"Nggak tahu, Sri. Kalau menurut Aris gimana? Mbak juga bingung. Mas Heru juga nyalahin mbak, katanya mbak yang bikin masalah ini. Andai mbak nggak mengusulkan supaya sertifikat itu dipinjam, pasti kejadian ini tidak perlu terjadi. Gitu kata Mas Heru." Senada dengan Sri, Dina pun menghembuskan nafas dengan gundah.
"Terus gimana dong, Mbak? Aku bingung nih," keluh Sri lagi dengan ekspresi semakin tak tenang.
Bagaimana ia bisa tenang, jika Dina yang lebih tua dan lebih berpembawaan diri tenang itu, saat ini justru terlihat sedang gelisah.
"Gini, kita tenang dulu. Urusan pinjam bank ini kan kesepakatan kita bersama. Jadi nggak bisa dong Mas Heru dan Aris mau nyalahin kita begitu aja. Orang yang make duitnya juga mereka sendiri. Kita cuma dikasih uang buat belanja tiap bulan. Itu pun jumlahnya nggak banyak. Pokoknya kita kompak aja Sri, kalau mereka mau menyalahkan kita, kita buka lagi perjanjian sebelum buka usaha dulu, bahwa apa pun yang terjadi mereka tidak akan m
Mendengar ucapan ibunya itu, Azmi hanya menelan ludah. Ia merasa tak ada gunanya lagi membantah kemauan ibunya. Lebih baik sekarang ia diam saja menerima keputusan ibunya itu daripada harus mengulangi lagi peristiwa kemarin, menikah dengan perempuan yang tak disetujui ibunya hingga akhirnya hidupnya tak pernah tenang karena perseteruan yang selalu terjadi antara mertua dan menantu. Antara Bu Rina dan Mia.Sedang kedua ibu dan anak tersebut diam dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing, lamat-lamat terdengar ketukan beruntun pada daun pintu utama.Bergegas Azmi bangkit dari tempat duduk dan menuju pintu untuk membukanya. Di belakangnya, sang ibu mengikuti.Pintu ia buka dengan sekali kuak. Begitu pintu terkuak, di depannya berdiri dua sosok laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berotot yang tampak menatap keduanya dengan sorot mata tajam dan penuh selidik."Bu Rina, orang tua dari Bapak Heru, benar?" salah seorang dari dua lelaki di hadapan mereka bertan
Sekarang rumah dan aset yang ia miliki telah berada dalam penguasaan bank tempat mereka meminjam uang, sementara Heru dan Aris mengaku belum memiliki kemampuan untuk membayar cicilan yang sudah menunggak. Itu artinya tak lama lagi, aset yang mereka jadikan agunan akan menjadi milik bank dan akan dilelang untuk menutupi dan membayar sisa hutang mereka.Lalu jika itu benar-benar terjadi, ia akan tinggal di mana dan bersama siapa? Arrgh, Bu Rina merasa emosi sekali dibuatnya."Dasar menantu kurang ajar! Nggak punya otak! Bagaimana bisa kalian yang ibu banggakan dan ibu percaya selama ini bisa mengkhianati ibu seperti ini? Coba bilang sama ibu, alasan apa yang membuat kalian tega membohongi dan menipu ibu seperti ini!" sembur Bu Rina sembari menatap kedua menantunya dengan pandangan penuh kebencian dan rasa kecewa."Selama ini ibu selalu menyanjung dan bangga pada kalian. Ibu bersyukur punya menantu yang ibu kira sangat patuh dan sayang pada mertua tetapi ternyata h
Sri sadar mertuanya itu saat ini pasti sedang dalam keadaan stress berat memikirkan harta kekayaan yang disita bank. Itu sebabnya ia berusaha untuk meredakannya dengan menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah yang tinggi meskipun dalam hati ia tetap tak mau rugi jika seperti pendapat Azmi tadi, aset berupa rumah yang ia dan Dina miliki, dijual demi membayar hutang dan menebus jaminan. Toh, uang itu dinikmati juga oleh ibu mertuanya dari pemberiannya dan suami. Bu Rina saja yang tidak tahu dan tidak peduli dari mana uang itu berasal karena sifat serakahnya."Sri benar, Bu. Aku juga minta maaf sudah bohongin ibu selama ini. Aku menyesal, tapi disesali gimana pun rumah dan tanah itu sudah sulit kembali lagi karena hutang berikut bunga yang harus dibayar masih banyak. Dijual sekalipun belum tentu bisa membayar hutang kami," ujar Aris menimpali ucapan istrinya."Terus kalau nggak sanggup bayar, kalian mau lepas tangan begitu saja? Kalian nggak mikir ibu mau tinggal di mana
"Assalamualaikum, Mbak Mia .. Maaf, tadi ada pesan dari ibu, mbak disuruh ke rumah."Mia baru saja membalikkan tubuhnya hendak masuk ke dalam kosan, saat Yusuf tiba-tiba memanggilnya.Tertegun, Mia berbalik lalu menatap ragu wajah tampan laki-laki di depannya."Saya Mas?" tanya Mia meminta penjelasan kembali karena ia masih dilanda ragu akan apa yang didengarnya barusan dari mulut lelaki itu."Iya Mbak, maaf kata ibu kalau Mbak ndak keberatan, mbak disuruh ke rumah sekarang," ucap Yusuf kembali sembari melempar wajah ke samping, menghindari tatapan mata langsung dengannya."Oh, buat apa ya Mas kalau boleh tahu?" tanya Mia lagi dengan rasa ingin tahu yang dalam.Sejak tinggal bersama Rika --tentu saja setelah sebelumnya sahabatnya itu meminta izin pada Bu Indah untuk sementara Mia tinggal bersamanya dan Bu Indah mengizinkan karena sifat mulianya yang memang gemar membantu sesamanya apalagi setelah tahu Mia adalah korban kezaliman
"Bu, bangun ... Mila sama Mbak Sinta mau berangkat nih, minta uang jajan dong Bu yang banyak. Soalnya di meja makan belum ada sarapan apa-apa. Entar Mila kelaparan lagi di sekolah," rengek Mila sembari mengguncang tubuh ibunya yang masih bergelung pulas di atas tempat tidur, sementara Sinta berdiri di belakangnya menunggu ibunya bangun tetapi tubuh ibunya sama sekali tidak bergerak.Diulangi sekali lagi oleh gadis berusia enam belas tahun itu merengek sembari mengguncang lebih keras tubuh ibunya. Syukur akhirnya sosok sang ibu menggeliat juga, meski bukannya bangun tapi malah mengomeli si bungsu."Duh, kok malah gangguin ibu tidur sih? Kemarin kan udah ibu kasih seratusan ribu buat dua hari, kok masih minta lagi? Tanya dong sama Mbak Sri-mu, sarapan paginya mana, jangan tanya sama ibu. Ibu masih ngantuk!" sahut Bu Rina tanpa membuka mata dan malah memperbaiki posisi tidur yang enak.Tadi malam Bu Rina memang tak bisa tidur. Benaknya kalut memikirkan kondisi keua
Dulu tidak ada yang berani membantah ucapannya. Mia selalu menuruti perintahnya, apa pun yang ia suruh selalu dikerjakan tanpa berani membantah, beda dengan Sri yang sikapnya seratus delapan puluh derajat berbeda. Itu membuat Bu Rina mulai merasakan penyesalan kenapa dulu sampai hati mengusir menantunya itu.Apalagi pasca Mia pergi, Azmi belum juga menemukan jodohnya lagi. Mizka tak terdengar lagi bagaimana kabarnya sekarang. Setiap kali ditanya Azmi enggan menjawab, apalagi sejak tinggal di kosan, putranya itu hanya sekali sekali saja melihatnya ke sini.Entahlah, sepertinya sekarang anak -anaknya bersikap menjauh dan memusuhinya. Padahal keadaannya saat ini sedang sulit. Mila dan Sinta butuh biaya besar untuk pendidikannya sementara jatah per bulan yang biasanya diberikan oleh anak-anak lelakinya juga Dina dan Sri mengalami kemacetan.Mereka bahkan seolah tak peduli lagi padanya. Membuat Bu Rina merasa heran sendiri, bagaimana bisa anak-anak yang selama
"Mi, dipanggil Bu Indah tuh," beritahu Rika saat hendak berangkat ke kantor.Barusan gadis itu memang dari depan. Seperti biasanya mencari sarapan pagi. Mungkin kebetulan saat melintasi rumah ibu kos ia bertemu Bu Indah yang menitipkan pesan itu agar disampaikan kepadanya."Oh ya? Ada perlu apa ya Bu Indah sama aku?" Meski sudah bisa menduga ini mungkin ada kaitannya dengan tawaran Bu Indah kemarin soal bisnis online shop yang ditawarkan padanya melalui Rika, tetapi Mia tak menduga jika akan secepat ini Bu Indah merespon ketertarikannya tersebut. Namun tak urung ia merasa sangat gembira. Ia berharap kalau jadi, nantinya Allah akan memberinya pintu rezeki yang baru lewat jalan ini."Mau ngomongin bisnis olshop kemarin mungkin, Mi. Buruan sana, tadi kulihat Yusuf juga belum berangkat. Mungkin nungguin kamu datang kali," ucap Rika sambil memoleskan bedak di wajahnya dan fokus ke kaca."Nungguin aku? Ngapain? Kan yang nawarin ibunya, kenapa harus berhub
"Aamiin ... semoga kamu juga diberikan kebaikan sama Allah supaya bisa melahirkan dan membesarkan anak kamu dengan baik meskipun ayahnya mungkin nggak bisa mendampingi ya, Mia. Ya, sudah nanti ibu lanjutkan ke wa saja ya. Oh ya, Suf, kamu ada yang mau diomongin ke Mia nggak?" tanya Bu Indah sembari berpaling pada sosok Yusuf yang sedari tadi hanya diam karena pembicaraan sudah diwakilkan pada ibunya."Sepertinya nggak ada sih, Bu. Nanti kalau ada pertanyaan biar via ibu juga nggak papa," sahut Yusuf sembari fokus ke ponselnya saat benda di atas meja tersebut berdering. Sepertinya ada yang menelpon lelaki itu sehingga laki-laki itu undur diri untuk menerima telepon."Ok, baiklah kalau gitu. Oh ya Mi, kamu udah sarapan belum? Kalau belum temani ibu sarapan yuk, kebetulan tadi Mbak Tinah masak makanan kesukaan kamu tuh, urap, perkedel jagung sama tempe goreng. Yuk ...!"*****Siang itu usai ribut dengan menantunya, Sri, Bu Rina membawa kedua putrinya keluar
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d