Rumah orang tuanya di kampung sendiri tergolong kurang layak, rumah papan yang atapnya sudah sering bocor saat hujan lebat, itu sebabnya ia ingin membeli rumah baru dan memboyong mereka ke sini untuk mewujudkan kebahagiaan orang tuanya yang selama ini belum mampu ia lakukan.
Kasihan kedua orang tuanya. Dari ia kecil hingga dewasa belum bisa membahagiakan mereka. Jadi sekaranglah saatnya untuk mewujudkan semua itu, pikir Mia lagi.
Selama ini dengan menjadi istri Azmi, kedua orang tuanya berharap walaupun belum bisa meningkatkan perekonomian keluarga, tetapi setidaknya hidupnya sendiri tidak kesulitan.
Sayang, selama jadi istri Azmi dan menantu Bu Rina, bukan kebahagiaan yang ia dapatkan melainkan kesengsaraan yang bertubi-tubi. Dan Mia berjanji, demi apapun ia tak akan mengulangi kembali kebodohannya itu.
Mia tersenyum gembira saat berhasil mengecek saldo tabungannya melalui aplikasi mobile banking. Di sana tertera jumlah keseluruhan uang yang berhasil ia
"Rik, hari ini kamu libur kerja 'kan? Temani aku yuk, rencana pengen lihat-lihat rumah nih," ujar Mia sembari menatap Rika yang sedang melahap sarapan paginya di meja makan. Sementara ia sudah duluan makan karena sudah lapar dari tadi. Kodrat ibu hamil memang mudah sekali lapar, seperti Mia.Hari ini hari Sabtu. Rika libur kerja, jadi Mia bermaksud meminta bantuan sahabatnya itu untuk menemani dan mengantarnya melihat lihat kompleks perumahan cluster baru yang sudah masuk daftar list-nya kemarin."Rumah? Kamu mau beli rumah?" Alih-alih menjawab pertanyaannya, Rika justru berseru kaget dengan ekspresi tidak percaya.Sungguh, ia tak pernah menyangka. Sang sahabat yang kemarin masih kebingungan karena mendadak diusir dari rumah mertua, sementara ia tak punya tempat tinggal, sekarang malah mau beli rumah baru. Wah, cepat sekali kemajuannya, pikir Rika kagum."Alhamdulillah, Rik. Bukan aku nggak betah di sini ya, tapi rasanya nggak mungkin aku mau ngerep
Mendengar pertanyaan sahabatnya, Mia menggelengkan kepala dengan ekspresi kaget seolah tiba-tiba baru menyadari hal itu. "Iya ya, Rik? Mestinya sih sudah selesai diurus, soalnya mas Azmi kan mau nikah lagi sama selingkuhannya itu, tapi nggak tahu kenapa, sampai sekarang kok belum juga ada kabarnya ya? Gimana ini, Rik?"tanya Mia dengan nada sedikit cemas.Ya, tiba-tiba saja ia jadi kepikiran soal surat cerai yang belum juga ada informasinya."Kamu nggak usaha hubungin dia? Tanyakan sampai sejauh mana sudah proses perceraian kalian? Jangan berlarut-larut. Takutnya nanti dia berbalik pikiran. Ya siapa tahu aja sih, soalnya lelaki pelit dan mertua materialistis begitu pasti nggak bisa lihat menantu banyak duit kayak kamu, bisa-bisa mereka nanti maksa kamu balikan lagi. Siapa tahu lho ...." ujar Rika kembali, mencoba memberikan analisa dan peringatan pada Mia supaya tak lengah dan segera mengantisipasi keadaan agar tidak dirugikan oleh statusnya yang masih menggantung terse
Mia tersenyum haru penuh kerinduan saat sepasang netranya menangkap sosok ibu, bapak, juga adiknya, Sindy baru saja turun dari bus antar kota antar propinsi yang baru saja tiba di terminal.Tadinya ia hendak menyusul mereka dengan menggunakan mobil carteran yang bisa disewa dari sini, tetapi kedua orang tuanya mencegah dan mengusulkan agar mereka saja yang menyusul ke kota ini menggunakan bus AKAP supaya lebih hemat pengeluaran. Dan Mia pun akhirnya setuju saja.Ia dan Rika buru-buru mendekat sembari memberi kode dengan panggilan hingga akhirnya ketiga sosok yang baru saja turun dari bus itu pun melihat keduanya dan berjalan mendekat.Orang tua dan anak pun saling berangkulan penuh haru saat tak ada lagi jarak yang memisahkan di antara mereka."Alhamdulillah, Nduk. Akhirnya ketemu juga sama kamu. Ibu pikir kamu kenapa kok nggak pulang-pulang. Ibu mau ke sini juga takut merepotkan suami sama mertua kamu, akhirnya ndak jadi ke sini. Oh ya kandungan kamu sud
"Rik, hari ini kamu libur kerja 'kan? Temani aku yuk, rencana pengen lihat-lihat rumah nih," ujar Mia sembari menatap Rika yang sedang melahap sarapan paginya di meja makan. Sementara ia sudah duluan makan karena sudah lapar dari tadi. Kodrat ibu hamil memang mudah sekali lapar, seperti Mia.Hari ini hari Sabtu. Rika libur kerja, jadi Mia bermaksud meminta bantuan sahabatnya itu untuk menemani dan mengantarnya melihat lihat kompleks perumahan cluster baru yang sudah masuk daftar list-nya kemarin."Rumah? Kamu mau beli rumah?" Alih-alih menjawab pertanyaannya, Rika justru berseru kaget dengan ekspresi tidak percaya.Sungguh, ia tak pernah menyangka. Sang sahabat yang kemarin masih kebingungan karena mendadak diusir dari rumah mertua, sementara ia tak punya tempat tinggal, sekarang malah mau beli rumah baru. Wah, cepat sekali kemajuannya, pikir Rika kagum."Alhamdulillah, Rik. Bukan aku nggak betah di sini ya, tapi rasanya nggak mungkin aku mau ngerep
Mia tersenyum haru penuh kerinduan saat sepasang netranya menangkap sosok ibu, bapak, juga adiknya, Sindy baru saja turun dari bus antar kota antar propinsi yang baru saja tiba di terminal.Tadinya ia hendak menyusul mereka dengan menggunakan mobil carteran yang bisa disewa dari sini, tetapi kedua orang tuanya mencegah dan mengusulkan agar mereka saja yang menyusul ke kota ini menggunakan bus Antar Kota Antar Propinsi supaya lebih hemat pengeluaran. Dan Mia pun akhirnya setuju saja.Ia dan Rika buru buru mendekat sembari memberi kode dengan panggilan hingga akhirnya ketiga sosok yang baru saja turun dari bus itu pun melihat keduanya dan berjalan mendekat.Orang tua dan anak pun saling berangkulan penuh haru saat tak ada lagi jarak yang memisahkan di antara mereka."Alhamdulillah, Nduk. Akhirnya ketemu juga sama kamu. Ibu pikir kamu kenapa kok nggak pulang pulang. Ibu mau ke sini juga takut merepotkan suami sama mertua kamu, akhirnya ndak jadi ke sini. Oh ya kandungan kamu sudah berapa
Sesaat setelah turun dari mobil, kedua orang tua Mia menatap penuh kekaguman pada rumah bergaya minimalis di depan mereka. Untuk ukuran mereka, bangunan itu sangat mewah dan modern, membuat keduanya juga putri bungsunya menjadi terharu dan bahagia."Ini rumah kamu, Nduk? Baru dibangun ya? Masya Allah, bagus banget rumahnya, tamannya juga. Ibu suka. Alhamdulillah, berarti kamu sudah sukses sekarang ya, Nduk?""Alhamdulillah, Bu. Mari masuk ...." Mia membuka pintu depan dengan kunci yang diambil dari dalam tas lalu membantu kedua orang tuanya itu masuk sembari membantu membawa barang bawaan mereka ke dalam rumah."Wuih, Mbak Mia keren. Rumah ini bersih banget dan modelnya kayak di teve-teve, suka deh. Oh ya, Mas Azmi mana sih, Mbak? Kok dari tadi nggak kelihatan?" "Hmm ... Mas Azmi ... " Mia terdiam, begitu pun Rika yang menunggu ia menyelesaikan kalimatnya. Sedari kemarin, sahabatnya itu memang menyarankan padanya untuk terus terang soal hubungannya yang sudah kandas dengan Azmi teta
"Ya, sudah ke depannya kamu hati-hati saja kalau mau memilih jodoh lagi ya, Nduk. Apalagi nantinya status kamu janda dengan satu anak. Semoga ada laki-laki baik yang berkenqn menerima kamu dan anak kamu dengan baik pula ya.""Iya, Bu. Aamiin ...."*****Pagi ini Azmi tengah bersiap-siap untuk menuju ke kampung halaman Mia bersama ibu dan kedua adiknya. Hari ini dan besok merupakan hari libur kerja jadi Azmi bisa bepergian ke luar kota seperti rencana mereka semula.Dari semalam ibunya sudah tak sabar lagi hendak menjemput mantan istrinya itu untuk diajak rujuk dan kembali lagi ke rumah mereka. Jadi, pagi-pagi sekali semua anggota keluarga sudah siap-siap berangkat untuk menjemput Mia.Azmi sudah menghubungi mantan istrinya itu berkali-kali tapi entah mengapa nomor telepon yang biasa Mia pakai tersebut tidak bisa dihubungi lagi. Jadi, Azmi memutuskan untuk berangkat tanpa pemberitahuan karena ia yakin Mia pasti ada di rumah orang tuanya di kampung sang mertua.Entahlah, apa Mia sudah m
Di mobil dalam perjalanan pulang kembali lagi ke kota, Bu Rina masih saja tak habis pikir. Berkali-kali ia menelan ludah dan menghembuskan nafas kuat-kuat. Benak wanita itu merasa gundah, memikirkan keberadaan Mia yang belum diketahui saat ini.Selama ini ia mengira, usai pergi dari rumah, Mia pasti pulang ke kampung dan hidup sulit bersama kedua orang tuanya yang miskin.Ya, itu sudah suratan nasibnya. Makanya ia ingin mengajak kembali wanita itu ke rumahnya, meski tinggal di kontrakan, tapi masih lebih layak daripada gubuk orang tuanya di desa.Sayang, saat tiba di sini, ia justru mendapatkan kenyataan yang berbanding terbalik dengan pikirannya selama ini. Mia rupanya bukan kembali ke kampung halamannya melainkan masih menetap di kota dan kemungkinan mengontrak di sana. Tapi darimana Mia mendapatkan uang untuk membayar kontrakan, itu yang terus dipertanyakan dalam benak Bu Rina."Az, kamu sama sekali nggak tahu kabar Mia? Gimana sih, dia kan masih istri kamu? Kalian kan belum resmi
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d