Internet lemot jadi lama upload nya maafin ya
Torok tok tok tok “Sakieu wae pagelaran wayang ti kaula, hapunten bilih aya kalepatan dina ieu carita, kaula ngawakilan kanu gaduh pagelaran undur diri, hatur nuhun ka sadayana. (Sekian pagelaran wayang dariku, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam isi cerita, aku mewakili yang punya pagelaran undur diri, terima kasih semuanya.) Ting nung ning nung Ting nung ning nung Suara gamelan merdu tampak terdengar ke seluruh tempat di sekitar tempat hajatan tersebut, bersamaan dengan gunungan wayang yang tertancap di batang pohon pisang yang menandakan berakhirnya pagelaran wayang tersebut. Sebuah cerita yang sangat bagus di mainkan oleh sang Dalang ketika memainkan wayangnya, tangannya yang luwes dengan iringan lagu-lagu sunda oleh sinden di belakangnya, membuat para penonton yang menghadiri hajatan itu setia menonton wayang sampai pagi tiba. Kokokokooooookkk Tak terasa, suara dari kokok ayam terdengar hingga ke seluruh Kampung Parigi. Yang menandakan bahwa pagi sudah menjelang, meskipu
Sinar matahari yang muncul dengan malu-malu di belakang Gunung Sepuh kini terlihat secara perlahan, mencoba mengusir bintang dan bulan yang masih setia menyinari kampung meskipun sinarnya yang redup secara perlahan-lahan tertutup oleh sinar yang hangat dari matahari itu. Cuaca dingin yang menusuk kulit, secara perlahan digantikan oleh rasa hangat yang membuat semua orang bersemangat untuk menghadapi hari ini dengan segala aktivitas di dalamnya. Ayam, ayam berkokok dan saling bersahutan, kambing dan sapi kini ikut bersuara untuk menyambut pagi. Juga burung-burung yang baru saja keluar dari sangkarnya kini mengeluarkan suara merdu untuk menyambut pagi. Indah dan menenangkan, itu adalah kalimat pertama bagi siapa saja yang baru pertama kali melihat suasana pagi hari di Kampung Sepuh. Karena selain aktivitas para warga yang hilir mudik di setiap paginya, juga suara-suara hewan yang menyambut pagi di Kampung Sepuh ini membuat terpana bagi siapa pun yang melihatnya. Aku yang masih terbar
Kampung Sepuh yang ada sekarang, berbeda dengan Kampung Sepuh yang dulu. Kampung yang berada tepat di kaki Gunung Sepuh itu, mempunyai sejarah yang kelam ketika pertama kali kampung ini berdiri. Tidak bisa dipungkiri, semua yang hidup di kampung ini. Leluhurnya sangatlah akrab dengan para makhluk yang ada di Gunung Sepuh. Bahkan, banyak dari mereka adalah pelaku dari banyaknya ritual-ritual yang menyesatkan di Gunung Sepuh pada awalnya. Kampung Sepuh dulu hanyalah hutan belantara. Tidak ada kehidupan sama sekali di kampung ini, selain jalanan setapak yang dipenuhi oleh rumput-rumput yang tinggi dan menjulang hingga ke atas. Juga hutan yang sangat lebat dengan banyaknya hewan-hewan liar yang menjadi penghuni tetap dari Gunung Sepuh ini. Kampung Sepuh sendiri merupakan salah satu bagian dari Gunung Sepuh, yang kini semakin lama semakin terkikis karena perluasan kampung, persawahan, juga kebun teh yang membentang luas ke arah utara. Dan orang yang pertama kali mendirikan Kampung Sepuh,
Setiap orang, yang terjerat oleh suatu perjanjian tertentu dan menikmati hasilnya tanpa keterpaksaan. Hidupnya akan senang selama beberapa tahun pertama. Apalagi dengan perubahan yang drastis tentang hidupnya sendiri, akan pencapaian yang sudah bisa dia gapai meskipun tanpa bantuan para makhluk yang menyesatkan baginya. Namun, setelah orang tersebut mempunyai keturunan. Dan perjanjian itu terus berlanjut, apalagi banyak dari mereka anak dan cucunya di ambil sebagai syarat dari perjanjian itu. Mereka akan mulai merasa bersalah, hidupnya akan terasa hampa. Meskipun mereka mendapatkan kekayaan yang berlebih dalam hidupnya. Tapi tetap saja, hidupnya sangatlah sepi mereka akan menyesali atas apa yang mereka lakukan pada saat mereka telah kehilangan semua yang mereka sayangi. Itulah yang terjadi pada Kampung Sepuh pada saat itu, sesuatu yang menjadi tradisi. Ketika mereka mengagungkan para makhluk gunung dengan segala keilmuannya untuk membantu mereka. Namun hati mereka semua berteriak, b
Pemilik bale-bale itu tampak menangis, meskipun secara mata telanjang hidupnya terlihat sangat makmur dengan pakaian dan perhiasan emas yang dia kalungkan pada saat itu. Namun tetap saja, hatinya sangat kosong, dua orang yang sudah dia sayangi hilang dan diambil oleh para makhluk gunung yang selalu dia sembah dalam hidupnya.Dia terjebak dalam tradisi keluarganya yang menyesatkan. Tradisi dari kakeknya yang pertama kali membuat rumah dan menetap di tempat ini, hanya karena kekayaan dan kejayaan yang mereka dapatkan namun banyak sekali yang harus mereka korbankan dalam hidup mereka.Nenek, Bibi, Ibu, serta adik wanitanya menjadi korban semua. Seperti sengaja menikahi orang diluar kampung dan membawanya kesini untuk diberikan kepada para makhluk gunung, dengan timbal balik kekayaan dan kemakmuran dalam hidup mereka.Mereka yang sudah terjebak dan menyesal tidak bisa melakukan apapun, masih takut apabila semua ritual dan tumbal yang tidak mereka berikan secara rutin, karena akan berdampa
Sebuah ruangan yang kini aku tempati bersama bapak dan ibu secara tiba-tiba hening, tepat ketika aku bertanya seperti itu kepada bapak. Bapak hanya terdiam dan menunduk secara perlahan, rokok yang dari tadi dia hisap hanya dia pegang di dekat asbak dan membiarkannya terbakar secara perlahan pada saat itu. Aku menatap dengan penuh pertanyaan kepada bapak, pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan perihal leluhurku yang kini memberikan suatu beban kepada kehidupan keluargaku hingga saat ini. Aku bahkan belum bertanya perihal warung, perihal makhluk yang muncul pada kemarin malam, dan para makhluk yang menjadi penghuni rumah ini kepada bapak. Namun bapak hanya terdiam, cerita-cerita tentang leluhur yang dia bicarakan mendadak terhenti ketika aku berbicara seperti itu di hadapannya. Wusss Semilir angin terasa olehku dari arah luar, semilir angin yang masuk dari pintu rumah yang belum tertutup ketika para warga membawaku di depan warung. membuat ampas rokok yang terbakar di tangan bapak
Ada aturan tidak tertulis yang mengikat Kampung Sepuh, yang mewajibkan warganya untuk tidak keluar pada malam hari. Dan ketika aku mengetahui alasan dibalik hal itu. aku kini tahu, bahwa aturan itu sengaja mereka buat, agar mereka tidak bertemu dengan para makhluk yang mengunjungi Kampung Sepuh pada malam hari, terutama para makhluk yang mengunjungi warung yang ada tepat di depan rumahku. Ketika Ki Wisesa datang dan para penduduk Kampung Sepuh terlepas dari semua ritual dan perjanjian yang mengikatnya. Entah mengapa, makhuk itu tiba-tiba datang ke kampung dan memporak-porandakan kampung pada malam tiba. Bahkan, semuanya terlihat semakin mencekam ketika dalam beberapa hari banyak orang yang meninggal di masa-masa tersebut. Mereka meninggal dengan cara yang mengenaskan, setiap hari mereka mendapati tetangga, kerabat atau teman mereka terbujur kaku dan tidak bernyawa, semua kasusnya sama dengan mata yang melotot dan dengan kondisi tubuh yang terbujur kaku secara tidak wajar, mereka sep
Sudah beberapa hari setelah kejadian tersebut, Aku mengurung diri di kamar. Jarang sekali aku keluar kamar kecuali makan dan ke kamar mandi atau MCK yang berada di dekat sungai. Aku masih shock, menghadapi kenyataan yang Bapak katakan dalam beberapa hari ini, tentang warung, tentang kampung, tentang Gunung Sepuh, juga tentang keluargaku dan leluhurnya dengan tanggung jawab yang aku sendiripun tidak mungkin sanggup untuk menanggungnya. Ingin rasanya aku berlari, menjauhi Kampung Sepuh dan melupakan sejenak semua yang Bapak katakan. Tapi nyatanya tidak bisa, Bapak bahkan kakek sudah melakukan hal itu. Mencoba untuk tidak mengambil tanggung jawab atas apa yang dibebankan kepadanya, dengan mengembara keluar dari Gunung Sepuh. Melewati gunung, melewati beberapa hutan yang cukup lebat, hingga ikut nebeng kepada kendaraan yang berjalan ke arah kota selama beberapa hari. Namun tetap saja, sejauh apa pun mereka pergi, entah bagaimana selalu saja ada hal yang mengharuskan dia kembali ke Kampu
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men