"Aku harus melihatnya! Aku harus tahu siapa sebenarnya yang mengetuk pintu kamarku?" ucap Marsinah berbisik.
Marsinah memberanikan dirinya untuk melangkah lebih jauh. Dia kini berada tepat di depan pintu. Tangannya sampai bergetar hebat saat ingin memegang handle dan memutar kunci.
Napasnya sampai terasa sesak. Berulangkali Marsinah menghela napas panjang. Dia mencoba untuk bersikap tenang. Akan tetapi, suara itu menggetarkan hatinya. Mmebuat jantungnya berdetak semakin kencang.
"Marsinaaaahhh!"
"Haaaahhhh!" Wanita itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia berusaha untuk tetap tenang. Sembari menarik napas panjang.
Perlahan terdengar bunyi handle yang bergerak pelan.
Klek!
Pintu mulai terbuka perlahan. Marsinah tak langsung keluar. Dia mengintip dari celah pintu. Namun, tak terlihat siapa pun juga. Sejenak membuat Marsinah berpikir. Dia jadi teringat pesan sang suami untuk tetap di dalam kamar. Hanya saja, Marsinah
Marsinah berusaha untuk bergerak maju. Langkahnya mengendap-endap. Agar bisa melihat sang suami dengan jelas.Saat dirinya berusaha untuk semakin dekat. Sosok wanita itu telah menghilang. Membuat Marsinah semakin terhenyak."Ke mana wanita itu? Kok bisa dia menghilang begitu saja?"Tanya itu kian memenuhi lubuk hati Marsinah. Lalu dia mengarahkan pandangannya pada bungkusan yang dibawa sang suami. Tampak Mariman meletakkan di tanah dan mulai membuka perlahan daun pisang yang membungkusnya.Bersamaan itu, terdengar suara monyet yang saling bersahutan. Menambah suasana malam ini benar-benar mencekam. Sesekali Marsinah mengusap tengkuknya. Yang berdiri dan merinding."Apa yang ada dalam bungkusan itu?" ucap Marsinah berbisik, hampir tak terdengar.Namun dia tak bisa melangkah lebih maju dan mendekat. Marsinah tak ingin kalau Mariman tahu, dia membuntuti dirinya.'Sepertinya aku harus menunggu dulu. Sampai Mas Mariman pergi.'
Setelah ragu, dia memaksa hati dan menumbuhkan keberanian diri untuk terus mengikuti. Walau Marsianh masih meraba-raba apa yang telah dilakukan Mariman."Aku tak pernah maafkan kalau memang kau melakukan perbuatan terkutuk itu, Mas! Aku harus bisa buktikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan aku ini salah?"Sampai akhirnya Mariman terlihat berhenti di jalan yang mulai gelap. Jauh dari pencahayaan. Cukup lama Mariman berdiri di tempat itu. Membuat Marsinah heran dan rasa penasaran dalam dirinya semakin terbakar.Marsinah semakin ingin tahu, apa yang sedang ditunggu suaminya di tempat itu?Tiba-tiba saja dedauhan yang berada di dekat Mariman, mulai bergerak-gerak. Membuat suara yang bergemerisik. Lalu Marsinah melihat kawanan monyet yang mendatangi ke arah Mariman. Membawa satu helai daun segar.Tampak Mariman memerhatikan daun itu lamat-lamat. Seketika raut wajahnya menjadi tegang. Sampai membuat giginya gemertak dengan rahang yang mengeras.
Marsinah berlari kecil menghampirinya. "Apakah perjanjian seperti ini bisa dibatalkan?" "Tergantung akad pertama mereka, Bu. Hanya saja kalau di hutan ini. Rata-rata perjanjian akan berlangsung sampai anak turun. Selama ada yang melanjutkan memeberi mereka tumbal." "Tumbal," bisik Marsinah. "Sudahlah, Bu. Mending sekarang Ibu pulang. Jangan pernah terpikir untuk melakukan pesugihan. Mari saya antar sampai ke ujung jalan." "Terima kasih, Pak. Bapak kok baik sekali sama saya." Lelaki itu hanya tersenyum. Sembari memerhatikan Marsinah yang terlihat sangat sedih. Bila mengingat apa yang telah dilakukan sang suami. "Ingat pesan saya ini, Bu! Jangan pernah makan ikan atau lauk apa pun dalam bentuk yang masih utuh! Jangan pernah makan suguhan yang tak biasanya. Dan satu lagi, perhatikan mimpi kita. Terkadang dari mimpi, bisa menjadi alarm untuk diri kita sendiri." "Terima kasih banyak lho, Pak. Saya benar-benar tak mengetahui
"Sebaiknya kita lanjutkan besok. Mas Delon dan Mbak Raisa beristirahat dulu saja. Kita semua sudah lelah," ujar Hamaz sembari menutup buku itu."Iya, Mas," sahut Delon. Begitu juga Raisa yang tak lagi memaksa. Dia hanya manggut-manggut.Terlihat seorang santri yang mengantar mereka ke kamar masing-masing. Raisa yang lelah langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Kedua mata yang berat tak mampu lagi untuk terbuka.Hanya dalam hitungan detik. Raisa langsung terlelap. Begitu juga dengan Delon yang tidur di kamar bersebelahan.Suasana rumah itu kembali sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik yang meramaikan malam ini. Suara dengkuran lembut Raisa terdengar. Seiring dengan suara pintu kamar yang terbuka perlahan. Yang sepertinya tak dikunci.Kriiiiiieeet!Seperti ada yang sengaja membuka pintu. Tapi entah siapa? Raisa sudah tak bisa mendengar atau merasakan apa pun. Kelelahan dan rasa kantuk yang teramat sangat mendera dirinya. Hingga terdengar derap
"Bukan aku yang gila, tapi Bapak yang sudah keblinger. Sudah tak punya akal sehat. Bapak yang sebabkan keadaan rumah tangga kita ini sekarang jadi enggak karuan. Bapak yang membuat kita jadi pemuja setan. Apalagi--" Wanita itu terdiam, dengan wajah yang tertunduk. Seperti tak sanggup ungkapkan semua. Seperti luruh sudah rasa yang ada untuk lelaki yang ada di hadapannya. "Lanjutkan bicara kamu!" bentak lelaki itu keras. Tak ada rasa ketakutan yang terpancar dari suara wanita itu. Dia tak bergeming sedikit pun. Dari rauit wajahnya, yang tersembunyi di balik rambut. Raisa bisa menebak kalau sang wanita tengah menatap tajam pada suaminya. "Apalagi Bapak bercinta dengan wanita itu!" teriaknya tanpa peduli bila ada yang mendengar. Plaaakkk! Tubuh wanita itu terhuyung. Tamparan keras sang suami membuatnya hampir terjatuh ke lantai. "Ka-kamu .. berani menampar aku? Sekian lama kita menjalin rumah tangga, baru kali ini kau menampar aku,
Seketika itu Raisa bagai tersadar. Matanya terbelalak. Saat melihat di hadapan dia Delon yang meringis kesakitan. Beberapa santri putra berlarian menuju arah kamar Delon yang terbuka lebar. Mereka pun terperangah melihat Delon yang terus merintih kesakitan."Haaahhh?"Raisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Membiarkan sapu yang dibawa terjatuh ke lantai."Ke-kenapa aku bisa ada di sini?" aTampak air mata Raisa berlinang. Dengan langkah gontai dia keluar kamar. Tak habis pikir dengan apa yang tadi tengah dilakukannya."Ke-kenapa Mas Delon yang aku pukuli? Aku seperti benar-benar melihat dengan jelas mereka."Raisa berjalan pelan menuju teras samping yang bersebelahan dengan kamar mereka. Taman yang terletak di tempat itu, langsung menembus pandangan ke arah gedung santri putra.Wajah Raisa terlihat lesu. Dia duduk di lantai dengan kedua tangan memegang dagu. Sembari berulang kali menggeleng. Perasaan bersalah telah menghunus relun
Teriakan Raisa semakin lama semakin kencang terdengar. Suara yang menegrikan dan terdengar sangat asing."Aaaarggghhh! Lepaskan aku dari sini. Panas ... panas ... panas!"Dari ruang tengah terlihat Hamaz berjalan cepat ke arah mereka. Dia membawa segelas air putih. Lalu memercikkan ke seluruh area kamar Raisa.Terlihat Raut wajah gadis itu memerah. Aoa yang dilakukan Hamaz dia tak mneyukainya. Tatap mata Raisa begitu tajam terus mengawasi gerak gerik Hamaz."Ambilkan botol sekarang!""Baik, Gus."Seorang santri berlari kencang. Tak lama, dia sudah berlari menuju kamar Raisa. Dia mengulurkan sebuah botol kaca seukuran botol obat."Kau mau keluar dan masuk sini. Atau aku hancurkan?" ucap Hamaz sangat tenang.Raisa hanya bisa menggeram, "eeeerghhh!"Dari arah luar. Delon ikut melihat ke arah Raisa. Yang benar-benar telah dirasuki oleh makhluk astral."Kau masih belum menjawab pertanyaanku?" ulang Hamaz."Eeeer
"Di mana dia tadi?"Delon masih berdiri terpaku di tengah taman. Melihat ke sekitar. Namun sosok wanita yang baru saja dia lihat telah menghilang. Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Delon. Saat dia menoleh. Seorang santri putra telah berdiri tak jauh darinya."Ada apa Mas Delon di tengah taman sendirian?""Ehhh, cuman cari udara segar aja kok.""Mari saya antar ke kamar, Mas.""I-iya, makasih."Sejenak Delon tak bisa tidur. Dia masih membayangkan sosok wanita serba berpakaian hitam yang terlihat olehnya."Siapa dia?" ujar Delon lirih."Ada apa Mas Delon kok kayaknya gelisah? Kayak ada yang lagi dipikirin."Dia hanya tersenyum. Lalu merebahkan tubuhnya."Enggak apa-apa."Dia berusaha untuk memejamkan mata. Sembari memikirkan Raisa yang semenjak kedatangan mereka ke Malang ini. Sudah beberapa kali kerasukan."Sepertinya mereka benar-benar tak mau aku dan Raisa datang. Tapi, ini kan aneh? Kenapa s
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga