Jangan sampe seperti Pak Budi ya vote dan komen terus ok, semoga besok masih bisa upload dua bab.. karena besok sudah mulai persiapan hari raya
“Kok pintunya gak bisa kebuka?” Brag, Brag, Brag, Aku yang panik kini sedang berada tepat di depan pintu rumah, rumahku yang sangat sederhana yang berdinding bilik kayu yang di cat putih dan hijau. Rumah yang turun temurun di berikan oleh kakek dan kakek buyutku, sehingga rumah yang ku tempati ini terlihat beberapa kali sudah di renovasi mengikuti jaman. Rupanya, ibu dan Bapak mengunci pintu rumah. Sehingga aku yang berusaha masuk ke dalam rumah untuk menyelamatkan diri dari makhluk tersebut pun hanya bisa berdiri di depan rumah sambil berusaha membuka pintu yang terkunci itu. Suara cekikikan dari depan warung masih terdengar, bersamaan dengan cahaya lampu minyak yang mati dan menyala tidak karuan, sepertinya makhluk itu sangat menikmati suara radio yang dia dengarkan sepanjang malam ini. Meskipun, aku sendiri tidak tahu kenapa makhluk tersebut sangat terobsesi dengan radio yang Bapak punya. Kikikiki Kikikiki “Ieu barang urang, barang urang hiji-hijina di dunia ieu. (Ini barangk
Sebuah ruangan yang memanjang hingga ke pintu depan yang berwarna cokelat tua, dengan dua jendela yang tertutup sebuah tirai putih yang sudah kotor dan berdebu. Ruangan yang berdinding bilik dari bambu itu tampak seperti baru, dengan corak dari bambu hitam yang membentuk sebuah belah ketupat yang dianyam sedemikian rupa dengan bilik bambu berwarna cokelat. Bentuk rumahnya tampak seperti rumahku, dengan ruangan tengah dan di dua buah kamar tidur yang ada di sebelah kanan juga dapur tempat aku masuk tadi. Tapi, isi di dalamnya tampak berbeda, dinding di ruangan rumahku sudah di cat putih. Tidak seperti ruangan ini yang berwarna cokelat. Juga benda-benda seperti jam dinding atau lemari besar pun tidak terlihat di sini, yang ada hanyalah lemari kecil seukuran tubuhku dengan beberapa lubang kecil di pintunya. “Kenapa rumahku tiba-tiba berubah? Atau aku salah masuk rumah?” “Tapi meskipun di luar gelap aku yakin sekali tidak salah masuk rumah, hanya bagian dalamnya saja yang berbeda.” Ak
Ruangan tengah rumah, yang beralaskan kayu yang akan berdecit ketika kita menginjaknya, dinding-dindingnya masih memakai bilik bambu yang berwarna cokelat tua dengan beberapa titik berwarna hitam yang berbentuk motif belah ketupat. Tidak ada yang spesial dari ruangan ini, tidak ada lemari kaca yang berisi perabotan seperti di rumah, tidak ada jam dinding sebagai penentu waktu, juga tidak ada lampu minyak yang menempel di dinding. Yang ada hanyalah ornamen-ornamen yang menggantung , ornamen-ornamen yang aku pun sendiri tidak tahu bentuk apa itu. Di ruangan itu hanya ada satu lemari, lemari yang sudah usang dengan banyaknya lubang-lubang yang sepertinya habis dimakan oleh rayap. Dan kini, di lemari itu sekarang menjadi tempat aku bersembunyi, dengan suasana yang mencekam karena melihat tiga makhluk yang sedang duduk di tengah rumah bersamaan dengan beberapa lilin kecil yang menerangi mereka. Mereka kini tengah sibuk memakan makanan yang ada di depan mereka, makanan yang berbentuk dagi
Aku terduduk di bawah jendela rumah, dengan kedua tangan yang menutupi mulutku agar aku tidak bersuara. Jendela tempat aku kabur kini terbuka, dan hanya tertutup oleh tirai putih dari dalam. Meskipun, Srak Tibat-tiba sebuah tangan kecil yang mulus tiba-tiba terlihat menyibak tirai jendela itu. Sebuah tangan yang sangat berbeda dengan apa yang aku lihat ketika berada di dalam rumah. Juga…. “Astaga !” Aku tidak percaya dengan yang aku lihat, sesosok wanita yang cantik jelita tiba-tiba terlihat muncul di jendela yang tepat berada di atasku pada saat itu. Wanita berambut pendek dengan baju putih yang sangat bersih kini terlihat mengeluarkan setengah kepalanya dari arah jendela. Meskipun, wajahnya tampak terlihat sangat marah. terlihat dari tatapan matanya yang sangat tajam dan melihat ke sekeliling dari jendela tersebut. “Ehhhh? Apakah itu makhluk yang aku lihat di dalam rumah?” “Kok wujudnya sekarang berubah.” Pikirku. Wanita yang berparas cantik itu terus-menerus melihat ke sek
Torok tok tok tok “Sakieu wae pagelaran wayang ti kaula, hapunten bilih aya kalepatan dina ieu carita, kaula ngawakilan kanu gaduh pagelaran undur diri, hatur nuhun ka sadayana. (Sekian pagelaran wayang dariku, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam isi cerita, aku mewakili yang punya pagelaran undur diri, terima kasih semuanya.) Ting nung ning nung Ting nung ning nung Suara gamelan merdu tampak terdengar ke seluruh tempat di sekitar tempat hajatan tersebut, bersamaan dengan gunungan wayang yang tertancap di batang pohon pisang yang menandakan berakhirnya pagelaran wayang tersebut. Sebuah cerita yang sangat bagus di mainkan oleh sang Dalang ketika memainkan wayangnya, tangannya yang luwes dengan iringan lagu-lagu sunda oleh sinden di belakangnya, membuat para penonton yang menghadiri hajatan itu setia menonton wayang sampai pagi tiba. Kokokokooooookkk Tak terasa, suara dari kokok ayam terdengar hingga ke seluruh Kampung Parigi. Yang menandakan bahwa pagi sudah menjelang, meskipu
Sinar matahari yang muncul dengan malu-malu di belakang Gunung Sepuh kini terlihat secara perlahan, mencoba mengusir bintang dan bulan yang masih setia menyinari kampung meskipun sinarnya yang redup secara perlahan-lahan tertutup oleh sinar yang hangat dari matahari itu. Cuaca dingin yang menusuk kulit, secara perlahan digantikan oleh rasa hangat yang membuat semua orang bersemangat untuk menghadapi hari ini dengan segala aktivitas di dalamnya. Ayam, ayam berkokok dan saling bersahutan, kambing dan sapi kini ikut bersuara untuk menyambut pagi. Juga burung-burung yang baru saja keluar dari sangkarnya kini mengeluarkan suara merdu untuk menyambut pagi. Indah dan menenangkan, itu adalah kalimat pertama bagi siapa saja yang baru pertama kali melihat suasana pagi hari di Kampung Sepuh. Karena selain aktivitas para warga yang hilir mudik di setiap paginya, juga suara-suara hewan yang menyambut pagi di Kampung Sepuh ini membuat terpana bagi siapa pun yang melihatnya. Aku yang masih terbar
Kampung Sepuh yang ada sekarang, berbeda dengan Kampung Sepuh yang dulu. Kampung yang berada tepat di kaki Gunung Sepuh itu, mempunyai sejarah yang kelam ketika pertama kali kampung ini berdiri. Tidak bisa dipungkiri, semua yang hidup di kampung ini. Leluhurnya sangatlah akrab dengan para makhluk yang ada di Gunung Sepuh. Bahkan, banyak dari mereka adalah pelaku dari banyaknya ritual-ritual yang menyesatkan di Gunung Sepuh pada awalnya. Kampung Sepuh dulu hanyalah hutan belantara. Tidak ada kehidupan sama sekali di kampung ini, selain jalanan setapak yang dipenuhi oleh rumput-rumput yang tinggi dan menjulang hingga ke atas. Juga hutan yang sangat lebat dengan banyaknya hewan-hewan liar yang menjadi penghuni tetap dari Gunung Sepuh ini. Kampung Sepuh sendiri merupakan salah satu bagian dari Gunung Sepuh, yang kini semakin lama semakin terkikis karena perluasan kampung, persawahan, juga kebun teh yang membentang luas ke arah utara. Dan orang yang pertama kali mendirikan Kampung Sepuh,
Setiap orang, yang terjerat oleh suatu perjanjian tertentu dan menikmati hasilnya tanpa keterpaksaan. Hidupnya akan senang selama beberapa tahun pertama. Apalagi dengan perubahan yang drastis tentang hidupnya sendiri, akan pencapaian yang sudah bisa dia gapai meskipun tanpa bantuan para makhluk yang menyesatkan baginya. Namun, setelah orang tersebut mempunyai keturunan. Dan perjanjian itu terus berlanjut, apalagi banyak dari mereka anak dan cucunya di ambil sebagai syarat dari perjanjian itu. Mereka akan mulai merasa bersalah, hidupnya akan terasa hampa. Meskipun mereka mendapatkan kekayaan yang berlebih dalam hidupnya. Tapi tetap saja, hidupnya sangatlah sepi mereka akan menyesali atas apa yang mereka lakukan pada saat mereka telah kehilangan semua yang mereka sayangi. Itulah yang terjadi pada Kampung Sepuh pada saat itu, sesuatu yang menjadi tradisi. Ketika mereka mengagungkan para makhluk gunung dengan segala keilmuannya untuk membantu mereka. Namun hati mereka semua berteriak, b