Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat. Terdengar deru sepeda motor dari arah depan. Seorang gadis berjilbab merah turun dari kendaraan roda dua berwarna biru itu. "Ibu?" Setelah membuka helm, gadis itu berteriak dan berlari lalu menuburuk ibu mertua yang sudah menghadangnya di depan pintu. Ada rasa yang aneh menjalar di hati kala melihat pertemuan antara ibu dan anak yang begitu mengharukan itu. Aku dan ibu kandungku tidak pernah sampai berpelukan meski sudah lama tidak bertemu. Setelah melepas rasa rindu yang membuncah pada sang ibu, Nella menyalami dan mencium tangan dengan takzim para kakaknya secara bergantian. Denganku juga tidak ketinggalan. Sejak aku tinggal di sini, ini untuk pertama kalinya Nella pulang. Dia duduk di bangku SMA kelas tiga dan tinggal di kost-an. Saat ini jarang pulang karena sedang persiapan ujian kelulusan. Suasana di rumah ibu semakin ramai setelah ada Nella. Gadis itu ternyata juga sangat menyenangkan."Kata Ibu, kamu dan Ramzi jualan bakso, ya?
"Ines dan Ramzi, kalian nggak usah pulang. Tidur saja di sini bareng-bareng," kata Bu Mila. "Iya, Bu. Aku juga kangen tidur sama Mas Akbar." Mas Ramzi mengangguk. What? Tidur bareng dengan para ipar dan juga ibu? Aku menggeleng.Sebelum tidur pasti akan banyak hal yang diceritakan seperti Mbak Ulfa yang selalu menceritakan pengalaman bekerja, hartanya yang melimpah, sering liburan di mana saja, tempat makanan favorit di mana dan aku hanya bisa gigit jari karena nggak ada yang bisa diceritakan. "Kamu kenapa, Nes? Kok mukanya pucat gitu? Nggak suka ya kalau harus tidur bareng kami?" tanya Mbak Divya. Wanita itu seolah tahu kegelisahanku. "Enggak." Aku meringis. "Tetapi kenapa kayak gelisah gitu?" "Dimaklumi aja, Mbak. Pengantin baru mana mau pisah sama suami tercinta," sahut Nella seraya mengedipkan mata. Dari tadi gadis itu terus menempel di lengan sang ibu. Pipiku menghangat, sudah pasti berubah merah. Bukan karena nggak mau pisah dari Mas Ramzi, tetapi minder. Sudah pasti nant
Aku pikir acara ulang tahun Ibu seperti acara ulang tahun pada umumnya yang menggunakan balon, kue ulang tahun lengkap dengan lilin sesuai dengan usia, dan segala printilannya. Akan tetapi ternyata tidak sesuai dengan dugaanku padahal aku sudah berburuk sangka. Membayangkan ibu mertua memakai balon karakter di kepala lalu meniup lilin di atas kue disertai tepuk tangan yang bergemuruh itu adalah sesuatu yang lebay menurutku mengingat ibu bukan anak kecil lagi. Konsep ulang tahun ibu mertua adalah pengajian dengan mengundang semua warga desa baik laki-laki maupun perempuan dan beberapa kerabat dekat serta anak yatim. Untuk makanannya juga pakai jasa catering sehingga tidak ada acara sibuk memasak. Semua terima beres. Ibu juga sudah menyiapkan beberapa amplop berisi uang untuk dibagikan pada anak yatim. Pantas saja hidup Bu Mila selalu damai dan bahagia. Rupanya ini salah satu rahasianya. Sedekah. Acara akan dimulai sebentar lagi. Snack box yang menggunung sudah siap. Para undangan
Aku bukanlah tipe orang yang sedikit-sedikit up date status baik di WA maupun Facebook. Kalau pun membuat status WA hanya untuk mempromosikan bakso yang kujual. Namun tidak dengan kegiatan sehari-hari yang terkadang tidak begitu penting untuk dibagikan. Beda dengan Mbak Ulfa yang rajin membuat status hingga tampilan statusnya layaknya benang jahit saking seringnya update. Mulai dari bangun tidur dalam pelukan suaminya, sarapan pagi dengan susu dan roti, mengantar anak sekolah mengendarai mobil, hingga nanti tidur lagi. Terkadang membuat status di jam 11 malam hanya berupa emoji mata melotot yang menggambarkan dirinya masih terjaga di jam tersebut. Kutatap nanar barisan huruf di layar ponselku yang baru saja dikirim Mbak Ulfa. Dahiku berkerut. Apa maksud kakak kandungku itu? Siapa yang pencitraan? Jika aku membuat status aku bahagia itu memang benar adanya. Bahagia tidak harus dengan memiliki suami dengan jabatan tinggi, naik mobil mewah, memakai tas dan baju branded, jalan-jal
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau pernah punya pacar yang bernama Ririn, Mas?" Mas Ramzi yang baru saja datang dan masih berdiri di depan pintu kamar itu tersedak. "Pacar?" "Iya, kamu pernah punya pacar bernama Ririn, kan?" Lelaki yang memakai kemeja warna sama denganku itu melepas peci dan meletakkan di dinding yang sudah ditancapkan paku. Lalu berbalik menatapku. "Emangnya kamu pernah tanya pacarku siapa saja? Enggak, kan?" "Siapa saja?" Aku mendongak. "Apakah itu artinya punya pacar lebin dari satu?" Mas Ramzi tertawa lebar. Lalu tangannya mengusap pipiku yang masih basah. "Ini kenapa? Nangis karena merasa dibohongi? Nggak nyangka suami yang hanya terlihat tampan di matamu ini juga pernah disukai wanita lain?"Aku mengerucutkan bibir. Kusilangkan tangan di dada dan menggeser duduk."Ya ya ya, baiklah aku akan memberi tahu siapa pacarku. Awalnya aku ingin merahasiakan ini semua, tetapi aku tidak mau membuatmu terus penasaran." Mas Ramzi duduk di ranjang dan merangkulku. "
Aku memilih untuk mengabaikan pesan dari Mbak Ulfa yang masih sudah pasti akan membuat mood-ku anjlok. Gara-gara dia aku jadi berprasangka buruk terus pada mertua dan ipar. Aku yang selalu dihina dan menjadi bahan perbandingan menjadikanku tidak percaya diri dan ternyata membangkitkan rasa percaya diri itu tidaklah mudah.Seolah otakku ini sudah di-setting sedemikian rupa agar menganggap makhluk bernama mertua dan ipar menyeramkan. Aku tersenyum melihat foto dan video kebersamaan dengan para ipar. Seingatku, aku tidak punya foto satu pun kebersamaan dengan Mbak Ulfa dan Ibu serta bapak. "Wah cantik sekali gamis ini," seru ibu. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu merentangkan gamis berwarna coklat yang merupakan kado hadiah ulang tahun dariku. Ah, aku malu mengatakan kado itu dariku karena pada kenyataannya uangnya dari ibu. Anggap saja ibu titip. Mbak Divya meraih gamis itu dari tangan ibu. " Kado dari siapa ini, Bu?" tanyanya seraya mengusap gamis itu. "Ini kado dari Ines,"
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu juga dengan para ipar yang sore ini akan berangkat kembali ke kota menjalani aktivitasnya seperti biasa. Mbak Divya terlihat cantik memakai gaun panjang polos warna ungu muda dan pashmina warna senada. Wanita itu tersenyum cerah seraya merentangkan tangan untuk memelukku. Bau harum parfum yang lembut begitu menenangkan saat aku berada dalam pelukan kakak ipar. Dia berbisik. "Aku titip Ibu, ya, Nes. Kalau ada apa-apa hubungi aku dan ingat, jangan minder lagi. Ayo, bangun kepercayaan dirimu setinggi mungkin."Aku mengangguk. Mataku berkedip-kedip untuk menahan gumpalan air yang siap meluncur. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah sejak kedatangan para kakak ipar. Namun, ini adalah air mata kebahagiaan bukan kesedihan seperti saat berada di rumah bersama ayah ibu dan Mbak Ulfa. Tidak lupa Mbak Divya juga meminta anaknya yang terlihat menggemaskan itu untuk menyalamiku. Oh, lagi-lagi aku teringat dengan ponakanku--anak Mbak Ul
PoV Ulfa"Ulfa!"Segera aku menutup telinga dengan bantal saat mendengar teriakan mertua yang menggelegar. Dinding kamarku sampai bergetar karena teriakan wanita yang sudah melahirkan suamiku itu. Aku tepuk jidat saat melihat jam bulat yang terpasang di dinding baru menunjukkan pu kul enam pagi, tetapi makhluk bernama mertua sudah mulai banyak tingkah. Meski malas, aku tetap beranjak dari ranjang berukuran besar yang sangat lembut dan nyaman itu. Kulihat Mas Romi--suamiku masih meringkuk di balik selimut. Aku berjalan menuju dapur di mana sang mertua berada sebelum panggilannya kembali menggelegar dan memecahkan gendang telinga. Terdengar suara kompor dinyalakan yang disusul dengan minyak dalam wajan yang gemericik dan tidak lama terdengar bunyi bumbu yang digoreng. Hidungku mencium bau bawang goreng yang sangat harum."Selamat pagi, Ibu mertuaku sayang," ucapku ramah meski rasanya ingin muntah. Wanita bertubuh subur yang sedang sibuk dengan panci dan sotil itu menoleh ke arahku
Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu
"Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba
"Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni
"Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen
"Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja
Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"
Sebuah undangan pernikahan berwarna gold dengan foto prewedding yang sangat cantik baru saja diantar oleh seorang kurir. Ulfa menatap dengan saksama undangan yang ditujukan untuk Romi dan istri itu. Wanita yang sedang sedang menyapu itu menghela napas dalam-dalam. Romi sering dapat undangan yang membolehkan datang bersama pasangan, bahkan dianjurkan, tetapi ia sama sekali tidak pernah mengajak sang istri. Wanita itu menghela nafas dalam-dalam saat bayangan Romi yang melarangnya ikut itu kembali hadir di dalam ingatannya. "Aku datang sendiri saja, kamu nggak usah," kata Romi seraya merapikan kerah bajunya di depan cermin. Lelaki itu hendak berangkat untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu temannya di kantor. "Kenapa, Mas? Bukankah aku ini istrimu dan di situ tertulis dengan jelas kalau yang diundang itu Romi dan istri?" Ulfa mengerucutkan bibir. Romi menyemprotkan parfum ke tubuhnya, bau parfum musk seketika menguar di kamar itu. "Aku malu jalan sama kamu, Ul,""Tetapi aku in
Ulfa tertawa usai mengusapkan tangannya yang kotor terkena tepung terigu ke pipi Romi sehingga pipi suaminya itu putih seperti badut. Mulut Romi terbuka lebar saat tangannya meraba pipi dan mendapati tepung terigu itu menempel di pipinya. Ia menatap tajam pada Ulfa sambil tersenyum. Romi mengotori tangannya dengan tepung terigu seraya berkata. "Awas, ya?" Sambil membalas mengusapkan tangannya ke hidung Ulfa hingga wajah istrinya itu terlihat lucu di matanya. Keduanya lalu perang tepung, setiap kali Ulfa mengusap tepung berwarna putih itu ke pipi Romi, lelaki itu akan membalasnya dan hal itu terjadi berulang kali. Ulfa dan Romi saling pandang. Romi tertawa puas melihat wajah sang istri yang belepotan penuh dengan tepung dan itu tampak sangat lucu baginya tanpa ia sadari dirinya juga berwajah seperti mau main jantilan saat ini. Begitu juga dengan Ulfa, wanita itu kegirangan melihat suaminya berwajah seperti badut yang sangat lucu. "Ayo, joget, nanti aku kasih donat," kata Ulfa ser
Di ruangan serba putih dengan dua buah ranjang beroda, satu untuk pasien dan satunya lagi untuk keluarga yang menunggu. Terdapat layar televisi LED terpasang di dinding. Ruangan yang sangat luas itu hanya ditempati Romi sendiri. Romi terbaring lemah di atas brankar. Sebuah infus menancap di pergelangan tangannya. Di sampingnya Ulfa tertidur dengan posisi menelungkup dan sambil duduk di kursi.Tangan Romi gemetar saat mengusap rambut hitam istri yang selama ini ia sia-siakan itu. Air matanya meleleh begitu saja membasahi pipi. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka wanita yang selama ini ia hina justru malah tulus merawatnya sedangkan Indy yang ia sayang dan puja-puja malah pergi meninggalkannya di saat ia terpuruk. "Aku janji setelah ini akan menjadi ayah dan suami yang baik." Bahu Romi berguncang dan air matanya mengucur semakin deras. Perlahan Ulfa membuka mata saat mendengar isakan tangis dari Romi. "Kamu sudah bangun, Mas?" Ulfa mengangkat kepala dan menggosok mata yang terasa