"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau pernah punya pacar yang bernama Ririn, Mas?" Mas Ramzi yang baru saja datang dan masih berdiri di depan pintu kamar itu tersedak. "Pacar?" "Iya, kamu pernah punya pacar bernama Ririn, kan?" Lelaki yang memakai kemeja warna sama denganku itu melepas peci dan meletakkan di dinding yang sudah ditancapkan paku. Lalu berbalik menatapku. "Emangnya kamu pernah tanya pacarku siapa saja? Enggak, kan?" "Siapa saja?" Aku mendongak. "Apakah itu artinya punya pacar lebin dari satu?" Mas Ramzi tertawa lebar. Lalu tangannya mengusap pipiku yang masih basah. "Ini kenapa? Nangis karena merasa dibohongi? Nggak nyangka suami yang hanya terlihat tampan di matamu ini juga pernah disukai wanita lain?"Aku mengerucutkan bibir. Kusilangkan tangan di dada dan menggeser duduk."Ya ya ya, baiklah aku akan memberi tahu siapa pacarku. Awalnya aku ingin merahasiakan ini semua, tetapi aku tidak mau membuatmu terus penasaran." Mas Ramzi duduk di ranjang dan merangkulku. "
Aku memilih untuk mengabaikan pesan dari Mbak Ulfa yang masih sudah pasti akan membuat mood-ku anjlok. Gara-gara dia aku jadi berprasangka buruk terus pada mertua dan ipar. Aku yang selalu dihina dan menjadi bahan perbandingan menjadikanku tidak percaya diri dan ternyata membangkitkan rasa percaya diri itu tidaklah mudah.Seolah otakku ini sudah di-setting sedemikian rupa agar menganggap makhluk bernama mertua dan ipar menyeramkan. Aku tersenyum melihat foto dan video kebersamaan dengan para ipar. Seingatku, aku tidak punya foto satu pun kebersamaan dengan Mbak Ulfa dan Ibu serta bapak. "Wah cantik sekali gamis ini," seru ibu. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu merentangkan gamis berwarna coklat yang merupakan kado hadiah ulang tahun dariku. Ah, aku malu mengatakan kado itu dariku karena pada kenyataannya uangnya dari ibu. Anggap saja ibu titip. Mbak Divya meraih gamis itu dari tangan ibu. " Kado dari siapa ini, Bu?" tanyanya seraya mengusap gamis itu. "Ini kado dari Ines,"
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu juga dengan para ipar yang sore ini akan berangkat kembali ke kota menjalani aktivitasnya seperti biasa. Mbak Divya terlihat cantik memakai gaun panjang polos warna ungu muda dan pashmina warna senada. Wanita itu tersenyum cerah seraya merentangkan tangan untuk memelukku. Bau harum parfum yang lembut begitu menenangkan saat aku berada dalam pelukan kakak ipar. Dia berbisik. "Aku titip Ibu, ya, Nes. Kalau ada apa-apa hubungi aku dan ingat, jangan minder lagi. Ayo, bangun kepercayaan dirimu setinggi mungkin."Aku mengangguk. Mataku berkedip-kedip untuk menahan gumpalan air yang siap meluncur. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah sejak kedatangan para kakak ipar. Namun, ini adalah air mata kebahagiaan bukan kesedihan seperti saat berada di rumah bersama ayah ibu dan Mbak Ulfa. Tidak lupa Mbak Divya juga meminta anaknya yang terlihat menggemaskan itu untuk menyalamiku. Oh, lagi-lagi aku teringat dengan ponakanku--anak Mbak Ul
PoV Ulfa"Ulfa!"Segera aku menutup telinga dengan bantal saat mendengar teriakan mertua yang menggelegar. Dinding kamarku sampai bergetar karena teriakan wanita yang sudah melahirkan suamiku itu. Aku tepuk jidat saat melihat jam bulat yang terpasang di dinding baru menunjukkan pu kul enam pagi, tetapi makhluk bernama mertua sudah mulai banyak tingkah. Meski malas, aku tetap beranjak dari ranjang berukuran besar yang sangat lembut dan nyaman itu. Kulihat Mas Romi--suamiku masih meringkuk di balik selimut. Aku berjalan menuju dapur di mana sang mertua berada sebelum panggilannya kembali menggelegar dan memecahkan gendang telinga. Terdengar suara kompor dinyalakan yang disusul dengan minyak dalam wajan yang gemericik dan tidak lama terdengar bunyi bumbu yang digoreng. Hidungku mencium bau bawang goreng yang sangat harum."Selamat pagi, Ibu mertuaku sayang," ucapku ramah meski rasanya ingin muntah. Wanita bertubuh subur yang sedang sibuk dengan panci dan sotil itu menoleh ke arahku
PoV InesAku harus telepon Mbak Ulfa untuk menjelaskan kalau aku tidak pura-pura bahagia agar kakak kandungku yang sombong itu sadar kalau uang bukanlah tolok ukur kebahagiaan seseorang. "Halo, Mbak." Aku segera menjauhkan alat komunikasi sejuta umat ini dari telinga begitu panggilan terhubung. Suara Mbak Ulfa langsung terdengar seperti rentetan bom yang siap meledakkan gendang telinga. "Sedang apa kamu, Nes, sehingga tidak sempat mengangkat teleponku?" tanya Mbak Ulfa dari seberang sana dengan suara tinggi. Aku mendesah, meski hanya melalui suara karena kami melakukan panggilan saja bukan video call. Aku dapat merasakan kalau dia sedang emosi. "Ibu mertuaku ulang tahun dan mengadakan pengajian serta santunan anak yatim. Kenapa?" Terdengar suara tawa Mbak Ulfa. "Nggak usah sok pamer dengan mengumbar kebahagiaan di media sosial apalagi kemesraan bersama suamimu yang tukang bakso itu. Kalau memang mau buat status, buatlah sesuai kenyataan yang ada jangan yang berkebalikan. Hidup
"Ayo, Nes. Tunjukkan hasilnya padaku test pack itu. Nanti kalau sudah berusia empat bulan minta Ramzi untuk mengadakan selamatan dan jangan lupa kabari aku agar bisa ke sana," kata Mbak Divya antusias. Aku hanya menelan ludah dan menggaruk kepala yang tidak gatal. "Em, nanti aku juga mau ikut ngasih nama, ya?" Lanjutnya lagi. "Iya, Mbak. Tetapi aku belum lakukan tes sehingga aku belum tahu hamil atau tidak." Mbak Divya yang terlihat sedang duduk di sofa berwarna biru itu tersenyum. "Nggak usahlah pakai tes segala kalau gitu. Kata Ibu, kamu muntah. Dan itu salah satu tanda awal kehamilan. Nikmati aja. Aku juga dulu saat hamil juga kayak gitu, kok." "Iya, Mbak. Udah dulu, ya." Aku meringis. Perasaanku semakin tak enak melihat kakak ipar yang begitu berharap segera punya keponakan. Ya Allah, semoga Engkau segera memberikan amanah pada kami untuk segera memiliki momongan. Aamiin. ***Matahari bersinar terik menimpa jalanan beraspal sehingga terlihat mengilat. Aku sedang dalam perja
Aku mengemudikan kendaraan roda dua ini dengan perasaan tidak karuan. Kutambah laju kecepatan motorku membelah jalanan yang sudah gelap meski sedikit gerimis. Cahaya lampu di pinggir jalan cahaya bulan purnama begitu terang. Untung saja tadi tidak begitu lama berada di tempat acara pernikahan sekaligus ajang ghibah itu. Iya, tadi hanya minum sebentar lalu makan di tempat yang sudah disediakan dan pulang sambil menyelipkan amplop pada sang pemilik hajat. Aku benar-benar menyesal datang ke tempat itu apalagi saat tahu sang pemilik hajat yang memakai gelang berderet-deret di lengannya sehingga menimbulkan bunyi gemerincing saat bergerak itu adalah wanita yang tadi menghinaku. Apakah dia tidak sadar kalau dia juga punya anak perempuan? Bagaimana perasaannya jika anaknya diolok di depan umum? Angin yang bertiup kencang ditambah baju yang mulai basah tak kuhiraukan lagi meski rasa dingin ini semakin menggigit dan terasa tembus hingga ke tulang. Tanganku mulai terasa kebas akibat kedingin
PoV UlfaAku mengibaskan ujung baju yang basah terkena cipratan air saat menyiram tanaman hias kesayangan ibu mertuaku yang bernama Yulia itu. Kubiarkan Zanna asyik nonton youtube di ponsel sementara aku melanjutkan pekerjaan yang tiada habisnya ini. Entah apa jadinya jika di dunia ini tidak tercipta alat super canggih yang kini beralih tugas menjadi layaknya baby sitter itu. Anak semata wayangku itu bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam sehari hanya untuk memegang ponsel. Dan aku merasa sangat diuntungkan karena semua pekerjaan mulai dari memasak, mencuci, menyapu mengepel, hingga melakukan tugas khusus dari Bu Yulia ini bisa selesai. "Jangan sampai lupa menyiram bunga-bunga ini, Ul," kata Bu Yulia seraya menunjuk tanaman yang entah apa namanya, yang jelas tanaman itu memiliki bunga yang sebentar lagi mekar. Aku hanya memutar bola mata malas dan mengendikkan bahu. Dia yang punya hobi mengoleksi tanaman hias kenapa aku yang harus repot. Setiap pulang dari bepergian, Bu Yulia
Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu
"Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba
"Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni
"Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen
"Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja
Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"
Sebuah undangan pernikahan berwarna gold dengan foto prewedding yang sangat cantik baru saja diantar oleh seorang kurir. Ulfa menatap dengan saksama undangan yang ditujukan untuk Romi dan istri itu. Wanita yang sedang sedang menyapu itu menghela napas dalam-dalam. Romi sering dapat undangan yang membolehkan datang bersama pasangan, bahkan dianjurkan, tetapi ia sama sekali tidak pernah mengajak sang istri. Wanita itu menghela nafas dalam-dalam saat bayangan Romi yang melarangnya ikut itu kembali hadir di dalam ingatannya. "Aku datang sendiri saja, kamu nggak usah," kata Romi seraya merapikan kerah bajunya di depan cermin. Lelaki itu hendak berangkat untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu temannya di kantor. "Kenapa, Mas? Bukankah aku ini istrimu dan di situ tertulis dengan jelas kalau yang diundang itu Romi dan istri?" Ulfa mengerucutkan bibir. Romi menyemprotkan parfum ke tubuhnya, bau parfum musk seketika menguar di kamar itu. "Aku malu jalan sama kamu, Ul,""Tetapi aku in
Ulfa tertawa usai mengusapkan tangannya yang kotor terkena tepung terigu ke pipi Romi sehingga pipi suaminya itu putih seperti badut. Mulut Romi terbuka lebar saat tangannya meraba pipi dan mendapati tepung terigu itu menempel di pipinya. Ia menatap tajam pada Ulfa sambil tersenyum. Romi mengotori tangannya dengan tepung terigu seraya berkata. "Awas, ya?" Sambil membalas mengusapkan tangannya ke hidung Ulfa hingga wajah istrinya itu terlihat lucu di matanya. Keduanya lalu perang tepung, setiap kali Ulfa mengusap tepung berwarna putih itu ke pipi Romi, lelaki itu akan membalasnya dan hal itu terjadi berulang kali. Ulfa dan Romi saling pandang. Romi tertawa puas melihat wajah sang istri yang belepotan penuh dengan tepung dan itu tampak sangat lucu baginya tanpa ia sadari dirinya juga berwajah seperti mau main jantilan saat ini. Begitu juga dengan Ulfa, wanita itu kegirangan melihat suaminya berwajah seperti badut yang sangat lucu. "Ayo, joget, nanti aku kasih donat," kata Ulfa ser
Di ruangan serba putih dengan dua buah ranjang beroda, satu untuk pasien dan satunya lagi untuk keluarga yang menunggu. Terdapat layar televisi LED terpasang di dinding. Ruangan yang sangat luas itu hanya ditempati Romi sendiri. Romi terbaring lemah di atas brankar. Sebuah infus menancap di pergelangan tangannya. Di sampingnya Ulfa tertidur dengan posisi menelungkup dan sambil duduk di kursi.Tangan Romi gemetar saat mengusap rambut hitam istri yang selama ini ia sia-siakan itu. Air matanya meleleh begitu saja membasahi pipi. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka wanita yang selama ini ia hina justru malah tulus merawatnya sedangkan Indy yang ia sayang dan puja-puja malah pergi meninggalkannya di saat ia terpuruk. "Aku janji setelah ini akan menjadi ayah dan suami yang baik." Bahu Romi berguncang dan air matanya mengucur semakin deras. Perlahan Ulfa membuka mata saat mendengar isakan tangis dari Romi. "Kamu sudah bangun, Mas?" Ulfa mengangkat kepala dan menggosok mata yang terasa