkan dahi membaca pesan dari orang tidak dikenal itu. Dia menggeleng dan malas menanggapinya. Ada hal lebih penting yang harus ia selesaikan hari ini. Ramzi sudah selesai mengangkut semua barang miliknya yang ada di warung. Mobil pick up hitam sudah terisi penuh oleh gerobak bakso plus printilannya, serta meja kursi yang jumlahnya tidak sedikit itu."Lho, mau ke mana, Ram?" tanya pedagang roti bakar yang kiosnya berada di samping warung Ramzi. "Aku mau pindah, Wan," jawab Ramzi seraya menaikkan barang yang masih tersisa. "Pindah? Ke mana? Dan kenapa?" tanya lelaki bernama Iwan yang memakai celemek itu. Ramzi tersenyum kecut. Ia pandang teman seperjuangannya yang sangat baik itu. Sampai saat ini dia belum tahu hendak pindah jualan ke mana. Mencari sewa kios tidaklah mudah seperti membeli gorengan Terlebih yang loka
"Dengan senang hati aku akan membantumu, tetapi kamu harus meninggalkan Ines dan menikahi aku. Hidupmu akan terjamin setelah itu, Ram." Ramzi mendongak mendengar ucapan Ririn. Lelaki itu kembali mengusap pelipisnya yang bercucuran keringat. Ririn membuka kaca mata yang hanya untuk gegayaan itu lalu memakainya di kepala. "A--Aku." Ramzi menggaruk tengkuknya dan bicara dengan terbata. Ucapan Ririn yang akan membantunya membuat ia seperti orang linglung. Ririn tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan rapi setelah melakukan perawatan mahal di klinik kecantikan itu. Tangannya terulur dan menepuk pundak Ramzi dengan lembut. "Nggak usah buru-buru. Pikirkan baik-baik tawaranku ini dan satu yang harus kamu ingat, Ram. Kesempatan ini tidak akan dua kali. Kamu pasti tahu kalau aku punya banyak uang dan bisa melakukan apa pun dengan uangku itu." Ririn tersenyum. "A--Aku." Ramzi ingin mengatakan kalau dia tidak akan meninggalkan Ines yang sangat dicintainya, tetapi entah kenapa seolah
Hati Ririn berbunga-bunga melihat Ramzi meski hanya melalui video call. Senyum lelaki itu seolah mampu membangkitkan semangat. Dia bertekad tidak akan melepaskan lelaki itu setelah didapatkannya nanti. Ambar yang tadi bersama Ririn beranjak untuk membuat jus. "Halo, Ram." Ririn tersenyum. "Aku senang akhirnya kamu menghubungiku juga." "Iya, aku perlu menghubungimu karena ada hal yang ingin kubicarakan," kata Ramzi. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas tawaranmu itu." Ririn tertawa kecil. Ia mengubah posisi duduknya dengan menaikkan salah satu kakinya di atas meja. "Apa, sih, yang nggak buar kamu, Ram. Aku jamin kamu tidak akan menyesal meninggalkan Ines demi aku. Kamu bisa menempati kios itu secara gratis karena kios itu milik kerabat ibuku." Ramzi menatap Ines dan Mila secara bergantian yang ikut mendengar obrolannya dengan Ririn karena ia sengaja memakai mode loud speaker. Mila kesal melihat Ramzi yang tidak langsung berbicara ke intinya tetapi malah berbasa-basi mem