Suasana sekolah kembali lengang. Murid-murid sudah pulang. Namun, aku begitu enggan beranjak dari kursi kelas empat ini. Masih duduk termangu, memikirkan rumah tanggaku.Hari ini, jadwal Mas Gilang pulang. Entah ekspresi apa dan bagaimana nanti yang akan kutunjukkan. Bingung. Meskipun jalan ini, aku yang memilihnya sendiri, namun jujur saja aku belum sepenuhnya bisa menerima dan memahami. Tapi ... Jika aku terus merasa tersakiti, bukankah aku justru lebih berdosa? Memaksakan sesuatu yang tak mampu kuterima? Mataku kembali berkaca-kaca mengingat semuanya. Kudengar derap langkah ke luar dari ruang guru. Mungkin beberapa guru mulai meninggalkan sekolah. "Aku kasihan lihat Bu Lina. Sejak suaminya menikah lagi, dia terlihat berbeda. Sering melamun sendirian di kelas saat anak-anak pulang. Kadang juga duduk aja di mushola sampai sekolah sepi." Kudengar suara Bu Ika membicarakanku. Kuhela napas sesak."Lagian siapa suruh mau dimadu? Bu Lina sendiri yang memilih, kan? Kalau saya jadi di
Langit begitu gelap. Suara guruh terdengar riuh, sesekali menggelegar. Rintik hujan pun mulai datang mengguyur. Perlahan membasahi bumi. Aroma tanah yang khas ketika hujan mulai mengusik Indra penciuman. Aku menyukai itu. Merindukan damai dan tenangnya di tengah semilir angin yang sesekali menerpa wajah.Kumainkan gemericik air yang turun dari langit dengan telapak tangan. Membiarkannya terpercik ke lengan dan baju yang kukenakan. Tak lupa menengadahkan tangan ke atas, menangkap air yang mulai deras mengguyur lalu membasuhkannya ke wajah. Sejuk dan dingin yang terasa berbeda. Lagi-lagi aku menyukainya. Cukup lama aku di sini. Terdiam di sebuah gazebo taman belakang, ditemani secangkir teh hangat dan mi telur favoritku. Tak kupedulikan Mas Gilang yang sedari tadi duduk di bangku teras, menatapku. Tiba-tiba Maya datang membawakan nampan berisi dua cangkir dan camilan. Mungkin teh atau kopi. Entahlah. Lalu, muncul ibu dari belakang. Bicara, entah apa. Aku pura-pura tak melihat. Menikma
Alarm handphone berbunyi tepat di samping kepala. Kukucek mata perlahan lalu mematikan alarm yang begitu berisik di telinga. Setelahnya menata selimut dan bantal kemudian bergegas keluar kamar. Kulihat Mas Gilang tidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Entah mengapa, aku sebenarnya nggak tega melihatnya seperti itu. Tapi ... rasa sebal dan cemburu itu masih saja merajai otakku.Aku masih setengah menerima, setengah menolak pernikahan keduanya! Kadang kuberpikir, apakah Mas Gilang sudah tak mencintaiku lagi? Apakah aku sudah tak semenarik dulu? Apakah keturunan itu hanya sebagai alibi karena kebosanannya padaku? Apakah aku pernah membuatnya kecewa, hingga dia sengaja membalasnya dengan mengirimkaku seorang adik madu? Kuhembuskan napas kasar. Aku bergeming. Memandang wajah Mas Gilang yang begitu nyenyak terlelap. Dia terlihat tenang dan damai, meski gurat beban masih tampak jelas di wajah tampannya. Aku tak tahu kenapa dia bisa setenang itu. Padahal biasanya dia tak bisa terlelap ta
Adzan Subuh berkumandang. Mas Gilang, mengenakan koko dan sarungnya, bersiap untuk ke masjid. Aku beranjak masuk kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air yang dingin. Perlahan, kurasakan kesegarannya. Hatipun terasa lebih tenang saat berada di bawah guyuran shower. Selesai membersihkan badan dan mengenakan daster kesayangan, aku mematut diri sebentar di depan kaca. Mengamati wajahku yang mungkin mulai menua. Kuhela napas panjang lalu mengambil mukena di lemari. Tak ada tempat berbagi selain DIA Sang Pembolak-balik hati. Gegas kujalankan salat subuh dan berdoa agar bisa lebih ikhlas menjalani takdirNya. Usai menjalankan kewajiban, aku keluar kamar. Hening. Tak ada suara apapun di rumah ini selain denting jam dan gesekan kakiku dengan lantai saat melangkah. Ibu dan Maya sepertinya belum juga terjaga. Kubiarkan sesukanya. Aku tak peduli dengan apapun yang mereka lakukan. Kuseduh dua cangkir teh dan memanggang roti dengan selai kacang kesukaanku, sedangkan Mas Gilang lebih senang dengan
Kulihat Mas Gilang keluar kamar. Dia sudah cukup rapi dengan memakai kaos kerah berwarna putih polos dan celana levis panjang hitam ditambah jam tangan silver di pergelangan tangan kirinya. Laki-laki itu menyugar rambutnya pelan, lalu melangkah perlahan menghampiriku."Lin, aku mau ke rumah Mas Vino dulu sebelum ke bengkel. Kemarin dia nggak masuk kerja. Istrinya melahirkan katanya. Ini mau kasih sedikit 'uang shampoo'. Sekalian tanya soal kontrakan buat Maya," pamit Mas Gilang padaku. Aku yang masih sibuk memakaikan bros ke hijab. "Aku nggak ikut ke rumah Mas Vino nggak apa-apa, kan, Mas?" tanyaku padanya. Menghentikan aktivitasku sejenak. Kutatap wajah tampan Mas Gilang sesaat lalu kembali mematut di depan cermin, membenarkan hijabku yang masih sedikit berantakan."Nggak apa-apa. Lagipula kamu sudah mau berangkat juga, kan?" Tak membalas sepatah katapun, aku hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.Hari ini ada test harian untuk anak kelas lima, jadi aku sengaja berangkat agak pa
Aku masih sibuk menyapu di halaman saat tante Deby-- Mamanya Mas Adam, berhenti di depan rumah. Tiba-tiba dia melongok lewat kaca mobilnya, memanggilku. "Lin ... ayo, main ke rumah. Dicariin si kembar tuh. Kangen, katanya," ucap tante Deby dengan senyum khasnya. Si kembar yang dia maksud adalah anak Mas Bimo, anak pertama tante Deby. Rumahnya di kota sebelah, mungkin saat ini liburan ke rumah neneknya. Anaknya lucu-lucu, cantik, nggemesin. Alana dan Aluna, namanya. Nama yang cantik, secantik orangnya. "Lin ... ayo." Tante Deby keluar dari mobil lalu menghampiriku. Detik ini aku benar-benar tak enak hati jika menolak ajakannya. Sejak menikah, aku memang sudah membatasi diri untuk main ke rumahnya. Padahal dulu, nyaris setiap hari aku ke sana. Tante Deby sudah kuanggap seperti ibu keduaku sendiri. Selain bertetangga, ibu dan tante juga sekolah menengah dan kuliah di kampus yang sama. Mereka bersahabat sejak bangku menengah pertama. Mungkin karena itulah, ibu dan Tante Deby sempat m
Aku masih di sini. Rumah yang dulu selalu menjadi tempat kongkow favorit dengan teman putih abu-abuku. Teman dan sahabat yang sekarang mencar ke mana-mana. Bahkan sudah jarang sekali bertemu. Hanya sering ngobrol dan seru-seruan di grup alumni. Itu pun aku jarang nimbrung, karena mereka selalu saja iseng. Sering meledek jika tak sengaja aku dan Mas Adam ikut nongol bersamaan.Takut jika dibaca oleh Mas Gilang, makanya aku jarang ikut ngobrol di grup. Aku hanya membaca obrolan-obrolan mereka di kala senggang. Bahkan, nyaris tak pernah ikut jika mereka mengadakan reuni kecil-kecilan. "Makan dulu, ya. Sudah lama nggak makan bareng sama Lina nih." Mas Bimo dan Tante Deby muncul dari arah dapur. Mas Bimo memang suka masak. Dulu, dia sering banget bantuin Tante Deby berdapur ria. Beda banget sama Mas Adam, karena dia lebih suka baca dan bikin komik. Meski begitu, sekarang justru dia yang menekuni usaha kuliner di negara seberang itu. Kabar yang kudengar, usahanya berkembang pesat di sana
Benda pipih di saku gamisku bergetar. Kuusap layar pelan untuk membaca pesan yang terkirim di sana. Pesan dari Mas Gilang.[Lin, kamu di mana? Kata ibu kamu keluar, tapi motor kok ada di rumah?]Sepertinya dia sudah pulang dan mencari keberadaanku melalui ibu. Padahal tadi aku sudah pamit ke rumah tante Deby. Apa ibu lupa atau sengaja tak memberi tahu Mas Gilang agar dia berpikir macam-macam? Ah, pikiranku mulai ngelantur.Tak ingin menambah kecurigaan Mas Gilang, aku segera pamit pulang. Si kembar masih asyik ngobrol dengan Mas Adam via video call. Aku tak berani bicara banyak dengan laki-laki itu. Hanya sekedar tanya kabar saja. Cukup. Tak lebih dari itu."Biar diantar Bang Jay, Lin," ucap Mas Bimo sembari keluar rumah memanggil Bang Jay di pos satpam. "Nggak usah, Mas. Jalan kaki aja nggak masalah loh, kayak jauh aja," jawabku lagi. Bersalaman dengan Mbak Isma dan si kembar. Tante Deby masih sibuk ngobrol dengan tamunya. "Tante Lina mau pulang tuh, Oommm."Suara nyaring si kembar
Althaf Radhika Alfahri.Anak laki-laki pertamaku yang rupawan. Dia adalah pelita yang menyinariku di saat gelap dan rapuh. Dia yang membuatku semakin kuat dan semangat di setiap keadaan dan dia yang membuatku semakin menyadari jika tak akan pernah ada kata sia-sia dari sebuah perjuangan dan kesabaran. Ada harapan dan doa yang kutanamkan dalam nama itu. Aku dan Mas Gilang sangat berharap kelak dia akan tumbuh menjadi anak laki-laki yang berhati lembut, sukses dan memiliki semangat untuk berbagi kebaikan hingga bisa bermanfaat untuk banyak orang.Detik ini, kulihat Mas Gilang yang sedang mengazani anak sulungnya dengan hati berbunga. Senyumnya mengembang. Wajahnya yang tampan memancarkan aura kebahagiaan. Ibu yang dulu seolah tak pernah memberi restu untukku, sekarang justru berbalik 180 derajat.Dia begitu menyayangiku setelah rencana buruk dan sandiwara menantu kesayangannya itu terbongkar semuanya. Cinta dan perhatian ibu padaku semakin bertambah saat anak pertamaku lahir. Ibu terli
Pov : Maya"May, kamu di mana? Aku mau ketemu," ucap Mbak Dewi tiba-tiba setelah sekian minggu tak ada kabar."Mau ngapain sih, Mbak?" tanyaku cepat.Hatiku berdebar-debar, jangan sampai Mbak Dewi merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Mbak Lina lagi. Aku nggak mau ikut campur. Mereka bisa benar-benar menjebloskanku ke sel."Rumah tanggaku hancur, May. Mas Indra menceraikanku. Istri tua dan keriputnya itu mengambil semua yang kupunya. Rumah dan mobil itu. Sekarang, aku di rumah ibu," ucap Mbak Dewi panjang.Mulutku ternganga seketika mendengar ceritanya. Aku yakin, Mbak Dewi pasti tak akan rela dan diam begitu saja. Dia pasti akan membalas perlakuan Mbak Lina. Karena masih menganggap Mbak Lina dalang semuanya."Sudahlah, Mbak. Jangan ganggu keluarga Mas Gilang lagi. Bahaya, Mbak. Mbak bisa benar-benar dimasukkan penjara nanti."Aku masih terus berusaha menasehati. Walaupun bagaimana, dia tetap kakakku. Aku sangat menyayanginya, meski kelakuannya seperti itu dan sering membuatku pusin
Pov : Dimas Maya. Aku ingin sekali membencinya karena dia sudah tega menghianati cinta yang kupunya. Dia diam-diam berhubungan dengan lelaki lain yang jauh lebih mapan dan tampan. Saat tahu kabar itu, rasanya benar-benar sulit digambarkan.Banyak hal yang kami lakukan bersama, teganya dia pergi begitu saja. Namun, aku cukup heran kenapa sampai detik ini belum bisa melupakannya. Berulang kali mencoba untuk move on, berulang kali pula selalu gagal. Aku benci dengan perasaanku sendiri. Aku tak tahu mengapa harus mencintai perempuan yang sudah terang-terangan menghianatiku. Bahkan secara sengaja menikah dengan laki-laki lain yang lebih mapan, meski hanya menjadi istri kedua. Entah siapa yang bodoh dalam hal ini. Aku yang dibutakan oleh cinta dan nafsu atau dia yang hanya mengejar harta, tanpa peduli adanya cinta. Entah.Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Begitu pula dengan sandiwara Maya. Aku mengetahui gerak-gerik pengkhianatannya sebelu
Sebelum maghrib, kami sudah sampai di rumah. Maya dan Bi Minah turun dari mobil Mas Adam. Perempuan itu masih saja menunduk dalam diam."Lang, aku pamit pulang, ya?" ucap Mas Adam tiba-tiba. Mas Gilang yang baru saja menutup pintu mobil, menoleh seketika."Nggak mampir dulu, Dam? Btw Makasih banyak atas bantuannya ya? Maaf selalu ngrepotin kamu," jawab Mas Gilang kemudian."Santai aja, Lang. Aku balik dulu deh, habis maghrib mau ada perlu soalnya," lanjut Mas Adam lagi."Oh, okey. Hati-hati kalau begitu," jawab Mas Gilang pelan sembari tersenyum.Mas Adam menatapku sekilas sebagai tanda pamit pulang. Dia kembali masuk ke mobilnya dan berlalu dari halaman.Tak berselang lama, muncul mobil hitam dop dari arah kanan, berhenti tepat di depan gerbang.Mas Gilang melangkah pelan menghampirinya. Bercakap sebentar dengan sang supir lalu menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah."Pak Roby dan Pak Emon. Dia datang membawa laki-laki itu. Ayah si Haikal," ucap Mas Gilang lirih di sampingku. Aku men
Perempuan itu keluar kamar juga setelah sekian menit menunggu. Geram, kesal dan benci kembali menyergapku. Kutatap matanya yang menyiratkan ketakutan.Rasanya ingin sekali kumaki dan kutampar dia berulang kali, agar dia sadar. Kelakuannya selama ini bukanlah sesuatu yang lucu.Bagaimana mungkin dia berhubungan dengan orang lain tapi justru meminta suamiku untuk bertanggung jawab! Benar-benar keterlaluan. Tak punya adab.Apakah seperti itu yang diajarkan Dewi padanya? Merusak rumah tangga orang bagaimana pun caranya. Seperti syaitan yang begitu riang ketika sebuah keluarga di ambang perceraian."Maya!" Bentakku tiba-tiba. Dia terlonjak kaget. Mas Gilang memegang lenganku pelan. Membisikkan istighfar berulang kali.Mataku memanas menahan amarah yang memuncak namun aku tak kuasa mengungkapkannya. Kupendam sedemikian rupa, namun kali ini rasanya aku ingin membuat sedikit pelajaran padanya. Biar dia kapok, tak mengulangi kesalahannya lagi.Kucengkeram lengannya sekuat mungkin dengan tangan
Pov : Maya Mas Gilang masih saja mencecarku dengan berbagai pertanyaan tentang Denis dan anak itu. Tak bisa mengelak dan begitu tersudut, akhirnya kuceritakan saja semuanya. Beragam bukti dia genggam membuatku tak bisa berkelit lagi. Kini aku mulai pasrah. Mungkin memang sudah waktunya aku menyerah dan kalah. "Kenapa kamu berbuat seperti ini, May? Apa kamu kira, aku akan membuangmu begitu saja saat aku tahu anak itu bukan darah dagingku?" tanyanya dengan penuh penekanan dan ketegasan.Aku tetap menunduk. Rasanya tak mampu membalas apapun yang akan dikatakan dan dituduhkannya nanti. Sesekali menyeka kedua pipiku yang makin lama makin basah. Ibu mertua ikut mengomel tak karuan. Membuat makin banyak polusi telinga. "Aku sudah menyuruh orang untuk memata-mataimu sejak lama. Aku juga tahu, kalau selama ini kamu tak kuliah. Uang kuliah dan jatah bulananmu sengaja kamu tabung untuk membangun rumah ini, kan?" tanyanya lagi. Bukan bertanya, namun dia memang sudah mengantongi kuncinya. Membu
Pov : Maya Semua usaha dan pengorbananku selama ini tak sia-sia. Aku sudah memiliki tabungan yang cukup dan sebuah rumah lumayan megah di pinggiran kota. Uang kuliah dan sebagian jatah bulanan dari Mas Gilang memang aku gunakan untuk membeli tanah dan membangun rumah di sana. Sengaja aku pilih di daerah itu, karena aku suka dengan suasananya yang damai.Warga di sana juga sangat ramah. Beberapa kali aku datang, mereka selalu tersenyum dan mengajakku mengobrol santai. Mereka menceritakan profesi dan kehidupan sehari-hari yang mayoritas sebagai petani dan pedagang di pasar. Pantas saja, masih banyak sekali sawah terbentang luas. Bahkan, di samping dan belakang rumahku masih ada beberapa hektar sawah dengan tanaman padi yang mulai menguning. Setidaknya nanti jika memang Mas Gilang mengetahui semua kecuranganku, aku sudah bisa berlenggang dengan tenang. Dia tak bisa mendepakku begitu saja, karena rumah ini sengaja aku atas namakan ibuku agar dia tak bisa memasukkannya dalam harta gono-g
Pov : GilangBuru-buru kuparkir mobil ke halaman. Rumah ini memang belum punya garasi atau carport. Hanya saja halamannya luas. Jadi bisa untuk parkir beberapa mobil. Rumahnya pun bukan rumah bertingkat atau rumah dengan gaya modern seperti di tengah kota. Rumah sederhana dengan gaya klasik bahkan masih banyak yang bernuansa pedesaan menggunakan lantai papan. Seperti rumah panggung. Unik. Terdengar teriakan Maya dari kamarnya. Ibu sepertinya berusaha menenangkannya. Aku segera masuk rumah bercat putih itu dengan salam lirih. Memasuki kamar Maya dengan tergesa. Dia masih saja menangis dan mengoceh nggak jelas. "May!" bentakku tiba-tiba saat dia mendorong bahu ibu. Hampir saja ibu terjungkal karenanya. "Jangan macam-macam kamu, May. Apalagi sama ibu!" Aku melotot tajam ke arahnya. "Aku bukan laki-laki yang suka ingkar janji, May. Kamu tenang saja. Nggak perlu sekhawatir itu. Nggak perlu takut aku bakal kabur," ucapku pelan. Kutekan emosiku, jangan sampai Maya semakin meronta dan t
Pov : LINAKepala masih terasa pening sekali karena menangis semalaman. Detik ini, mungkin mataku terlihat sangat sembab. Aku tak peduli dan tak terlalu memikirkan hal itu. Rasa lelah mulai mendera. Capek. Kesal. Marah. Entah apalagi yang kini kurasakan.Setelah salat Subuh, aku kembali ke kamar untuk merebahkan badan. Pikiranku tak tenang. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran kembali menyelinap dalam benak. Tak tahu lagi harus bagaimana. Sampai sekarang, aku belum jua menemukan jejak Mas Gilang dan ibu, pun saat mencarinya di rumah itu. Rasanya, semua berlalu begitu cepat dan tak menyangka jika Mas Gilang sudah menghilang lima hari yang lalu. Kalau sampai hari ini tak ada kabar juga, aku benar-benar akan melaporkan kejadian ini pada polisi. Aku mulai menyerah dan tak tahu harus mencarinya kemana lagi. Semua terasa buntu dan aku benar-benar membutuhkan pertolongan polisi.Kutatap langit-langit kamar. Teringat lagi kejadian kemarin saat aku dan Mas Adam datang kembali ke rumah itu.