[Mas, bisa minta tolong nggak?] Sedikit ragu, akhirnya aku mengirimkan pesan itu pada Mas Adam. Dia masih online dan tak selang lama pesanku dibaca olehnya. Di Apun mulai mengetik balasan. [Boleh, Lin. Apa sih yang nggak buat kamu. Minta tolong apa memangnya?] Kubaca balasan laki-laki itu. Seperti biasa, dia memang sering membalas dengan kata-kata gurauan, tapi aku tak pernah menanggapi lebih. Dia memang begitu sedari dulu. Sikapnya tak banyak berubah meski sudah cukup lama tinggal di luar negeri. Mas Adam masih gemar bercanda. Belum sempat kubalas, dia mengirimkan pesan keduanya. [Bercanda, Lin] Ada emot smile di akhir pesannya. Membaca pesan keduanya, tak urung bibirku pun ikut tersenyum. [Aku mau ngikutin Maya, Mas. Aku curiga ada sesuatu yang dia sembunyikan dari aku dan Mas Gilang. Mas Gilang bilang mau suruh orang buat nyelidiki ini semua. Cuma belum tahu kapan. Dia sibuk banget akhir-akhir ini, karena buka cabang baru di kota sebelah.]Ku tekan tombol send. Ceklis biru du
Hening. Aku masih fokus mengamati dua perempuan yang sedang naik taksi itu. Tak paham juga kenapa mereka justru naik taksi, padahal bukannya Dewi memiliki mobil pribadi? Saat taksi mulai melaju, Mas Adam pun siap-siap mengikuti, sementara Angga kulihat tidur lagi. Mungkin dia teramat mengantuk karena ini masih terlalu pagi untuk mereka yang terbiasa bangun siang. Kulirik ke sebelah, Rania masih sibuk menelepon entah siapa."Sepertinya mereka mau ke mall Anggrek, Lin," ucap Mas Adam memecah keheningan."Mall, Mas? Jadi, Maya mau ikut ke mall dan nggak kuliah?" tanyaku pelan. Mas Adam mengedipkan bahu membalas pertanyaanku yang meluncur begitu saja di bibir.Berbagai pertanyaan mulai menyelinap di benak. Apakah Maya melakukan kebodohan ini setiap hari? Dia jarang masuk kuliah, tapi dia selalu izin pada ibu dan Mas Gilang kuliah tiap pagi? Atau ini cuma kebetulan saja karena hari Jumat dan dia sengaja meliburkan diri menjelang weekend?Kalau memang dia tak kuliah, apa Mas Gilang masih m
[Foto apa ini, Lin?]Mas Gilang mengirimkan sebuah foto ke aplikasi hijau untukku. Ku unduh fotonya. Yah, ada fotoku dan Mas Adam tadi pagi. Aku yakin si Dewi atau Maya pasti sudah memutar balikkan fakta. Membuat Mas Adam penuh dengan cemburu dan curiga. 'Santai, Lin. Tenang ... jangan sampai terbawa emosi. Nanti suamimu makin curiga dan cemburu buta.' Batinku bergemuruh. [Mas dapet foto itu dari siapa? Dewi atau Maya?]Ku kirimkan balasan untuknya. Aku sengaja tak langsung menjawab, hanya sekedar ingin tahu siapa diantara mereka yang ingin menabuh genderang perang denganku.[Maya dan Dewi. Keduanya mengirimkan foto yang hampir sama]Balasan Mas Gilang membuatku tersenyum kecil. Rupanya mereka memang tukang rusuh. Kakak beradik sama saja.[Oh itu. Tadi pagi ke mall Anggrek sama Rania dan Angga, Mas. Aku kirim foto mereka, ya?] Foto dua perempuan itu, Rania dan Angga yang sempat ku abadikan ku kirimkan ke Mas Gilang. Agar dia tak curiga dan berpikir macam-macam.[Kalian jalan bareng
[Lin, aku langsung ke rumah sakit, ya? Kata ibu, Maya mau melahirkan. Tadi dibantu tetangga]Pesan Mas Gilang baru saja kubaca. Jam pulang sekolah sebentar lagi. Apa aku harus ikut menengok Maya ke rumah sakit juga? Atau menunggu Mas Gilang di rumah saja? Rasanya ingin segera kuberikan rekaman dari Rania itu padanya. Supaya dia lebih hati-hati menghadapi Maya dan Dewi. Jangan sampai Mas Gilang terjebak kelicikan mereka. Tapi aku cukup tahu diri. Saat ini belum tepat. Karena Maya masih di rumah sakit untuk melahirkan, dia mempertaruhkan nyawa. Nggak mungkin aku menambah bebannya dengan memperlihatkan rekaman itu pada Mas Gilang. Takut ada hal-hal buruk yang akan dilakukan Maya jika sampai mereka berantem. Kenapa Maya tiba-tiba melahirkan? Padahal kemarin saat aku bertemu dengannya di mall itu, dia masih terlihat segar bugar dan garang. Apa dia cukup stres karena rekaman itu? Takut aku akan membocorkan kelicikannya pada Mas Gilang? Hingga membuatnya galau akut dan melahirkan sebelum
Hari ini, jadwal kontrol kandungan. Aku sudah daftar beberapa hari yang lalu agar bisa mendapatkan antrian awal. Mas Gilang juga belum memberi kabar. Kupikir dia akan mengirim pesan atau sekedar telfon sebentar tapi ternyata nggak. Bolak-balik ku cek ponsel, nggak ada pesan darinya.Sesibuk itukah dia dengan anak laki-lakinya? Yang nyatanya bukan darah dagingnya. Apa harus ku katakan sekarang saja soal rekaman itu? Daripada terus menunggu, aku takut dia terlena. Benar kata Mas Adam, boleh jadi Maya akan merencanakan sesuatu yang tak terduga. Astaghfirullah ... kenapa lagi-lagi aku dipenuhi buruk sangka? Ku telfon saja Mas Gilang daripada otakku makin nggak jelas berpikir. Panggilan ku sudah masuk, tapi belum juga diangkat. Ku ulang beberapa kali, sempat frustasi namun saat akan ku matikan ada suara kresek-kresek dari seberang. "Mas ... kamu nggak pulang?" tanpa salam kutanyakan langsung saja apa yang ada di pikiran. Ku dengar suara Maya teriak-teriak nggak jelas. Mas Gilang belum j
Aku menanti panggilan dari suster di ruang tunggu dengan Bi Minah. Bibi menikmati siaran televisi yang ada di ruangan itu. Sinetron kesayangannya. Ku buka kembali ponsel, berharap Mad Gilang sudah membuka pesan yang ku kirimkan dan membalasnya. Namun lagi-lagi aku hanya bisa menghembuskan napas kasar. Pesanku tetap ceklis satu. Dia sepertinya tak online dari pagi. Sesibuk itukah dia dengan dunia barunya? Harusnya kemarin sebelum dia pulang, langsung ku buka saja rekaman itu dan menceritakan semuanya agar Mas Gilang tak terlalu sibuk dengan bayi Maya. Tapi ... semua sudah terlanjur. Aku telat melaporkan masalah itu padanya. Ponselnya keburu tak aktif. Ku telfon berulang kali tetap saja hanya terdengar jawaban sang operator, bahwa nomor yang kutuju sedang diluar jangkauan. Rasanya, detik ini aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Agar hatiku bisa lebih lega. Sekeliling, banyak ibu muda yang diantar suaminya memeriksa kandungan. Wajah mereka begitu berbinar penuh kebahagiaan.Aku,
Mobil Mas Adam melaju pelan membelah kemacetan kota. Perasaan khawatir dan takut kembali menyergap. Hampir empat hari Mas Gilang dan tak juga memberi kabar. Ibu juga sama saja, padahal beberapa minggu terakhir ibu mulai sering menanyakan kabarku. Ah bukan! Lebih tepatnya menanyakan kehamilanku. Sepertinya, ibu mulai mau menerima bahwa aku memang hamil. Buah hati yang kelak akan menjadi cucunya. Namun, sejak Maya masuk rumah sakit hingga detik ini, ibu belum juga mengirimkan pesan padaku lagi. Entah kenapa mereka seolah seperti bekerja sama untuk membuatku sekacau ini. Menelepon Dewi? Sangat tak mungkin, meski aku yakin dia pasti tahu keadaan dan di mana mereka semua berada. Aku malas berhubungan dengan perempuan setengah waras sepertinya. Memasuki komplek perumahan Maya hatiku makin berdebar. Mungkin aku aja bertanya pada tetangga terdekatnya. "Rumahnya yang mana, Lin?," tanya Mas Adam pelan, memperlambat laju mobilnya."Itu Mas, yang bercat biru," jawabku kemudian. Mas Adam men
Pov : Gilang "Telepon Mbak Lina ya, Mas?" tanya Maya tiba-tiba setelah dia mulai tenang. Aku mengangguk pelan. Ibu duduk di samping ranjangnya dengan gusar. Aku yakin, ibu takut menghadapi Maya yang belum stabil kesadarannya. Kadang dia masih menangis lalu tiba-tiba saja dia tersenyum seperti tak ada masalah apa-apa. Aku sendiri kadang sedikit khawatir melihat keadaannya yang tak bisa ditebak.Pasca secar, Maya meringis kesakitan karena bius habis. Air matanya deras mengalir. Aku hanya bisa berusaha menenangkan dan tanggungjawab sebagai suaminya. Meski tak yakin anak itu darah dagingku, tapi sebisa mungkin aku tetap menyayanginya. Aku tak ingin Maya makin drop dan kehilangan kendali jika aku ikut membuatnya stres. Jika memang anak itu hasil hubungan gelap Mata dengan lelaki lain, aku tak akan membencinya. Dia tak salah apa-apa. Tak pantas rasanya jika aku membenci kehadirannya bukan? Tiap kutatap wajahnya yang lucu dan menggemaskan itu, rasanya aku tak tega jika harus meninggalkann
Althaf Radhika Alfahri.Anak laki-laki pertamaku yang rupawan. Dia adalah pelita yang menyinariku di saat gelap dan rapuh. Dia yang membuatku semakin kuat dan semangat di setiap keadaan dan dia yang membuatku semakin menyadari jika tak akan pernah ada kata sia-sia dari sebuah perjuangan dan kesabaran. Ada harapan dan doa yang kutanamkan dalam nama itu. Aku dan Mas Gilang sangat berharap kelak dia akan tumbuh menjadi anak laki-laki yang berhati lembut, sukses dan memiliki semangat untuk berbagi kebaikan hingga bisa bermanfaat untuk banyak orang.Detik ini, kulihat Mas Gilang yang sedang mengazani anak sulungnya dengan hati berbunga. Senyumnya mengembang. Wajahnya yang tampan memancarkan aura kebahagiaan. Ibu yang dulu seolah tak pernah memberi restu untukku, sekarang justru berbalik 180 derajat.Dia begitu menyayangiku setelah rencana buruk dan sandiwara menantu kesayangannya itu terbongkar semuanya. Cinta dan perhatian ibu padaku semakin bertambah saat anak pertamaku lahir. Ibu terli
Pov : Maya"May, kamu di mana? Aku mau ketemu," ucap Mbak Dewi tiba-tiba setelah sekian minggu tak ada kabar."Mau ngapain sih, Mbak?" tanyaku cepat.Hatiku berdebar-debar, jangan sampai Mbak Dewi merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Mbak Lina lagi. Aku nggak mau ikut campur. Mereka bisa benar-benar menjebloskanku ke sel."Rumah tanggaku hancur, May. Mas Indra menceraikanku. Istri tua dan keriputnya itu mengambil semua yang kupunya. Rumah dan mobil itu. Sekarang, aku di rumah ibu," ucap Mbak Dewi panjang.Mulutku ternganga seketika mendengar ceritanya. Aku yakin, Mbak Dewi pasti tak akan rela dan diam begitu saja. Dia pasti akan membalas perlakuan Mbak Lina. Karena masih menganggap Mbak Lina dalang semuanya."Sudahlah, Mbak. Jangan ganggu keluarga Mas Gilang lagi. Bahaya, Mbak. Mbak bisa benar-benar dimasukkan penjara nanti."Aku masih terus berusaha menasehati. Walaupun bagaimana, dia tetap kakakku. Aku sangat menyayanginya, meski kelakuannya seperti itu dan sering membuatku pusin
Pov : Dimas Maya. Aku ingin sekali membencinya karena dia sudah tega menghianati cinta yang kupunya. Dia diam-diam berhubungan dengan lelaki lain yang jauh lebih mapan dan tampan. Saat tahu kabar itu, rasanya benar-benar sulit digambarkan.Banyak hal yang kami lakukan bersama, teganya dia pergi begitu saja. Namun, aku cukup heran kenapa sampai detik ini belum bisa melupakannya. Berulang kali mencoba untuk move on, berulang kali pula selalu gagal. Aku benci dengan perasaanku sendiri. Aku tak tahu mengapa harus mencintai perempuan yang sudah terang-terangan menghianatiku. Bahkan secara sengaja menikah dengan laki-laki lain yang lebih mapan, meski hanya menjadi istri kedua. Entah siapa yang bodoh dalam hal ini. Aku yang dibutakan oleh cinta dan nafsu atau dia yang hanya mengejar harta, tanpa peduli adanya cinta. Entah.Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Begitu pula dengan sandiwara Maya. Aku mengetahui gerak-gerik pengkhianatannya sebelu
Sebelum maghrib, kami sudah sampai di rumah. Maya dan Bi Minah turun dari mobil Mas Adam. Perempuan itu masih saja menunduk dalam diam."Lang, aku pamit pulang, ya?" ucap Mas Adam tiba-tiba. Mas Gilang yang baru saja menutup pintu mobil, menoleh seketika."Nggak mampir dulu, Dam? Btw Makasih banyak atas bantuannya ya? Maaf selalu ngrepotin kamu," jawab Mas Gilang kemudian."Santai aja, Lang. Aku balik dulu deh, habis maghrib mau ada perlu soalnya," lanjut Mas Adam lagi."Oh, okey. Hati-hati kalau begitu," jawab Mas Gilang pelan sembari tersenyum.Mas Adam menatapku sekilas sebagai tanda pamit pulang. Dia kembali masuk ke mobilnya dan berlalu dari halaman.Tak berselang lama, muncul mobil hitam dop dari arah kanan, berhenti tepat di depan gerbang.Mas Gilang melangkah pelan menghampirinya. Bercakap sebentar dengan sang supir lalu menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah."Pak Roby dan Pak Emon. Dia datang membawa laki-laki itu. Ayah si Haikal," ucap Mas Gilang lirih di sampingku. Aku men
Perempuan itu keluar kamar juga setelah sekian menit menunggu. Geram, kesal dan benci kembali menyergapku. Kutatap matanya yang menyiratkan ketakutan.Rasanya ingin sekali kumaki dan kutampar dia berulang kali, agar dia sadar. Kelakuannya selama ini bukanlah sesuatu yang lucu.Bagaimana mungkin dia berhubungan dengan orang lain tapi justru meminta suamiku untuk bertanggung jawab! Benar-benar keterlaluan. Tak punya adab.Apakah seperti itu yang diajarkan Dewi padanya? Merusak rumah tangga orang bagaimana pun caranya. Seperti syaitan yang begitu riang ketika sebuah keluarga di ambang perceraian."Maya!" Bentakku tiba-tiba. Dia terlonjak kaget. Mas Gilang memegang lenganku pelan. Membisikkan istighfar berulang kali.Mataku memanas menahan amarah yang memuncak namun aku tak kuasa mengungkapkannya. Kupendam sedemikian rupa, namun kali ini rasanya aku ingin membuat sedikit pelajaran padanya. Biar dia kapok, tak mengulangi kesalahannya lagi.Kucengkeram lengannya sekuat mungkin dengan tangan
Pov : Maya Mas Gilang masih saja mencecarku dengan berbagai pertanyaan tentang Denis dan anak itu. Tak bisa mengelak dan begitu tersudut, akhirnya kuceritakan saja semuanya. Beragam bukti dia genggam membuatku tak bisa berkelit lagi. Kini aku mulai pasrah. Mungkin memang sudah waktunya aku menyerah dan kalah. "Kenapa kamu berbuat seperti ini, May? Apa kamu kira, aku akan membuangmu begitu saja saat aku tahu anak itu bukan darah dagingku?" tanyanya dengan penuh penekanan dan ketegasan.Aku tetap menunduk. Rasanya tak mampu membalas apapun yang akan dikatakan dan dituduhkannya nanti. Sesekali menyeka kedua pipiku yang makin lama makin basah. Ibu mertua ikut mengomel tak karuan. Membuat makin banyak polusi telinga. "Aku sudah menyuruh orang untuk memata-mataimu sejak lama. Aku juga tahu, kalau selama ini kamu tak kuliah. Uang kuliah dan jatah bulananmu sengaja kamu tabung untuk membangun rumah ini, kan?" tanyanya lagi. Bukan bertanya, namun dia memang sudah mengantongi kuncinya. Membu
Pov : Maya Semua usaha dan pengorbananku selama ini tak sia-sia. Aku sudah memiliki tabungan yang cukup dan sebuah rumah lumayan megah di pinggiran kota. Uang kuliah dan sebagian jatah bulanan dari Mas Gilang memang aku gunakan untuk membeli tanah dan membangun rumah di sana. Sengaja aku pilih di daerah itu, karena aku suka dengan suasananya yang damai.Warga di sana juga sangat ramah. Beberapa kali aku datang, mereka selalu tersenyum dan mengajakku mengobrol santai. Mereka menceritakan profesi dan kehidupan sehari-hari yang mayoritas sebagai petani dan pedagang di pasar. Pantas saja, masih banyak sekali sawah terbentang luas. Bahkan, di samping dan belakang rumahku masih ada beberapa hektar sawah dengan tanaman padi yang mulai menguning. Setidaknya nanti jika memang Mas Gilang mengetahui semua kecuranganku, aku sudah bisa berlenggang dengan tenang. Dia tak bisa mendepakku begitu saja, karena rumah ini sengaja aku atas namakan ibuku agar dia tak bisa memasukkannya dalam harta gono-g
Pov : GilangBuru-buru kuparkir mobil ke halaman. Rumah ini memang belum punya garasi atau carport. Hanya saja halamannya luas. Jadi bisa untuk parkir beberapa mobil. Rumahnya pun bukan rumah bertingkat atau rumah dengan gaya modern seperti di tengah kota. Rumah sederhana dengan gaya klasik bahkan masih banyak yang bernuansa pedesaan menggunakan lantai papan. Seperti rumah panggung. Unik. Terdengar teriakan Maya dari kamarnya. Ibu sepertinya berusaha menenangkannya. Aku segera masuk rumah bercat putih itu dengan salam lirih. Memasuki kamar Maya dengan tergesa. Dia masih saja menangis dan mengoceh nggak jelas. "May!" bentakku tiba-tiba saat dia mendorong bahu ibu. Hampir saja ibu terjungkal karenanya. "Jangan macam-macam kamu, May. Apalagi sama ibu!" Aku melotot tajam ke arahnya. "Aku bukan laki-laki yang suka ingkar janji, May. Kamu tenang saja. Nggak perlu sekhawatir itu. Nggak perlu takut aku bakal kabur," ucapku pelan. Kutekan emosiku, jangan sampai Maya semakin meronta dan t
Pov : LINAKepala masih terasa pening sekali karena menangis semalaman. Detik ini, mungkin mataku terlihat sangat sembab. Aku tak peduli dan tak terlalu memikirkan hal itu. Rasa lelah mulai mendera. Capek. Kesal. Marah. Entah apalagi yang kini kurasakan.Setelah salat Subuh, aku kembali ke kamar untuk merebahkan badan. Pikiranku tak tenang. Berbagai pertanyaan dan kekhawatiran kembali menyelinap dalam benak. Tak tahu lagi harus bagaimana. Sampai sekarang, aku belum jua menemukan jejak Mas Gilang dan ibu, pun saat mencarinya di rumah itu. Rasanya, semua berlalu begitu cepat dan tak menyangka jika Mas Gilang sudah menghilang lima hari yang lalu. Kalau sampai hari ini tak ada kabar juga, aku benar-benar akan melaporkan kejadian ini pada polisi. Aku mulai menyerah dan tak tahu harus mencarinya kemana lagi. Semua terasa buntu dan aku benar-benar membutuhkan pertolongan polisi.Kutatap langit-langit kamar. Teringat lagi kejadian kemarin saat aku dan Mas Adam datang kembali ke rumah itu.