PoV InesAku harus telepon Mbak Ulfa untuk menjelaskan kalau aku tidak pura-pura bahagia agar kakak kandungku yang sombong itu sadar kalau uang bukanlah tolok ukur kebahagiaan seseorang. "Halo, Mbak." Aku segera menjauhkan alat komunikasi sejuta umat ini dari telinga begitu panggilan terhubung. Suara Mbak Ulfa langsung terdengar seperti rentetan bom yang siap meledakkan gendang telinga. "Sedang apa kamu, Nes, sehingga tidak sempat mengangkat teleponku?" tanya Mbak Ulfa dari seberang sana dengan suara tinggi. Aku mendesah, meski hanya melalui suara karena kami melakukan panggilan saja bukan video call. Aku dapat merasakan kalau dia sedang emosi. "Ibu mertuaku ulang tahun dan mengadakan pengajian serta santunan anak yatim. Kenapa?" Terdengar suara tawa Mbak Ulfa. "Nggak usah sok pamer dengan mengumbar kebahagiaan di media sosial apalagi kemesraan bersama suamimu yang tukang bakso itu. Kalau memang mau buat status, buatlah sesuai kenyataan yang ada jangan yang berkebalikan. Hidup
"Ayo, Nes. Tunjukkan hasilnya padaku test pack itu. Nanti kalau sudah berusia empat bulan minta Ramzi untuk mengadakan selamatan dan jangan lupa kabari aku agar bisa ke sana," kata Mbak Divya antusias. Aku hanya menelan ludah dan menggaruk kepala yang tidak gatal. "Em, nanti aku juga mau ikut ngasih nama, ya?" Lanjutnya lagi. "Iya, Mbak. Tetapi aku belum lakukan tes sehingga aku belum tahu hamil atau tidak." Mbak Divya yang terlihat sedang duduk di sofa berwarna biru itu tersenyum. "Nggak usahlah pakai tes segala kalau gitu. Kata Ibu, kamu muntah. Dan itu salah satu tanda awal kehamilan. Nikmati aja. Aku juga dulu saat hamil juga kayak gitu, kok." "Iya, Mbak. Udah dulu, ya." Aku meringis. Perasaanku semakin tak enak melihat kakak ipar yang begitu berharap segera punya keponakan. Ya Allah, semoga Engkau segera memberikan amanah pada kami untuk segera memiliki momongan. Aamiin. ***Matahari bersinar terik menimpa jalanan beraspal sehingga terlihat mengilat. Aku sedang dalam perja
Aku mengemudikan kendaraan roda dua ini dengan perasaan tidak karuan. Kutambah laju kecepatan motorku membelah jalanan yang sudah gelap meski sedikit gerimis. Cahaya lampu di pinggir jalan cahaya bulan purnama begitu terang. Untung saja tadi tidak begitu lama berada di tempat acara pernikahan sekaligus ajang ghibah itu. Iya, tadi hanya minum sebentar lalu makan di tempat yang sudah disediakan dan pulang sambil menyelipkan amplop pada sang pemilik hajat. Aku benar-benar menyesal datang ke tempat itu apalagi saat tahu sang pemilik hajat yang memakai gelang berderet-deret di lengannya sehingga menimbulkan bunyi gemerincing saat bergerak itu adalah wanita yang tadi menghinaku. Apakah dia tidak sadar kalau dia juga punya anak perempuan? Bagaimana perasaannya jika anaknya diolok di depan umum? Angin yang bertiup kencang ditambah baju yang mulai basah tak kuhiraukan lagi meski rasa dingin ini semakin menggigit dan terasa tembus hingga ke tulang. Tanganku mulai terasa kebas akibat kedingin
PoV UlfaAku mengibaskan ujung baju yang basah terkena cipratan air saat menyiram tanaman hias kesayangan ibu mertuaku yang bernama Yulia itu. Kubiarkan Zanna asyik nonton youtube di ponsel sementara aku melanjutkan pekerjaan yang tiada habisnya ini. Entah apa jadinya jika di dunia ini tidak tercipta alat super canggih yang kini beralih tugas menjadi layaknya baby sitter itu. Anak semata wayangku itu bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam sehari hanya untuk memegang ponsel. Dan aku merasa sangat diuntungkan karena semua pekerjaan mulai dari memasak, mencuci, menyapu mengepel, hingga melakukan tugas khusus dari Bu Yulia ini bisa selesai. "Jangan sampai lupa menyiram bunga-bunga ini, Ul," kata Bu Yulia seraya menunjuk tanaman yang entah apa namanya, yang jelas tanaman itu memiliki bunga yang sebentar lagi mekar. Aku hanya memutar bola mata malas dan mengendikkan bahu. Dia yang punya hobi mengoleksi tanaman hias kenapa aku yang harus repot. Setiap pulang dari bepergian, Bu Yulia
Hatiku mencelos melihat Ines bersama suaminya yang duduk di samping ibu yang sedang terlelap itu. Kebahagiaan jelas terlihat di raut wajahnya. Aku cemburu. "Mas Ramzi?" ucapku lirih. "Mas?" Ines menoleh. "Dia ini adik iparmu, Mbak. Kenapa kamu panggil Mas?" Aku menggigit bibir bawah. Panggilanku pada Ramzi dengan menyebut Mas tadi terjadi spontan. Aku pernah menjadi bagian dari hidupnya dan kini harus melihatnya dengan status sebagai adik ipar. Akan tetapi bukan Ulfa namanya jika tidak bisa menguasai diri. "Memangnya kenapa kalau aku memanggil Mas kepada suamimu?""Nggak apa-apa, Mbak. Panggil nama aja kayaknya lebih pas," kata Ines. "Dengarkan aku, ya, Nes. Kamu pikir Mas itu hanya untuk panggilan seorang istri kepada suaminya gitu? Dangkal banget pemikiranmu, Nes. Asal kamu tahu aku biasa memanggil Mas pada orang yang tidak kukenal. Yah, anggap saja aku tidak kenal dengan suamimu itu," ucapku lancar dan tanpa hambatan seperti jalan tol. Emosi yang sudah bersemayam dalam dada
PoV InesKami berjalan beriringan keluar dari ruang rawat inap. Awalnya aku ingin menginap menemani ibu, tetapi setelah melihat sikap Mbak Ulfa yang belum berubah membuatku harus mengurungkan niat. Samar aku merasakan isakan tangis yang tertahan. "Ibu kenapa menangis?" Aku menoleh dan mendapati pipi wanita yang sangat kusayangi itu sudah basah. Aku mengusap tangannya. "Ini pasti karena Mbak Ulfa, ya. Maafkan kakakku, ya, Bu,"Tanganku mengepal menahan amarah. Mbak Ulfa sudah membuat ibu mertuaku yang baik ini meneteskan air mata. Bu Mila pasti sudah sejak dari masih berada di dalam menahan air mata agar tidak tumpah dan begitu keluar ruangan baru bisa menangis sepuasnya. "Ibu kasihan padamu, Nes. Punya kakak kok judes seperti itu dan ucapannya itu, lho, pedasnya mengalahkan cabai setan. Sepertinya kalian tidak pernah akur, ya?" tanya ibu seraya mengusap pipinya yang basah. Aku hanya meringis. "Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana dulu kalian berada dalam satu atap. Pasti ka
Kumandang azan Subuh dari musala rumah sakit membuatku terjaga. Kuangkat kepala perlahan lalu menggosok mata. Leherku sedikit pegal karena aku tidur dengan posisi duduk dan kepala telungkup di tepi ranjang. Mataku pedih sebab semalam harus menahan kantuk hingga larut. Kulihat Mas Ramzi juga tidur dengan posisi yang sama. Tangan kami terulur dan saling bertaut di atas tubuh ibu. Di hadapanku, ibu terbaring lemah. Ia tampak layu seperti tanaman kekurangan air. Kulihat tangannya bergerak perlahan lalu membelai rambutku. Hatiku menghangat seketika.Akhirnya impianku tercapai. Aku bisa sedekat ini dengan ibu meski harus menunggu ibu sakit. Semoga ini menjadi awal yang baik dan semoga setelah ini Ibu bisa mencurahkan kasih sayangnya padaku seperti yang ia berikan pada Mbak Ulfa. Semoga wanita yang di bawah kakinya terdapat surgaku itu tidak membenciku lagi. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan betapa bahagia dipeluk dan dicium ibu dengan penuh kasih sayang. Anganku seakan melayang te
PoV InesDalam diam aku menangis dan hanya mengintip dari balik pintu kamar saat ibu makan dengan lahap ketika disuapi Mbak Ulfa. "Ibu harus makan yang banyak agar cepat sembuh," kata Mbak Ulfa seraya mendekatkan sendok berisi makanan ke mulut ibu yang langsung disambut ibu dengan membuka mulutnya lebar-lebar lalu mengunyah sambil tersenyum manis. Jujur, dari lubuk hati yang paling dalam, aku juga ingin melihat senyum ibu yang tulus itu untukku. Usai menyuapi ibu, wanita yang memakai kaus oblong ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya itu mengambil obat dan segelas air putih untuk ibu. "Aku ingin merawat ibu sampai sembuh dan Mas Romi juga sudah memberi izin.""Ibu memang tidak salah memilih menantu. Romi itu tampan, kaya, dan pengertian. Kamu memang wanita paling beruntung di dunia," kata ibu dengan wajah berbinar. "Iya, Bu. Pokoknya aku tidak akan pulang sebelum ibu benar-benar sehat dan kembali ke rumah. Aku mana bisa tenang meninggalkan ibu dalam keadaan sakit seperti in
Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu
"Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba
"Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni
"Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen
"Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja
Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"
Sebuah undangan pernikahan berwarna gold dengan foto prewedding yang sangat cantik baru saja diantar oleh seorang kurir. Ulfa menatap dengan saksama undangan yang ditujukan untuk Romi dan istri itu. Wanita yang sedang sedang menyapu itu menghela napas dalam-dalam. Romi sering dapat undangan yang membolehkan datang bersama pasangan, bahkan dianjurkan, tetapi ia sama sekali tidak pernah mengajak sang istri. Wanita itu menghela nafas dalam-dalam saat bayangan Romi yang melarangnya ikut itu kembali hadir di dalam ingatannya. "Aku datang sendiri saja, kamu nggak usah," kata Romi seraya merapikan kerah bajunya di depan cermin. Lelaki itu hendak berangkat untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu temannya di kantor. "Kenapa, Mas? Bukankah aku ini istrimu dan di situ tertulis dengan jelas kalau yang diundang itu Romi dan istri?" Ulfa mengerucutkan bibir. Romi menyemprotkan parfum ke tubuhnya, bau parfum musk seketika menguar di kamar itu. "Aku malu jalan sama kamu, Ul,""Tetapi aku in
Ulfa tertawa usai mengusapkan tangannya yang kotor terkena tepung terigu ke pipi Romi sehingga pipi suaminya itu putih seperti badut. Mulut Romi terbuka lebar saat tangannya meraba pipi dan mendapati tepung terigu itu menempel di pipinya. Ia menatap tajam pada Ulfa sambil tersenyum. Romi mengotori tangannya dengan tepung terigu seraya berkata. "Awas, ya?" Sambil membalas mengusapkan tangannya ke hidung Ulfa hingga wajah istrinya itu terlihat lucu di matanya. Keduanya lalu perang tepung, setiap kali Ulfa mengusap tepung berwarna putih itu ke pipi Romi, lelaki itu akan membalasnya dan hal itu terjadi berulang kali. Ulfa dan Romi saling pandang. Romi tertawa puas melihat wajah sang istri yang belepotan penuh dengan tepung dan itu tampak sangat lucu baginya tanpa ia sadari dirinya juga berwajah seperti mau main jantilan saat ini. Begitu juga dengan Ulfa, wanita itu kegirangan melihat suaminya berwajah seperti badut yang sangat lucu. "Ayo, joget, nanti aku kasih donat," kata Ulfa ser
Di ruangan serba putih dengan dua buah ranjang beroda, satu untuk pasien dan satunya lagi untuk keluarga yang menunggu. Terdapat layar televisi LED terpasang di dinding. Ruangan yang sangat luas itu hanya ditempati Romi sendiri. Romi terbaring lemah di atas brankar. Sebuah infus menancap di pergelangan tangannya. Di sampingnya Ulfa tertidur dengan posisi menelungkup dan sambil duduk di kursi.Tangan Romi gemetar saat mengusap rambut hitam istri yang selama ini ia sia-siakan itu. Air matanya meleleh begitu saja membasahi pipi. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka wanita yang selama ini ia hina justru malah tulus merawatnya sedangkan Indy yang ia sayang dan puja-puja malah pergi meninggalkannya di saat ia terpuruk. "Aku janji setelah ini akan menjadi ayah dan suami yang baik." Bahu Romi berguncang dan air matanya mengucur semakin deras. Perlahan Ulfa membuka mata saat mendengar isakan tangis dari Romi. "Kamu sudah bangun, Mas?" Ulfa mengangkat kepala dan menggosok mata yang terasa